Krisis Komunikasi Kemenkeu: We Salute The Rank, Not The Man

Algooth Putranto CNBC Indonesia
Selasa, 28/03/2023 05:30 WIB
Algooth Putranto
Algooth Putranto
Algooth Putranto adalah dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Jaya. Sebagai jurnalis sejak 2004 memiliki ketertarikan kepada isu ... Selengkapnya
Foto: Gedung Kementerian Keuangan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

We salute the rank, not the Man (Kita menghormati pangkat, bukan orangnya) Kutipan dialog dari seri terakhir miniseri Band of Brothers hasil garapan bersama Steven Spielberg dan Tom Hanks di tahun 2001 ini mungkin sekadar trivia, namun penting untuk memahami sistem struktur di sebuah organisasi kemiliteran.

Dalam episode 'Points' atau episode terakhir miniseri ini, ada adegan Komandan Batalion Mayor Richard Winters (diperankan Damian Lewis) yang didampingi ajudan sekaligus sahabatnya, Kapten Lewis Nixon (Ron Livingston) menegur mantan komandan Kompi Easy, Letnan Herbert Sobel (David Schwimmer).

Sang mantan komandan di pusat pendidikan pasukan Lintas Udara Toccoa, negara bagian Georgia namun tak becus di lapangan, Sobel yang berpangkat Kapten pura-pura tak melihat komandan Batalion dan membalas memberikan hormat.


Dalam organisasi militer di mana pun, kepatuhan dan ketaatan kepada atasan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Bagi prajurit TNI, hal ini secara jelas dijabarkan dalam Sumpah Prajurit dan Sapta Marga yang menganut asas kesatuan komando (Unity of Command).

Bagaimana dengan organisasi sipil? Nah ini hal penting dan penulis lihat menjadi salah satu persoalan dalam Kementerian Keuangan yang sedang mengalami krisis komunikasi tersebab drama tragedi asmara anak salah satu pejabat di Direktorat Jenderal Pajak.

Tak hanya menyebabkan jerat hukum bagi pribadi pelaku karena melakukan penganiayaan, sang ayah kini harus menerima kenyataan pahit. Namun yang lebih pelik, tindakan anak pejabat itu ibarat membuka guci pandora persoalan internal di Kemenkeu.

Entah sial atau kebetulan, krisis komunikasi di Kemenkeu terjadi hanya terjadi dua pekan setelah Menkeu Sri Mulyani Indrawati merombak 30 orang jajaran di lingkungan Kementerian itu pada 10 Februari 2023.

Mungkin banyak yang lupa, penanggungjawab komunikasi di Lapangan Banteng, Rahayu Puspasari sebagai Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Sekretariat Jenderal digeser Bu Menteri sebagai Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam (PNBP SDA) dan Kekayaan Negara Dipisahkan.

Jadilah ketika negara api menyerang eh, krisis komunikasi menghantam, Kemenkeu tanpa penanggungjawab komunikasi. Lho apa pentingnya Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi? Mengutip PMK No. 118 /PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkeu, di situ dipaparkan tugas Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi adalah nakhoda kehumasan.

Dari struktur organisasi, fungsi kehumasan di Kemenkeu yang ditempatkan di bawah Biro Umum memanglah menempati porsi marjinal. Tugasnya tertumpuk oleh tugas klerikal a.l Administrasi, Rumah Tangga, Keuangan, Sumber Daya Manusia, Organisasi, Tata Laksana, Kepatuhan Internal dan Manajemen Barang Milik Negara.



Struktur dan SDM
Nah bukannya urusan komunikasi Kemenkeu ada Stafsus Menteri Bidang Komunikasi Strategis yang dijabat Eselon I alias sejajar dirjen. Tugasnya apa? Ngetwit? Ya tidaklah, sesuai namanya 'Komunikasi Strategis' berarti rangkaian perencanaan komunikasi. Jadi stafsus Bu Menkeu itu ya seharusnya sekadar perencana. Namanya saja stafsus.

Lalu siapa pelaksananya? Ya seharusnya dilakukan oleh Biro Komunikasi. Eselon II inilah yang menjabarkan Komunikasi Strategis dari Eselon I tersebut menjadi strategi komunikasi alias bagaimana cara mencapainya.

Lha kok komunikasi Kemenkeu jadi ruwet begini? Penulis melihat salah kaprah fungsi komunikasi di kementerian atau banyak organisasi pemerintahan.

Pertama, posisi penanggungjawab kerja komunikasi tidak tepat di dalam struktur sehingga menyebabkan fungsi komunikasi tidak strategis alias hanya sekadar sebagai pelaksana atau dalam kondisi krisis menjadi tukang cuci piring.

Dengan posisi sekadar eselon II, secara struktur pun tidak memiliki kekuasaan yang efektif agar strategi komunikasi sebagai pengejawantahan komunikasi strategis dilaksanakan oleh struktur di atasnya. Dalam kondisi ini prinsip We salute the rank, not the Man berlaku.

Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM) yang menempati posisi penanggungjawab komunikasi tidak memiliki dasar keilmuan maupun praksis komunikasi akibatnya strategi komunikasi sebagai penjabaran komunikasi strategis rentan mengalami ketidaktepatan.

Memang benar para Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi memiliki pendidikan sundul langit di bidang ekonomi, sayangnya ilmu mereka bukan di bidang komunikasi. Ini belum lagi SDM di tingkat pelaksana yang rata-rata jebolan sekolah kedinasan di bawah Kemenkeu yang memang tidak dicetak sebagai sarjana komunikasi.

Lho memangnya jebolan sekolah kedinasan tidak mampu? Penulis sangat yakin mereka mampu secara teknis. Misal membuat desain dan videografi untuk medsos. Soal itu nanti buat apa? Ditujukan ke siapa, melalui apa? Bagaimana tahapan-tahapannya? Itu kompetensi para sarjana Ilmu Komunikasi.

Dengan dua persoalan ini, wajar jika kemudian Bu Menkeu terlihat gusar sekaligus kesasar. Lha kok kesasar? Bagaimana tak saya sebut kesasar jika seorang menteri yang dibesarkan oleh media massa di tengah krisis kepercayaan justru memilih mengundang influencer medsos dibandingkan jurnalis.

Kesasarnya Bu Menteri bisa jadi terjadi mungkin karena pembisiknya tak memiliki pengetahuan ilmu komunikasi. Hal yang sederhana saja, misal bagaimana membedakan media sosial dan media massa atau bagaimana derajat kepercayaan masyarakat kepada media sosial dan media massa.

Hingga kini di tengah beratnya kondisi media massa menghidupi diri, riset tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi masih menempatkan media massa di peringkat atas. Bukan para influencer yang memiliki jutaan pengikut. Sekali lagi We salute the rank, not the Man berlaku.


(miq/miq)