Mau Dibawa ke Mana Industri Pariwisata Indonesia?

Arista Atmadjati, CNBC Indonesia
12 January 2023 14:30
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati merupakan Dosen Manajemen Transportasi Udara, Universitas International University Liason Indonesia (IULI), BSD, Banten. Ia juga menjabat sebagai Chairman Aviation School AIAC dan dikenal sebagai pengamat penerbangan... Selengkapnya
People walk along the beach in Kuta, Bali, Indonesia on Thursday, Oct. 28, 2021. After a summer where COVID-19 infection and death rates soared, officials said this week that they are sticking to plans to allow travel with some limitations, and expects nearly 20 million people to vacation in the popular islands of Java and Bali. (AP Photo/Firdia Lisnawati)
Foto: Suasana di Kuta Bali, beberapa waktu lalu (AP/Firdia Lisnawati)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Situasi pariwisata Indonesia sampai dengan saat ini boleh saya katakan sangat mengenaskan. Bagaimana tidak, potensi berupa destinasi yang sangat melimpah bak pecahan surga di bumi ini belum termanfaatkan dengan maksimal.



Indikator nyata yang menjadi patokan adalah kunjungan wisatawan mancanegara. Mengutip data Badan Pusat Statistik yang diambil tahun 2019 atau sebelum Pandemi Covid-19, kunjungan wisman Indonesia (16 juta orang) kalah jauh dibandingkan Thailand (40 juta orang), Malaysia (26 juta orang), Singapura (19 juta orang), dan Vietnam (19 juta orang).

Lalu, apa yang salah dengan pariwisata Indonesia? Padahal, seperti yang saya jelaskan di bawal, banyak sekali spot destinasi yang tiada duanya di tanah air.

Memang saat ini, kita lebih konsentrasi kepada pengembangan lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP). Jumlah itu direvisi dari sebelumnya sebanyak 10 DPSP.

Sebenarnya, petunjuk titik lemah DPSP Indonesia sudah ditunjukkan dengan jelas oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, beberapa waktu lalu. Beliau menyinggung beberapa kelemahan destinasi pariwisata di Indonesia.

Pertama, aksesibilitas menuju destinasi pariwisata. Di luar lima destinasi prioritas, sejatinya banyak wisman yang menikmati wisata berbasis bahari dan ekosistem seperti Pulau Togean Sulawesi Tengah, Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat, Pulau Sikuai Sumatra Barat, dan destinasi-destinasi lainnya.

Namun, berdasarkan pengalaman saya pribadi, pulau-pulau itu sulit dijangkau karena persoalan aksesibilitas. Misalnya ke Pulau Togean di mana dari Jakarta, kita harus menggunakan transportasi udara ke Gorontalo, baru melanjutkan dengan kendaraan roda empat ke sebuah desa dilanjutkan menyeberang dengan perahu ke Pulau Togean. Sangat melelahkan.

Persoalan kedua yang disinggung Menko Marves adalah turisme Indonesia kurang atraksi dan faktor budaya. Walau saya agak ragu masalah keramahtamahan budaya, sang menteri pun heran.

Tapi kalau saya maknai tentu keramahantamahan ini hanya konsentrasi di titik-titik destinasi ternama, semisal di Borobudur Jawa Tengah atau di Kuta Bali. Situasi berbeda tampak di Lembah Harau Sumatra Barat di mana jamak ditemukan pedagang acung yang menjual suvenir yang lengket seperti perangko. Tentu wisatawan baik nusantara maupun mancanegara merasa tidak nyaman dan malah tertekan untuk terpaksa membeli dagangan.

Patut disayangkan, pariwisata Indonesia tidak bisa mengatasi hal-hal yang remeh temeh begini. Untungnya sekarang dengan adanya media sosial, turis bisa langsung komplain dengan bukti otentik berupa rekaman video via HP.

Sebagai contoh peristiwa yang terjadi di Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Ketika itu, budaya Jogja yang adiluhung dinodai pedagang kuliner dan tukang parkir bus yang mematok harga seenaknya.

Akan tetapi, berkat laporan wisnus yang viral di medsos, masalah itu terselesaikan untuk sesaat. Namun, bagaimana ke depannya? Saya pun kaget mendapati fakta-fakta itu.

Lalu kelemahan lain yang disinggung Menko Marves terkait amenities (perlengkapan penunjang) wisata. Misalnya toilet di titik wisata maupun air bersih untuk kantinnya.

Wisman yang melihat piring dicuci di ember berulang kali tentu merasa jijik. Meskipun bagi masyarakat kita merasa hal tersebut lumrah.

Untuk itu, Dinas Pariwisata dan Dinas Pekerjaan Umum di daerah-daerah harus bisa membuat ledeng atau saluran air ke dapur kantin di destianasi parwisata. Pun air yang mengalir lancar di toilet sehingga tidak ada bau pesing.

Ini sederhana, namun jarang dipikirkan stakeholder pariwisata kita. Mari mulailah membangun pariwisata kita dari yang mudah-mudah saja dulu seperti pembenahan air toilet dan air ledeng untuk kantin-kantin yang berjualan di destinasi-destinasi pariwisata.

Persoalan anggaran
Salah satu awal titik lemah kemajuan pariwisata Indonesia yang harus mengelola 17.000 pulau adalah anggaran pariwisata kita butuh alokasi yang besar. Ini karena tuntutan pemerintah kepada dunia pariwisata Indonesia juga tidak main-main.

Kalau saya mengikuti dari berbagai sumber, untuk pemulihan wisata era pandemi Covid-19, pemerintah memberikan semacam bantuan dana segar pemulihan untuk tahun 2022 sebesar Rp 13,5 triliun. Kemudian untuk tahun 2022 yang diputuskan Menteri Keuangan Sri Mulyani per Oktober 2022 dalam Rakornas Kemenparekraf ada Rp 9,3 triliun.

Pertayaannya, apakah anggaran itu cukup? Kalau melihat geografi pariwisata Indonesia yang luas, banyak hotel yang mem-PHK pegawati, banyak hotel di Bali dan DIY yang dijual via daring, maka mereka perlu dana segar untuk pemulihan.

Saya yakin dana itu tidak cukup. Tapi itulah quo vadis pariwisata kita. Pemerintah sangat perlu uang, destinasi wisata kita terindah nomor 1 di dunia namun dari dulu kita tidak maju, ibarat goyang poco-poco alias diam di tempat.

Sumbangan traffic pariwisata dari maskapai
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah harga tiket pesawat. Harga minyak dunia saat ini sudah di US$ 79 per barel. Tahun lalu, harga minyak sampai menembus US$ 120 per barel. Padahal cost dari avtur bisa mencapai 40% dari total cost.

Kalau maskapai ingin menutupi rugi dua tahun akibat pandemi Covid-19, ini juga sama saja memberitakan dunia pariwisata yang hanya penuh kalau musim liburan. Nah season orang bepergian kan tidak satu bulan full terus, ada masa low season pertama Januari sampai dengan April dan masa low season kedua Agustus-September.

Apa iya maskapai tetap ngotot harga tiket tinggi? Faktor harga tiket tinggi memang kompleks karena jumlah armada pesawat di Indonesia juga menyusut 50% karena beberapa pesawat dikembalikan ke lessor-nya. Perlu duduk bersama Kemenhub, Kemenparekraf, dan INACA, untuk mencari formula harga tiket yang rasional, jika tidak bisa murah lagi.

Ya tujuannnya mendorong wisnus mau jalan-jalan. Ingat wisata keluarga minimal empat orang. Kalau kenaikannya minimal Rp 600.000 sekali jalan, maka Rp 1,2 juta pulang pergi. Jika dikalikan empat orang, maka ada tambahan Rp 4,8 juta.

Masyarakat tentu tidak berminat menaikin pesawat. Untuk itu perlu dicari solusi holistik dan komprehensif semua stake holder.

Tujuannya, agar dunia maskapai dan pariwisata bisa hidup secara sustainable dan membawa kemaslahatan bagi semua rakyat kita.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation