Hari Penerbangan Sipil Sedunia, Ilham Habibie dan Pesawat R80

Totok Siswantara, CNBC Indonesia
07 December 2022 18:45
Totok Siswantara
Totok Siswantara
Totok Siswantara merupakan eks karyawan di PTDI Bandung. Penulis pada saat ini melakukan kajian reinventing Marhaenisme dan Sosialisme Indonesia relevansinya dengan pembangunan saat ini. Penulis berkhidmat sebagai tim litbang dan penetrasi media di Federas.. Selengkapnya
Melihat Kecanggihan Pesawat R80
Foto: Ilustrasi R80 (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Hari Penerbangan Sipil Sedunia atau International Civil Aviation Day yang diperingati setiap tanggal 7 Desember menumbuhkan spirit untuk membangkitkan industri dirgantara nasional. Bangsa Indonesia telah menguasai teknologi penerbangan dan sejajar dengan negara maju.



Penerbangan sipil adalah jembatan udara yang sangat relevan dengan kondisi geografis Indonesia. Penguasaan teknologi penerbangan oleh putra-putri bangsa benar-benar nyata.

Semua lini ilmu penerbangan sudah dikuasai, berbeda dengan misalnya teknologi kereta cepat akan dioperasikan di tanah air yang nota bene adalah produk jadi dari luar negeri yang teknologi belum dikuasai.

Untuk mempertahankan ekosistem industri dirgantara, pemerintah sebaiknya menghidupkan lagi program R80 dan N245 sebagai proyek strategis nasional. Dengan itu, ekosistem industri kedirgantaraan nasional bisa membaik dan di masa depan tidak tergantung kepada asing.

Apalagi industri dirgantara terus berkembang terkait dengan transformasi energi yang ramah lingkungan. Sehingga beberapa negara sudah
merancang tipe pesawat terbang bertenaga hidrogen dan juga pesawat listrik.

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) juga berperan besar dalam mewujudkan jaringan angkutan cepat global yang ideal sesuai dengan semangat zaman.

Baru saja Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mendatang, Ilham Akbar Habibie meluncurkan buku yang berjudul "Kebangkitan Industri Dirgantara Menuju Indonesia Emas 2045". Buku tersebut sangat relevan dengan kondisi dunia penerbangan.

Ilham Habibie hingga kini masih konsisten menggeluti rancang bangun pesawat terbang, dan telah bersiap melakukan transformasi industri penerbangan yang mengarah kepada penggunaan energi baru terbarukan. Transformasi juga menyangkut fabrikasi industri pesawat terbang yang sesuai dengan etika lingkungan hidup dan era Industri 4.0.

Sehingga proses produksi pesawat, sertifikasi dan pengujian bisa dilakukan lebih praktis dan efisien. Standar dan regulasi bisa dipenuhi dengan cepat.

Transformasi itu tentunya membutuhkan SDM penerbangan nasional dari generasi milenial, karena generasi yang dicetak oleh BJ Habibie (BJH) pada era tahun 1980-an sebagian besar sudah pensiun.

Menghadapi era Industri 4.0, tentunya Ilham Habibie membutuhkan SDM milenial yang berkompeten dalam jumlah yang besar. Untuk itu kluster industri dirgantara tentunya perlu berkolaborasi menyiapkan tenaga kerja industri berkompeten. Mengadakan program massive action untuk insinyur penerbangan dan pendidikan vokasi untuk up-skilling dan re-skilling bagi seluruh sektor terkait.

Perlu napak tilas keberhasilan BJH saat mengembangkan SDM nasional lewat pendidikan vokasional. BJH adalah pelopor program vokasional atau kejuruan yang berbasis apprentice untuk membangkitkan nilai tambah lokal. Menurutnya program vokasional berbasis apprentice adalah kunci suksesnya industrialisasi di negara maju.

Saat itu BJH menerapkan sistem apprentice untuk memenuhi kebutuhan SDM industri strategis yang dia pimpin dalam waktu yang cepat. BUMN industri strategis, seperti industri pesawat terbang PT DI pernah mencetak puluhan ribu teknisi ahli yang direkrut dari lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang andal dan sesuai dengan kebutuhan.

Selain itu BJH juga mendirikan lembaga pendidikan keinsinyuran yakni Institut Teknologi Indonesia (ITI) yang berkampus di Puspiptek Serpong Tangerang Sealatan. Yang saat ini disebut KST BJ Habibie, merupakan kawasan sains dan teknologi yang telah dikenal sebagai kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bawah naungan BRIN.

Ilham Habibie yang kini juga menjabat Dewan Pembina Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia (YPTI) yang salah satu tugasnya mengelola ITI sebaiknya mencetak SDM dirgantara nasional yang akan terlibat dalam transformasi teknologi dan industri penerbangan mendatang.

Transformasi dunia mengarah kepada teknologi pesawat terbang bertenaga hidrogen. Tentunya perspektif ini membutuhkan SDM apprenticeship dan insinyur yang terkait dengan transformasi tersebut.

Apprenticeship diadopsi BJH dari Jerman merupakan sistem pendidikan kerja, yang mengkombinasikan pelatihan di tempat kerja dengan pembelajaran berbasis di sekolah, terkait kompetensi dan proses kerja yang ditentukan secara khusus.

Negara perlu memfasilitasi transformasi industri dirgantara yang kini sedang dilakukan oleh Ilham Habibie. Pemerintah perlu memberikan berbagai insentif agar ekosistem dirgantara nasional dan SDM tidak mengalami brain drain ditelan zaman.

Transformasi membutuhkan sinergi antara Industri penerbangan, perguruan tinggi dan BRIN. Banyak dosen dan guru besar di ITI yang memiliki latar belakang kegiatan riset dan pengembangan teknologi dirgantara.

Di jurusan Teknik Mesin misalnya, ada beberapa dosen pakar uji konstruksi yang punya pengalaman internasional yang panjang terkait laboratoriun uji konstruksi (LUK). Yang telah melakukan pengujian komponen pesawat terbang dan pengujian skala penuh untuk jenis pesawat CN-235 dan N-250. Juga untuk komponen non aircraft atau komponen produk manufaktur yang lain.

Agar kebijakan riset dan inovasi nasional bisa lebih efektif sebaiknya operasional ITI, institut yang didirikan BJH itu di bawah pengelolaan BRIN. Sehingga BRIN bisa membuka prodi baru atau menyempurnakan prodi yang ada untuk memenuhi SDM yang memenuhi kualifikasi sebagai tenaga berbagai laboratrorium dan aktivitas riset dan inovasinya. Saatnya BRIN "take over" ITI agar memiliki lembaga pendidikan kejuruan atau kedinasan seperti halnya yang dimiliki oleh TNI.

Transformasi yang dilakukan oleh Ilham Habibie juga akan didukung dengan peran ITI/YPTI sebagai lembaga pelaksana sertifikasi insinyur Indonesia. Begitupun program masif ke depan berupa memperbanyak workshop dan pelatihan pekerja industri dirgantara sesuai dengan kerangka kerja Making Indonesia 4.0 yang telah diluncurkan Presiden Joko Widodo.

Yakni pentingnya pusat inovasi, maka BRIN bersama PT Dirgantara Indonesia (PT DI), PT Regio Aviasi Indutri (RAI), serta berbagai kluster industri dirgantara yang tekah eksis di tanah air, bersama mendorong terwujudnya ekosistem industri dirgantara yang lebih cerah.

Pemerintahan mesti memberikan perhatian yang lebih besar dan konkret terkait dengan pengembangan klaster industri dirgantara lewat kebijakan yang lebih progresif dan insentif yang lebih konkret.

Salah satu cara untuk mempercepat transformasi klaster industri dirgantara mewujudkan ekosistem Industri 4,0 yang didukung riset dan pengembangan penerbangan dan antariksa. Keniscayaan bagi Indonesia untuk melakukan penguatan peran asosiasi dan usaha yang bergerak di bidang aerospace industry antara lain Indonesia Aeronautical Engineering Center (IAEC), Indonesia Aircraft Component Manufacturer Association (INACOM), Indonesia Aircraft Maintenance Service Association (IAMSA), PT DI, PT RAI, GMF AeroAsia.

Pada bulan September 2022, putra sulung Presiden ke-3 RI BJ.Habibie telah menjelaskan terkait nasib Pesawat R80 karya anak bangsa. Dia mengungkapkan ada potensi bagus terkait dengan pengubahan sistem bahan bakar pesawat tersebut dengan menerapkan energi terbarukan.

Pesawat R80 sangat strategis untuk mendukung sistem konektivitas nasional kedepan. Sayangnya pemerintah terlalu tergesa-gesa, lalu mencoret R80 sebagai proyek strategis nasional (PSN). Demi kemajuan bangsa, pemerintah sebaiknya memasukkan lagi Pesawat R80 sebagai PSN.

Pesawat R80 secara teknis sistem bahan bakarnya bisa ditransformasikan dengan sumber energi baru. Seperti mengubah teknologi bahan bakar kerosene dengan hidrogen.

Bahkan industri penerbangan Airbus telah bekerja sama dengan pembuat mesin CFM International, perusahaan patungan General Electric dan Safran Prancis telah melakukan desain dan pengujian mesin pesawat berbahan bakar hidrogen.

Salah satu tantangan besar dalam menggunakan bahan bakar hidrogen adalah penyimpanannya membutuhkan peralatan tambahan yang menambah bobot pesawat, mengurangi jumlah orang atau jumlah kargo yang dapat dibawa oleh pesawat.


(miq/miq)

Tags
Recommendation