Kampus Merdeka dan Desentralisasi Pengelolaan Universitas

Satu tahun terakhir, pendidikan tinggi Indonesia mengalami beragam disrupsi. Selain disebabkan oleh pandemi, disrupsi ini juga didorong oleh inisiatif Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim yang memperkenalkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Melalui Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020, pemerintah memperkenalkan bentuk baru kegiatan pembelajaran di mana mahasiswa dapat mengambil SKS di luar program studinya selama tiga semester. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa agar lebih siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Melalui program ini, mahasiswa diberi fleksibilitas untuk mengkuti program belajar berbasis pengalaman berupa magang, kuliah kerja nyata, program kemanusiaan, kegiatan wirausaha, riset, maupun proyek independen dalam bentuk lain. Akhir tahun lalu, Direktur Jenderal Dikti Profesor Nizam mengeklaim program ini sudah diikuti 60 ribu mahasiswa di tingkat nasional dan ratusan ribu mahasiswa di kampusnya masing-masing.
Program tersebut tentu sangat sejalan dengan semangat otonomi kampus. Pada akhirnya, kampuslah yang harus menerjemahkan konsep dari kementerian ke level eksekusi di tataran operasional. Lebih spesifik lagi, program itu membutuhkan kebijakan kampus yang sangat terdesentralisasi hingga ke level fakultas atau departemen, mengingat kebutuhan setiap program studi berbeda satu dengan yang lain. Program studi sains misalnya, bisa jadi lebih menekankan aktivitas riset sebagai prioritas utama MBKM. Sementara di sisi lain, program studi manajemen bisnis akan lebih menekankan opsi magang atau kewirausahaan bagi mahasiswanya. Ke depannya program studi, departemen, sekolah, ataupun fakultas perlu diberikan otonomi lebih besar karena merekalah entitas yang paling dekat dengan mahasiswa sebagai konsumen utamanya. Desentralisasi yang diberikan tidak cukup hanya berupa kewenangan dalam hal menyusun program dan kurikulum yang relevan. Lebih jauh lagi, desentralisasi harus meliputi pengelolaan sumber daya yang lebih mandiri yang dapat mendukung jalannya program-program tersebut.
Tren Desentralisasi Organisasi
Perdebatan antara sentralisasi versus desentralisasi dalam organisasi memang sudah berjalan selama puluhan tahun. Keduanya tentu punya kelebihan dan tantangan tersendiri. Tapi setidaknya ada dua kondisi di mana desentralisasi menjadi lebih baik dan diperlukan. Pertama, desentralisasi organisasi lebih responsif dalam menghadapi kondisi lingkungan yang tidak pasti dan perubahan yang terjadi begitu cepat. Kedua, desentralisasi organisasi lebih relevan untuk mengelola para pekerja yang memiliki keterampilan dan pengetahuan tinggi (knowledge worker) karena karakteristik mereka yang perlu diberi kepercayaan lebih untuk berkreasi.
Di era ekonomi berbasis pengetahuan, pekerja dipandang sebagai modal manusia yang punya potensi berbeda satu sama lain, bukan sumber daya yang harus distandardisasi atas nama prinsip efisiensi. Desentralisasi organisasi memberikan ruang lebih luas kepada mereka untuk berinovasi dan melakukan proses kreatif. Dengannya tercipta lebih banyak inisiatif lokal. Organisasi menjadi lebih ramping (lean) dan adaptif. Desentralisasi mengakui keragaman antardepartemen dan antarindividu. Semuanya tidak bisa diperlakukan sama, tidak bisa diberikan target kinerja maupun dukungan sumber daya yang seragam. Desentralisasi organisasi membuat keputusan dapat diambil lebih cepat yang berbasis bottom up dengan memberi kewenangan besar kepada unit terkecil organisasi. Dengan wewenang penuh yang dimiliki, setiap departemen bisa fokus berorientasi melayani konsumen.
Di akhir tahun 90-an, guru besar Universitas Harvard Clayton Christiansen mengenalkan istilah Innovator's Dilemma. Organisasi besar biasanya terdisrupsi oleh pendatang baru karena strukturnya terlalu sentralistik, birokratis, dan gemuk sehingga sulit berinovasi dan terjebak kenyamanan status quo. Desentralisasi organisasi jadi salah satu kunci Amazon mengatasi Innovator's Dilemma. Amazon terkenal dengan konsep "two pizza teams", tim kecil yang saat rapat cukup diberi makan oleh dua pan pizza. "Saya pikir desentralisasi penting untuk inovasi karena tangan Anda paling dekat dengan apa yang sedang Anda bangun. Hierarki tidak cukup responsif terhadap perubahan," kata Jeff Bezos selaku pendiri Amazon. Hasilnya terasa sampai hari ini. Meskipun Amazon sudah menjadi salah satu perusahaan terbesar di dunia, inovasinya tidak pernah berhenti. Perlu diingat inovasi tersebut banyak muncul dari unit atau divisi yang independen dan punya otonomi besar baik dalam pengelolaan sumber dayanya maupun dalam pengambilan keputusan.
Desentralisasi Kampus di Negara Maju
Kebanyakan kajian tentang desentralisasi organisasi berfokus di unit bisnis. Padahal, universitas pun mengalami tantangan serupa. Salah satu yang concern terhadap isu ini adalah Ben Martin, profesor dari SPRU University of Sussex yang banyak meneliti tentang universitas sebagai pusat riset dan inovasi. Di tahun 2016, Ben Martin mempublikasikan sebuah studi dengan judul "Ada Apa dengan Universitas Kita?". Salah satu pemantiknya adalah karena keresahan terhadap pengelolaan universitas di Inggris dan di banyak negara lain yang cenderung lebih sentralistik selama beberapa tahun terakhir. Padahal, 20 hingga 30 tahun lalu universitas relatif lebih terdesentralisasi. Saat itu departemen, sekolah, fakultas, pusat studi, dan unit lainnya diberikan otonomi luas termasuk dalam hal rekrutmen mahasiswa, perancangan program pembelajaran, pendanaan, hingga pengelolaan proyek-proyek riset.
Di saat organisasi bisnis semakin menyadari pentingnya desentralisasi, ironisnya justru saat ini semakin banyak kampus yang terjebak dengan manajemen berbasis top-down dan birokrasi yang tidak efisien. Hal ini berdampak kepada prosedur yang semakin rumit dan berkurangnya inisiatif lokal di tingkat departemen. Dalam studinya tersebut, Ben Martin berargumen tendensi sentralisasi ini dipengaruhi oleh tuntutan universitas untuk mempertahankan reputasinya di level internasional yang didasarkan kepada metrik-metrik ukuran yang terstandardisasi. Dampaknya pemimpin universitas merasa perlu untuk mengambil alih kendali atas semua departemen dengan harapan semuanya dapat mengejar visi yang diharapkan.
Para pemimpin universitas perlu sadar organisasi kampus bukanlah organisasi yang mementingkan efisiensi yang berorientasi kepada standardisasi produk dan produksi massal seperti halnya pabrik manufaktur. Oleh karena itu kebijakan sentralisasi menjadi tidak relevan. Sebaliknya, universitas justru perlu memahami setiap entitas di dalamnya, baik itu departemen, fakultas, sekolah, maupun pusat studi memiliki keunikan masing-masing yang bekerja dalam kultur akademik maupun pasar yang berbeda. Di sini otonomi lokal menjadi penting karena setiap unit dapat bereksperimen, beradaptasi, dan berevolusi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Contoh terbaik dalam desentralisasi tata kelola universitas adalah Universitas Harvard. Sejak awal abad ke-19, Universitas Harvard sudah memberikan desentralisasi penuh hingga ke level fakultas termasuk dalam pengelolaan akademik maupun keuangan. Setiap fakultas bahkan memiliki wewenang untuk mengelola sendiri dana lestarinya. Namun, bukan berarti desentralisasi tidak membutuhkan kepemimpinan kuat. Di Harvard sendiri, kepemimpinan universitas justru berperan penting mengkolaborasikan program dan riset setiap fakultas yang memiliki arah gerak masing-masing.
Bagaimana dengan di Indonesia? Saya harap kekhawatiran Ben Martin tidak terjadi. Kecenderungan untuk melakukan sentralisasi pengelolaan organisasi di kampus justru malah bertentangan dengan filosofi kampus merdeka yang dicanangkan oleh Mas Menteri. Rasanya mengenai desentralisasi universitas ini kita mesti belajar lebih banyak ke Universitas Harvard.
(miq/miq)