Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali

Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019 – sekarang dengan tanggungjawab memberikan market insight kepada Original Equipment Manufacturer asing yang ingin berbisnis di Indonesia. Sebelumnya pernah menjadi Jane’s Aerospace, Defense & Security, Country Representative - Indonesia pada tahun 2012-2017 yang bertanggungjawab terhadap pengembangan pasar Jane’s di Indonesia. Memegang ijazah sarjana aeronautika dari Universitas Suryadarma Jakarta, Alman memiliki spesialisasi di bidang industri pertahanan, pasar pertahanan dan kebijakan pertahanan. Sebelum bergabung dengan Jane’s, Alman pernah bekerja pada lembaga think-tank di Jakarta yang berfokus pada isu pertahanan dan maritim. Dapat dihubungi melalui [email protected] dan atau [email protected]

Profil Selengkapnya

MoU Scorpene dan Riset-Pengembangan Industri Pertahanan RI

Opini - Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
29 March 2022 10:35
Scorpene (NavalGroup.com) Foto: Kapal selam Scorpene (www.navalgroup.com)

Naval Group dan PT PAL Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tentang riset dan pengembangan kapal selam di Jakarta, 10 Februari 2022. Langkah berikut yang harus dilakukan oleh kedua firma tersebut adalah merumuskan detail-detail tentang kerja sama tersebut, termasuk hak dan kewajiban tiap-tiap pihak yang terikat dalam MoU. Hal menarik yang perlu diungkap yang terkait MoU tersebut adalah bagaimana kondisi industri pertahanan Indonesia secara umum dari aspek riset dan pengembangan. Sejauh mana peran riset dan pengembangan di industri pertahanan turut berkontribusi terhadap pengembangan produk baru maupun peningkatan produk yang sedang diproduksi?

Meskipun pemerintah telah menyatukan semua lembaga riset dan pengembangan di birokrasi pemerintahan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan segala kontroversi yang mengikutinya, tidak diragukan masih tetap akan ada jurang antara dunia riset di birokrasi pemerintahan dengan kebutuhan dunia industri. Penyatuan tersebut tidak akan menjawab kebutuhan dunia industri, khususnya industri pertahanan, sebab karakter keduanya berbeda. Oleh karena itu, eksistensi satuan kerja riset dan pengembangan di industri pertahanan nasional, khususnya BUMN, perlu dipertahankan sekaligus ditingkatkan kualitas kegiatannya. Pertanyaannya adalah apakah kegiatan riset dan pengembangan di industri pertahanan telah menjadi prioritas dalam rangka meningkatkan kapasitas perseroan guna bersaing di pasar domestik dan internasional?

Membahas tentang riset dan pengembangan pada BUMN industri pertahanan tidak dapat dilepaskan dari beberapa fakta berikut. Pertama, tidak ada satuan kerja riset dan pengembangan yang berdiri sendiri. Dewasa ini BUMN industri pertahanan tidak lagi mempunyai satuan kerja riset dan pengembangan yang berdiri sendiri setingkat divisi seperti di era BUMN Industri Strategis di bawah manajemen Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Memang kini terdapat unit kerja yang melakukan kegiatan terkait riset dan pengembangan di beberapa BUMN industri pertahanan, namun posisinya tidak berdiri sendiri.

Kedua, dukungan anggaran riset dan pengembangan. Karena satuan kerja riset dan pengembangan di BUMN industri pertahanan tidak berdiri sendiri, maka anggarannya pun mengikuti pada satuan kerja induk. Isu penganggaran bersifat krusial karena apabila terdapat divisi riset dan pengembangan yang berdiri sendiri, maka alokasi anggaran yang didapatkan pasti lebih besar dibandingkan bila berada di bawah satuan kerja lain. Keterbatasan kucuran anggaran dari perseroan mendorong unit yang bertanggungjawab terhadap riset dan pengembangan di BUMN industri pertahanan mengandalkan pada kegiatan riset dan pengembangan yang didanai oleh pihak ketiga, seperti Kementerian Pertahanan dan eks Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Ketiga, gap riset dan industri. Fakta saat ini menunjukkan masih terdapat gap yang lebar antara institusi riset dan pengembangan dengan industri pertahanan. Purwarupa produk yang dihasilkan oleh institusi riset dan pengembangan di Indonesia tidak dapat langsung masuk ke serial production oleh industri pertahanan karena sejumlah alasan. Misalnya desain produk yang tidak memenuhi standar industri dan standardisasi requirement yang sesuai dengan aturan otoritas sertifikasi. Salah satu contoh adalah pesawat tanpa awak Wulung hasil riset dan pengembangan BPPT yang memerlukan waktu lama agar memenuhi standar industri dan standardisasi requirement, di mana pemenuhan standar-standar tersebut dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia.

Menyangkut peran riset dan pengembangan di industri pertahanan selama ini, unit riset dan pengembangan lebih banyak berfokus pada peningkatan produk daripada pengembangan produk baru. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan anggaran yang terbatas dan keterbatasan sumberdaya manusia. Sangat jarang industri pertahanan memiliki sumber daya manusia yang dikhususkan pada kegiatan riset dan pengembangan, karena para insinyur oleh manajemen lebih difokuskan pada kegiatan yang terkait dengan desain, produksi maupun uji kelaikan produk. Masih sangat jauh untuk berharap kapasitas riset dan pengembangan oleh industri pertahanan akan menyamai industri pertahanan di negara-negara maju.

Tentang kerja sama riset dan pengembangan kapal selam antara Naval Group dan PT PAL Indonesia, informasi detail mengenai implementasi kerja sama tersebut belum tersedia. Namun demikian, galangan BUMN itu harus mempersiapkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan agar dapat menyerap berbagai pengetahuan baru mengenai desain dan pengembangan kapal selam dari Naval Group. Isu sumber daya manusia merupakan salah satu isu krusial bagi PT PAL Indonesia karena adanya gap antara insinyur senior yang telah dan atau akan segera memasuki masa pensiun dengan insinyur muda yang direkrut pasca 2010. Terdapat harapan agar para insinyur Indonesia dapat memainkan peran signifikan dalam aktivitas riset dan pengembangan bersama tersebut, namun hal itu tergantung dari bagaimana man power planning PT PAL Indonesia.

Kerja sama riset dan pengembangan kapal selam dengan Naval Group merupakan peluang emas bagi PT PAL Indonesia untuk menguasai teknologi kapal selam secara bertahap. Pengalaman dalam membangun FPB 57 menunjukkan tidak ada jalan pintas dalam penguasaan teknologi kapal perang. Sekarang semuanya tergantung pada galangan kapal ini apakah akan serius memanfaatkan peluang yang tersedia atau tidak. Harus diingat penguasaan teknologi kapal selam Naval Group telah terbukti dibandingkan dengan DSME yang sebelumnya menjadi mitra PT PAL Indonesia.

(miq/miq)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading