Kondisi Pariwisata Global Akhir 2023 & Tantangan Pariwisata RI di 2024

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kecelakaan pesawat terbang jenis G-36 Bonanza T-2503 milik TNI AL yang jatuh saat melakukan latihan di Selat Madura perlu segera diatasi penyebabnya agar tidak terulang lagi. Pesawat tersebut mengalami kecelakaan saat konvoi KRI melaksanakan latihan Anti Serangan Udara (Air Defense Exercise), di mana dalam skenario tersebut pesawat terbang dengan sebutan Pesud itu berperan sebagai penyerang.
Belum lama berselang juga terjadi kecelakaan pesawat jenis T50i Golden Eagle TT-5009 milik TNI AU yang sedang melakukan latihan terbang malam hari. Pesawat itu jatuh di Desa Nginggil, Kradenan, Blora, Jawa Tengah.
TNI AL telah mengoperasikan alutsista berupa Pesud Beechcraft tipe Bonanza G-36, yang diantaranya ditempatkan di base ops TNI AL Juanda, Surabaya.
Pesawat latih dibuat di Kansas, USA, bermesin tunggal, berkekuatan 300 HP, 6 cylinder dan berbahan bakar avgas. Mampu terbang dengan kecepatan maksimal hingga 326 km/jam, dengan dimensi tinggi 2,62 m dan panjang 8,38 m. Kemampuan jelajah 1.713 km dengan ketinggian 5.639 m.
Pihak perusahaan swasta penyedia pesawat tersebut adalah PT. Krida Setia Abadi. Dalam kontrak pengadaan pesawat latih ini juga meliputi pelatihan pilot dan mekanik yang dilaksanakan di Amerika Serikat (AS).
Tujuan pengadaan jenis pesawat tersebut adalah upaya TNI AL menyiapkan personel penerbang yang andal sehingga mampu menjawab tantangan tugas TNI AL ke depan. Puspenerbal selaku pembina alutsista pesawat udara, diserahi tugas merawat serta memelihara pesawat ini dengan baik, sehingga mampu mendukung tugas-tugas TNI AL sesuai yang diamanatkan oleh negara.
Kecelakaan beruntun pesawat TNI mengindikasikan terjadinya masalah terkait sistem perawatan dan eksistensi SDM teknik kedirgantaraan. Program Zero Accident pesawat TNI bisa efektif jika didukung oleh SDM yang kredibel dan menguasai teknologi dan sistem perawatan pesawat.
Sistem pemeliharaan biasanya bertemali sejak kontrak pengadaan pesawat. Terutama terkait dengan transfer of technology (ToT).
Belum juga tuntas penyelidikan Pesawat T-50i Golden Eagle, menyusul Pesawat Beechcraft tipe Bonanza G-36. Golden Eagle yang jatuh sebelumnya merupakan satu dari 16 pesawat sejenis di lingkungan TNI AU. Pesawat yang diproduksi oleh Korea Aerospace Industry (KAI) itu dioperasikan di Indonesia pada 2013. Enam belas pesawat itu merupakan realisasi kontrak pada tahun 2011 bernilai 400 juta dolar AS.
Sebagai pesawat latih, T-50i Golden Eagle memiliki spesifikasi yang andal. Dilengkapi dengan mesin buatan General Electric F404-GE-102 yang mampu menghasilkan daya dorong 17.700 pounds dengan kecepatan maksimal 1,5 Mach atau 1,5 kali kecepatan suara.
Kecelakaan pesawat Golden Eagle mengingatkan kita kepada kecelakaan serupa yakni pesawat tempur taktis milik TNI AU jenis Super Tucano TT-3108 yang jatuh di Malang. Super Tucano merupakan pesawat berkemampuan COIN (Counter Insurgency) atau pesawat anti perang gerilya buatan Embraer Defense System, Brasil.
Pengadaan pesawat Golden Eagle dan Super Tucano berdasarkan Renstra-1 2010-2014 yang dikenal dengan istilah Strategic Defence Review (SDR).
Untuk mewujudkan program zero accident atau kecelakaan nihil bagi pesawat TNI perlu didukung oleh SDM yang benar-benar menguasai sistem dan aspek desain pesawat. Pada saat ini mestinya ada sejumlah SDM yang menguasai alih teknologi pesawat tersebut. Sayangnya hal itu belum menjadi pasal dalam kontrak pembelian.
Baik pesawat tempur jenis Golden Eagle maupun Super Tucano masih perlu dikembangkan sehingga mampu beroperasi di malam hari dengan melengkapi sistem navigasi yang andal. Antara lain mengintegrasikan dengan radar RWR (Radar Warning Receiver), MAWS (Missile Approach Warning System), dan chaff/flare dispenser.
Juga kemampuan melihat objek dengan sinar infra merah yang handal dengan adanya perlengkapan FLIR (forward looking infrared) tipe Star Safiore seperti yang digunakan pada pesawat tempur canggih di atas kelasnya.
Sederet kecelakaan pesawat TNI selama ini diprediksi ada masalah pada engine (mesin), dan tidak menutup kemungkinan terkait suku cadangnya.
Ada praktik yang riskan terjadi di dunia penerbangan terkait dengan suku cadang pesawat. Di pasar ada pihak yang memoles suku cadang yang tidak laik lagi digunakan. Kemudian direkondisi, diperbarui dengan menyertakan dokumen yang tidak resmi. Dokumen yang bermasalah alias aspal itu antara lain COC (certificate of confirm), ARC (authorized release confirm), serta CoO (certificate of origin) yang dikeluarkan pabrik suku cadang yang sudah mendapat izin dari otoritas terkait.
Mengingat prosedur pengadaan suku cadang alutsista TNI yang ketat, kecil kemungkinan suku cadang aspal bisa dipakai untuk pesawat militer.
Apalagi prosedur pengadaan suku cadang pesawat militer diawasi secara ketat oleh Komando Pemeliharaan Materiil TNI yang mengelola depo-depo Pemeliharaan (Depohar). Komando itu memiliki peranan penting dalam menyiapkan dan pemelihara pesawat terbang TNI.
Namun dalam pelaksanaannya, ada beberapa masalah yang timbul guna mendukung kesiapan pesawat terbang. Masalah tersebut di antaranya yaitu kurangnya dukungan suku cadang yang tepat jenis, jumlah, mutu dan waktu, sementara di lain pihak kebutuhan suku cadang setiap waktu semakin meningkat, sehingga mengakibatkan tingkat kesiapan operasional pesawat TNI menurun.
Keberadaan Depohar yang merupakan satuan kerja dituntut kemampuannya di bidang pemeliharaan tingkat berat (overhaul) terhadap pesawat terbang, engine, propeller dan komponen avionic beserta komponen pendukung lainnya.
Depohar telah dilengkapi berbagai macam peralatan dan sarana prasarana pendukung serta personel pemeliharaan yang kompeten dan bersertifikat. Mestinya untuk meningkatkan kesiapan operasional pesawat terbang terkait suku cadang berupa komponen (part), removable item, bit and pieces dan expendable item sudah tidak bermasalah lagi.
Komponen (part) merupakan bagian dari alat utama merupakan gabungan dari beberapa bagian dan mempunyai fungsi tertentu, walaupun tidak final (fungsinya) seperti alat utama yang berdiri sendiri.
Komponen yang diklasifikasikan sebagai barang yang dapat diperbaiki dan diperoleh kembali ke dalam pembekalan, atau barang yang dapat diperoleh kembali (oleh pembekalan) karena pemeliharaan, terkenal dengan sebutan Maintenance Supply Item (MSI). Pesawat terbang militer maupun sipil menggunakan jasa Maintenance Repair and Overhaul (MRO) dalam menyiapkan dan memelihara pesawat terbangnya agar siap operasional.
Di samping itu, MRO juga selalu bekerjasama dan menggandeng vendors dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan suku cadang agar kebutuhannya dapat terdukung tepat jenis, jenis, jumlah, mutu dan waktu dengan menggunakan beberapa metode pengadaan yang salah satunya diantaranya adalah metode rotable pools. Terkait dengan vendors inilah segala kemungkinan dan praktik curang bisa saja terjadi. Bisa juga terjadi fraud atau penyimpangan lainnya.
Di masa mendatang perlu manajemen suku cadang yang lebih tangguh sehingga suku cadang yang dibutuhkan tepat jumlah, mutu dan waktu. Penggunaan metode rotable pools akan menyediakan dukungan suku cadang dalam kondisi terpenuhinya minimum stock level dan siap digunakan setiap waktu.
Tantangan pemeliharaan alutsista ke depan adalah terwujudnya pengelolaan anggaran yang lebih murah dan efisien. Pengadaan suku cadang mesti menerapkan pengadaan langsung antara pembeli/pengguna dengan penyedia barang/jasa yaitu vendors.
Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo meminta dilakukan perombakan manajemen alutsista di TNI. Presiden juga mengamanatkan zero accident dalam penggunaan alutsista. Sehingga alutsista berupa pesawat tempur, pesawat angkut, kapal perang, helikopter, benar-benar dalam kondisi kesiapan operasional tinggi.