
Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019 – sekarang dengan tanggungjawab memberikan market insight kepada Original Equipment Manufacturer asing yang ingin berbisnis di Indonesia. Sebelumnya pernah menjadi Jane’s Aerospace, Defense & Security, Country Representative - Indonesia pada tahun 2012-2017 yang bertanggungjawab terhadap pengembangan pasar Jane’s di Indonesia. Memegang ijazah sarjana aeronautika dari Universitas Suryadarma Jakarta, Alman memiliki spesialisasi di bidang industri pertahanan, pasar pertahanan dan kebijakan pertahanan. Sebelum bergabung dengan Jane’s, Alman pernah bekerja pada lembaga think-tank di Jakarta yang berfokus pada isu pertahanan dan maritim. Dapat dihubungi melalui [email protected] dan atau [email protected]
Profil SelengkapnyaMenantikan Realisasi Program Kapal Selam Indonesia

Tahun fiskal 2023 dan 2024 merupakan masa kritis bagi program modernisasi pertahanan Indonesia mengingat masa pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada tahun depan. Sejak Prabowo Subianto ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan pada 23 Oktober 2019, program modernisasi pertahanan berjalan dengan irama yang cepat. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas telah sepakat mengalokasikan Pinjaman Luar Negeri (PLN) sebesar US$ 25,7 miliar untuk periode 2020-2024 guna membiayai akuisisi sistem senjata. Angka tersebut merupakan yang terbesar sejak pascareformasi, bahkan bila alokasi PLN pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan periode pertama Presiden Joko Widodo digabungkan.
Belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani menyetujui PLN sebesar US$ 3 miliar lewat penerbitan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) untuk pengadaan berbagai sistem senjata, termasuk akuisisi pesawat Airborne Early Warning (AEW). Banyak pihak menduga kuat bahwa PSP tersebut bukan merupakan yang pertama dan terakhir pada tahun ini, karena masih terdapat sejumlah program pengadaan major weapon systems yang belum disetujui pembiayaannya. Tidak lama setelah PSP tersebut terbit, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menerbitkan Green Book untuk Kementerian Pertahanan senilai US$ 8,1 miliar. Terdapat sejumlah program akuisisi senjata yang tercakup dalam Green Book, termasuk tambahan jet tempur Rafale dan kapal selam.
Sementara pengadaan Rafale sudah pasti menguntungkan Prancis, rencana pembelian kapal selam masih diperebutkan antara Naval Group asal Prancis dan ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS) dari Jerman. Menurut sejumlah pihak, Naval Group yang menawarkan kapal selam kelas Scorpene jauh lebih maju dibandingkan TKMS dalam hal lobi-lobi ke para pemangku kepentingan di Indonesia, baik Kemenhan maupun industri pertahanan lokal. Program kapal selam dipandang sebagai program kritis karena Indonesia berkepentingan untuk membangkitkan kembali kemampuan peperangan kapal selamnya setelah program kerja sama kapal selam dengan Korea Selatan tidak memenuhi harapan.
Mengacu pada Green Book, program kapal selam memiliki pagu alokasi PLN sebesar US$ 2,1 miliar untuk pengadaan dua unit. Rencana pengadaan kapal selam asal Eropa ini mempunyai nilai strategis bukan saja dari aspek militer bagi Indonesia, tetapi pula aspek ekonomi dan teknologi. Sejak administrasi Presiden Yudhoyono, Indonesia telah mencakupkan penguasaan teknologi kapal selam sebagai salah satu program prioritas industri pertahanan. Mengingat bahwa program itu belum mencapai tujuan meskipun Indonesia telah membeli tiga kapal selam dari Korea Selatan, Indonesia berharap pengadaan dua kapal selam dari galangan Eropa akan membantu menembus kebuntuan yang terjadi.
Terkait dengan persaingan antara Naval Group dan TKMS, terdapat beberapa hal yang hendaknya diperhatikan oleh pengambil keputusan di Indonesia. Pertama, pertimbangan teknis operasional kapal selam. Mempertimbangkan keunggulan teknis operasional kapal selam hendaknya hanya menjadi salah satu dari sejumlah pertimbangan dalam menetapkan kapal selam yang dipilih. Akhir dari perdebatan mengenai kapal selam AIP (Air Independent Propulsion) versus non-AIP akan ditentukan oleh taktik operasi seperti apa yang dibutuhkan oleh angkatan laut sebagai operator kapal selam, sehingga tidak ada jawaban tunggal dan mutlak terhadap perdebatan tersebut.
Kedua, antisipasi kemajuan teknologi. Pengadaan kapal selam saat ini harus mengantisipasi kemajuan teknologi di masa depan yang terkait dengan kapal selam. Seperti pemakaian baterai lithium-ion untuk menggantikan baterai lead-acid maupun AIP di mana baterai lithium-ion memiliki kinerja yang lebih baik daripada AIP dalam operasional kapal selam. Jepang sudah mulai beralih dari teknologi AIP ke baterai lithium-ion, sementara Naval Group akan mengikuti jejak Jepang dalam beberapa tahun ke depan. Galangan kapal lain sudah melirik pemakaian baterai lithium-ion pada kapal selam, walaupun masih belum membuka kepada publik kapan akan mulai mengadopsi teknologi itu dan dalam bentuk konfigurasi seperti apa.
Ketiga, keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Pengadaan kapal selam baru hendaknya bukan semata kegiatan jual beli senjata biasa, tetapi dapat memberikan keuntungan ekonomis kepada Indonesia. Keuntungan ekonomis yang demikian dapat diperoleh apabila tawaran yang diberikan oleh Naval Group dan atau TKMS secara langsung mendorong pula terciptanya ekosistem industri kapal selam Indonesia. Ekosistem industri kapal selam di Indonesia mungkin tercipta sebagaimana mengacu pada pengalaman India di mana Naval Group yang bermitra dengan Magazon Dock Shipbuilder Limited (MDL) menciptakan ekosistem industri yang terdiri dari 50 firma India.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia mensyaratkan adanya alih teknologi kapal selam untuk program senilai US$ 2,1 miliar tersebut. Hal demikian dapat tercapai apabila dalam kontrak pengadaan kapal selam dijabarkan dengan jelas apa saja kewajiban yang harus dilaksanakan oleh produsen kapal selam terkait dengan alih teknologi kapal selam. Detail-detail mengenai alih teknologi dibutuhkan karena firma Barat selalu menjadikan dokumen kontrak sebagai acuan utama ketika berhadapan dengan konsumen. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, Indonesia terkadang kurang cermat dalam mempelajari rincian kontrak sehingga gigit jari setelah kontrak diaktivasi.
Alih teknologi kapal selam hendaknya dilaksanakan secara serius dan bukan kosmetik saja untuk memenuhi peraturan yang berlaku, di mana Indonesia harus meminta alih teknologi secara maksimal kepada produsen kapal selam. Janji Naval Group untuk memproduksi semua kapal selam di Surabaya perlu ditindaklanjuti oleh Indonesia dengan meminta alih teknologi sebanyak mungkin. Cakupannya bukan saja terkait dengan konstruksi kapal selam, tetapi termasuk pula pemeliharaan kapal selam maupun pengetahuan tentang desain kapal selam. Kegagalan program kapal selam sebelumnya hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan secara detail tentang alih teknologi, termasuk tentang sejauh mana keterlibatan para tenaga terampil dan insinyur Indonesia apabila konstruksi sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia.
Pada sisi lain, kewajiban galangan luar negeri melakukan alih teknologi kapal selam secara maksimal kepada Indonesia harus diimbangi dengan kemampuan Indonesia menyerap teknologi yang diberikan secara optimal. Kemampuan industri pertahanan Indonesia menyerap alih teknologi telah menjadi perhatian khusus firma pertahanan asing sejak 2010. Terkait tantangan ini, pemerintah Indonesia harus memberikan perhatian khusus agar utang luar negeri sebesar US$ 2,1 miliar mampu memberikan dampak positif terhadap ekonomi domestik maupun penguasaan teknologi kapal selam.