Membedah Skenario Praktik Monopoli Kendaraan Listrik di RI

Nino Nafan Hudzaifi, CNBC Indonesia
29 March 2023 18:07
Nino Nafan Hudzaifi
Nino Nafan Hudzaifi
Nino Nafan Hudzaifi atau akrab disapa Nino merupakan salah satu anggota tim hukum di Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN). Nino adalah sarjana lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Pada tahun 2021, Nino dianugerahi gelar sebagai salah satu mah.. Selengkapnya
Mobil Listrik Hyundai IONIQ 5 Produksi Indonesia yang di pamerkan dalam ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2022 di JIExpo-Kemayoran, Kamis (31/3/2022). IONIQ 5 merupakan mobil listrik yang diproduksi di pabrik Hyundai di Cikarang, Jawa Barat.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo).
Foto: Mobil Listrik Hyundai IONIQ 5 (CNBC Indonesia/Tri Susilo).

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) belakangan ini menjadi salah satu andalan yang digunakan untuk peningkatan elektrifikasi demi transisi energi. Akan tetapi, tujuan tersebut ternyata tidak mudah dalam implementasi di lapangan.

Ini mengingat listrik yang digunakan oleh kendaraan listrik di Indonesia masih didominasi oleh PLTU yang dinilai sebagian kalangan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah kendaraan listrik menjawab permasalahan transisi energi di Indonesia?



Urgensi Kebijakan Kendaraan Listrik
Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2012 silam, penggunaan kendaraan listrik kini telah mencapai angka 53.091 di awal tahun 2023. Pascamengalami peningkatan hingga 5x lipat dalam tiga tahun terakhir, Kementerian ESDM melalui Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) menargetkan produksi dan penggunaan mobil listrik sejumlah 2 juta unit dan motor listrik sejumlah 13 juta unit di tahun 2030.

Target produksi kendaraan listrik di Indonesia ini dinilai sebagai dampak adanya kelangkaan BBM dunia yang memiliki efek domino terhadap naiknya harga BBM pada akhir tahun 2022. Jika penggunaan kendaraan listrik sesuai dengan target GSEN, maka disinyalir dapat mengurangi penggunaan bahan bakar sejumlah 12,5 juta barel.

Di samping itu, bahan bakar di Indonesia pada dasarnya masih didominasi oleh energi fosil seperti batu bara. Sebagai salah satu sumber energi tidak terbarukan, Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa batu bara mengakibatkan berbagai permasalahan lingkungan hidup, seperti polusi udara, pencemaran air, kerusakan tanah, dan pengasaman air laut.

Selain itu, harga batu bara yang cenderung tidak stabil juga menjadi salah satu alasan harga komoditas itu di Indonesia sering mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Penggunaan kendaraan listrik diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi impor BBM, yang mana dipercaya dapat meningkatkan ketahanan energi nasional secara menyeluruh.

Dengan demikian, Kementerian ESDM menyatakan program kendaraan listrik sebagai pengganti bahan bakar fosil dilangsungkan dalam rangka mencapai target "net-zero emission" di tahun 2030. Hal itu didukung dengan pernyataan dari Agus Gumiwang Kartasasmita selaku Menteri Perindustrian yang mengungkapkan bahwa penggunaan kendaraan listrik dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 4,6 juta ton.

Upaya pengurangan emisi tersebut selaras dengan komitmen Indonesia untuk mencegah krisis iklim yang tertuang dalam dokumen bernama National Determined Contribution (NDC) yang telah diperbarui dalam Enhanced NDC. Melalui Enhanced NDC, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.

Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Kendaraan Listrik
Melalui percepatan program nasional KBLBB, Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian ESDM telah menyiapkan berbagai kebijakan untuk mendukung program tersebut.

Pertama, terdapat Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 (Perpres 55/2019). Dalam Pasal 3 Perpres 55/2019 tersebut, disebutkan bahwa terdapat beberapa cara untuk mempercepat program kendaraan listrik, seperti pemberian insentif dan penyediaan infrastruktur pengisian listrik berupa Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) atau infrastruktur penggantian baterai berupa Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU).

Dalam pemberian insentif, Pemerintah Indonesia akan memberikan insentif baik insentif fiskal dan nonfiskal kepada industri KBLBB sepanjang memenuhi ketentuan dalam Bab III Perpres 55/2019. Beberapa contoh insentif yang akan diberikan ialah insentif untuk bea masuk, insentif pajak, pembuatan SPKLU/SPBKLU, pembangunan infrastruktur, pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan, pelimpahan hak produksi, dan masih banyak lagi.

Tidak hanya insentif dari pemerintah kepada industri KBLBB, beberapa industri KBLBB pun juga memberikan insentif kepada calon pembeli KBLBB. Wuling Motors diproyeksikan akan mendapat bantuan subsidi hingga Rp 35 juta untuk pembelian Wuling Air EV. Selain itu, Hyundai diproyeksikan akan mendapat bantuan subsidi hingga Rp 80 juta bagi pembelian unit Hyundai Ioniq 5.

Insentif KBLBB ternyata tidak berhenti dalam pembeliannya saja, namun dalam pembayaran pajaknya pun KBLBB tergolong dalam Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021. Kebijakan ini dipercaya dapat mendongkrak minat calon pembeli, karena transaksi KBL hanya akan dikenakan pajak PPnBM dengan tarif 0%.

Kedua, penyediaan SPKLU/SPBKLU yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020. Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini Indonesia telah memiliki 332 unit SPKLU dan 369 SPBKLU yang ditargetkan akan mencapai angka 25.000 di tahun 2030.

Ketentuan ini berupaya untuk menjamin bahwa infrastruktur serta sarana pendukung KBLBB bisa memadai dan jumlahnya terus meningkat guna memberi rasa aman dan nyaman bagi para calon pembeli yang nantinya akan menggunakan KBLBB tersebut.

Ketiga, pemerintah pun berupaya untuk menjadikan KBLBB menjadi kendaraan dinas sebagaimana Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 (Inpres 7/2022). Melalui Inpres tersebut, berbagai lembaga tingkat nasional dan daerah diperintahkan untuk mempercepat penggunaan KBLBB mulai dari menetapkan regulasi dan alokasi anggaran khusus KBLBB serta meningkatkan penggunaan KBLBB sebagai kendaraan dinas.

Keefektifan Kendaraan Listrik sebagai Solusi Elektrifikasi
Menyoroti pernyataan dari Kementerian ESDM terkait penggunaan KBLBB sebagai salah satu cara mencapai net-zero emission, ternyata sektor transportasi bukanlah penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Berdasarkan data yang bahkan juga dikemukakan oleh Kementerian ESDM, kontributor utama emisi gas rumah kaca di Indonesia ialah pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil seperti PLTU.

Dari total emisi sejumlah 587 juta ton CO2e di tahun 2020, PLTU sektor transportasi hanya menyumbang 132,9 juta ton CO2e dan PLTU menyumbang hingga 278,3 juta ton CO2e. Dengan demikian, tujuan penggunaan KBLBB untuk mengurangi emisi di Indonesia dinilai kurang tepat, karena berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, listrik di Indonesia masih didominasi oleh PLTU sebesar 67%.

Lebih lanjut, dalam pembuatannya, KBLBB membutuhkan material 6x lebih banyak dibanding kendaraan konvensional. Dilansir dari data International Energy Agency, pembuatan mobil konvensional hanya membutuhkan material senilai 33,8 kg sedangkan pembuatan mobil listrik membutuhkan material sebesar 206,9 kg.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa produksi KBLBB sejak proses pertambangan materialnya menghasilkan emisi yang jauh lebih besar dari kendaraan konvensional. Oleh karena itu, implementasi perkembangan KBLBB kurang relevan untuk mencapai tujuan "net-zero emission" akibat prosesnya yang masih menghasilkan emisi dan cenderung membutuhkan lebih banyak material.

Tidak hanya dalam aspek emisi di Indonesia, menurut Roni Dwi Susanto selaku eks Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), percepatan program KBL dicurigai terdapat "permainan" dari kalangan elite sebagai upaya untuk melanggengkan monopoli di sektor ketenagalistrikan.

Lebih lanjut, dalam keterangan yang dilansir dari DetikX, Roni menambahkan bahwa beliau mengundurkan diri dari jabatannya lantaran terdapat dua pihak di tingkat lembaga eksekutif yang mendesaknya untuk memasukkan KBLBB ke situs web e-Katalog. Padahal, proses verifikasi suatu barang dan/atau jasa untuk masuk ke E-Katalog membutuhkan waktu yang cukup lama mulai dari harga hingga infrastruktur sebagaimana ketentuan Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2021.

Setelah Roni mengundurkan diri, proses registrasi KBL ke E-Katalog berjalan lancar tanpa adanya verifikasi. Salah satu industri KBLBB yang mendaftarkan produknya ke E-Katalog ialah perusahaan milik Moeldoko, selaku Kepala Staf Kepresidenan, bernama PT Mobil Anak Bangsa yang didirikan tahun 2017 lalu.

Selain Kepala Staf Kepresidenan yang secara terang-terangan melakukan jual beli di E-Katalog, terdapat dua menteri lain yang diketahui melakukan penggabungan perusahaan bernama Electrum yang berencana akan melakukan kerja sama dengan PLN.

Hal tersebut pun lagi-lagi diperkuat dengan diterbitkannya Inpres 7/2022 yang menjadi landasan bagi Presiden Republik Indonesia untuk menginstruksikan Luhut Binsar Panjaitan selaku Menkomarves dan Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek selaku petinggi Electrum untuk melakukan koordinasi terhadap keseluruhan pelaksanaan KBL di Indonesia.

Menilik keterlibatan pemerintah dalam usaha jual beli KBLBB tersebut, maka hal ini pada dasarnya berpotensi untuk memunculkan conflict of interest pada pemerintah yang secara bersamaan merangkap sebagai pengusaha KBLBB.

Jika melihat ke belakang, permasalahan ini serupa tapi tak sama dengan apa yang terjadi di era Soeharto, ketika Presiden ke Indonesia tersebut berupaya untuk mengoptimalkan perkembangan industri mobil Indonesia. Pada tahun 1996, terdapat satu produsen mobil yang secara gamblang ditunjuk melalui Inpres Nomor 2 Tahun 1996 (Inpres 2/1996) untuk menjadi satu-satunya perusahaan yang berwenang untuk mengorkestrasi industri mobil dalam negeri.

Perusahaan tersebut bernama PT Timor Putra Nasional (PT TPN), sebuah perusahaan milik anak Soeharto, tak lain dan tak bukan bernama Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Melalui Inpres 2/1996, Soeharto memerintahkan beberapa menteri seperti Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, serta menteri yang lainnya untuk segera mewujudkan ambisinya.

Kejadian yang terjadi pada PT TPN pun seolah-olah seperti terulang pada Electrum sebagai perusahaan yang dimiliki oleh penguasa sekaligus pengusaha negara. Tidak hanya itu, terdapat kesamaan antara fenomena pengembangan industri mobil dalam negeri di masa lalu dan pengembangan KBLBB di masa kini, yaitu sama-sama "dilumasi" oleh "pelicin" bernama Inpres yang bertujuan untuk mengakselerasi progres kedua program tersebut.

Berkaca dari fenomena tersebut, ekosistem KBLBB juga terlihat berputar-putar di satu entitas yang sama, mulai dari produsen, pencipta pasar, hingga regulator. Hal ini didukung dengan adanya fenomena serupa ketika PLN sebagai pengelola listrik di Indonesia berencana untuk membagikan kompor listrik gratis pada akhir tahun 2022 lalu.

Melihat kedua fenomena sebelumnya yang terlampau saling memiliki keterkaitan dengan sektor ketenagalistrikan Indonesia, pemerintah seolah-olah sedang memperluas permintaan listrik dalam negeri, mulai dari pemberian kompor listrik gratis hingga pembuatan ekosistem KBLBB.

Apabila melihat penawaran listrik di Indonesia, maka upaya peningkatan daya listrik tersebut seperti berkaitan. Hal tersebut dapat dilihat karena ternyata hingga saat ini Indonesia mengalami kelebihan pasokan listrik atau yang biasa disebut oversupply hingga mencapai 1 gigawatt dan mengakibatkan PLN merugi hingga Rp 3 triliun.

Kendaraan Listrik sebagai Solusi Transisi Energi atau Upaya Melanggengkan Monopoli?
Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian ESDM terus mengembangkan KBLBB dengan tujuan untuk mengurangi emisi demi mencapai net-zero emission. Hal tersebut pun didukung oleh pembuatan ekosistem KBLBB mulai dari pembuatan kebijakan yang berisi pemberian insentif bagi industri maupun calon konsumen, pajak 0% bagi KBL, hingga pembangunan SPKLU/SPBKLU di seluruh daerah di Indonesia.

Akan tetapi, mengingat pengisian daya KBL yang masih bersumber pada PLTU, maka produksi massal KBL akan meningkatkan permintaan dan konsumsi listrik yang masih didominasi oleh energi fosil. Hal ini pun tidak sesuai dengan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience Indonesia yang berkomitmen untuk mengurangi konsumsi energi fosil di Indonesia dalam mencapai net-zero emission di tahun 2060.

Lalu, pengembangan KBLBB ini seolah-olah menjadi momen bagi para pihak yang berkepentingan untuk mempermudah ekosistem KBL, seperti pembuatan infrastruktur, pemberian insentif, dan yang lainnya. Akhirnya, pengelolaan listrik pun seolah-olah berkutat di satu pihak dan menjadi upaya untuk melanggengkan monopoli pengelolaan listrik dan ketergantungan batu bara di Indonesia.

Hal ini pun dapat dilihat dari diterbitkannya Inpres 7/2022 yang seolah-olah menjadi "hadiah" kepada para pengusaha tambang dan pengusaha otomotif mengingat para penerima manfaat dari KBL dan pembuat Inpres yang mendukung ekosistem KBL berada di lingkungan yang sama.

Dengan demikian, Pemerintah Indonesia sebaiknya dapat melakukan usaha untuk mempercepat target transisi energi dengan memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dibanding melakukan produksi massal KBLBB.

Hingga tahun 2022, Indonesia baru mencapai target bauran energi nasional Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 14,11% dari total target sebesar 23%. Padahal, Indonesia memiliki total 442 Gigawatt sumber energi terbarukan namun hanya terpakai sekitar 2% di tahun 2020.

Melihat ketimpangan antara penggunaan energi fosil dan energi terbarukan tersebut, jika memang ingin mencapai tujuan net-zero emission di tahun 2030, maka Indonesia dapat mulai untuk meminimalisir ketergantungannya atas energi fosil dan mulai untuk memaksimalkan penggunaan energi terbarukan.

Sebagai pengayaan, apabila memang Indonesia bercita-cita ingin mengurangi emisi di sektor transportasi, maka kita secara kolektif harus merenungkan pendapat dari Prof. Agus Taufik Mulyono selaku Guru Besar Bidang Transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menjelaskan bahwa akan lebih baik bila pemerintah berorientasi pada pengembangan transportasi publik terlebih dahulu daripada fokus pada pengembangan kendaraan listrik.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation