Quo Vadis Pendidikan Tinggi di Indonesia

Arista Atmadjati, CNBC Indonesia
29 September 2022 06:15
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati
Arista Atmadjati merupakan Dosen Manajemen Transportasi Udara, Universitas International University Liason Indonesia (IULI), BSD, Banten. Ia juga menjabat sebagai Chairman Aviation School AIAC dan dikenal sebagai pengamat penerbangan... Selengkapnya
Boulevard Kampus UGM. Foto: Bagus Kurniawan/detikom
Foto: Kampus UGM (Foto: Bagus Kurniawan/detikom)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Baru-baru ini, QS World University Ranking (WUR) melakukan survei perguruan tinggi (PT) terbaik di dunia. Sampel surveinya tidak main-main, yaitu sekitar 5.000 PT, yang ada di seantero jagat.

Lembaga tersebut juga melakukan survei terhadap kualitas PT yang ada di Indonesia. Hasilnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat ranking 284 di antara 1.000 universitas di dunia atau yang teratas di tanah air. Untuk tingkat nasional, Universitas Bina Nusantara (Binus) masuk ke dalam 10 perguruan tinggi terbaik di Indonesia.

Binus berada pada ranking 9 dari 10 PT terbaik di Indonesia. Binus adalah PT swasta yang usianya belum 20 tahun. Untuk universitas nasional, Binus selalu menduduki ranking yang bagus di antara PTN maupun PTS.

Hasil Survey QS WUR untuk ranking perguruan tinggi terbaik 2023 (Dok. QS World University Ranking (WUR))Foto: Hasil survei QS WUR untuk ranking perguruan tinggi terbaik 2023 (Dok. QS World University Ranking)



Kaitannya dengan mutu pendidikan Indonesia yang bisa dilihat dalam ranking dunia, tentu kita tidak menyoroti dalam kolom yang terbatas ini. Saya membatasi kualitas universitas swasta di Indonesia karena perguruan tinggi swasta (PTS) itu jumlahnya ribuan, bahkan sampai tingkat kabupaten yang kecil sekalipun.

Masalahnya adalah bagaimana dengan kualitas dan potensi alumnus PTS-PTS hingga diserap sebagai tenaga kerja. Mereka sudah menghabiskan waktu paling tidak 4-5 tahun, menggelontorkan dana, dan lain-lain. Jadi buat apa menciptakan alumnus untuk menganggur?

Saya rasa PT yang tetap dibiarkan eksis itu merupakan refleksi kemajuan sistem pendidikan. Sayangnya hal tersebut masih dalam aspek kuantitas.

Saya pernah jadi kaprodi sebuah PTS di Yogyakarta. Lalu berlanjut menjadi wakil direktur Akademi Pariwisata Yogyakarta, kemudian lima tahun menjadi dosen UGM, dan 2,5 tahun dosen vokasi UI di Depok. Jadi paling tidak saya tahu bagaimana mengelola PTN dan PTS.

Tapi yang menjadi concern saya dalam tulisan ini karena beberapa waktu lalu ada petisi mosi tidak percaya dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makaram. Tak ayal timbul pertanyaan, ada apa ini?

Saya sebagai orang yang pernah mengajar sekitar 6-7 PT, mayoritas PTS. Sekarang saya juga masih mengajar di Universitas IULI BSD Serpong dan sudah berjalan tiga tahun. Kalau kita telaah, ada kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan PTS. Berikut perinciannya:

Pertama, pemerintah masih menganaktirikan PTS, walaupun dana pendidikan dalam APBN sudah ditambah dua kali lipat. Dana pendidikan tahun anggaran 2022 dalam APBN mencapai Rp 621,3 triliun. Dana-dana untuk riset untuk dosen dalam membuat jurnal, dana-dana untuk praktikum, laboratorium untuk yang mempunyai jurusan teknik di PTS, dana untuk dosen-dosen PTS untuk melanjutkan ke jenjang S3 baik domestik maupun internasional.

Anggaran untuk PT dihabiskan ke PTN-PTN. Sebanyak 94% PTS dari 3.000 PTS yang tersebar di seluruh Indonesia hanya mendapatkan dana pengembangan. Sebesar 6 % adalah dana untuk riset. Ini jelas tidak adil, apalagi untuk PTS yang berada di luar pulau Jawa.

Saya mendapatkan informasi dari teman saya yang juga dosen PTS bahwa dosen-dosen PTS itu dianaktirikan dari sisi kesempatan. Maka tidak heran kualitas alumnus di PTS itu sebagian menganggur atau tidak sesuai dengan kompetensi pendidikannya.

Misalnya jurusan teknik ya terpaksa harus bekerja di bagian pemasaran. Yang penting dapat gaji. PTN pun ada beberapa yang seperti itu. Sebagai contoh alumnus IPB banyak yang menjadi wartawan. Pemicunya bisa saja ketidaktahuan alumnus mengenai dunia kerja, atau bisa juga salah dosennya juga di mana pembekalan ketika lulus itu tidak dilakukan.

Persoalan kedua di PTS adalah seharusnya PT lebih fleksibel baik negeri maupun swasta. Saya menjalani waktu 12 tahun sebagai dosen praktisi. Fakta yang saya rasakan, di dalam PT, perlakuan kepada dosen-dosen praktisi itu under estimated, dianggap bobot akademiknya kurang, padahal bisa saling melengkapi. Memang PT itu ideal dosennya ada tiga jalur ada jalur yang akademik, yaitu orang yang mulai umur 30-an sudah mengabdi menjadi dosen dan memang berkutat di dalam akademisi kampus setempat.

Terkait dosen praktisi, kita tidak boleh underestimated karena pengalaman pribadi saya. Kita tahu benar medan area kerja adik-adik mahasiswa yang mau lulus. Saya dan teman-teman saya selaku dosen praktisi sering memberikan akses kepada mahasiswa yang mau lulus atau magang. Di tempat kita bekerja, kita carikan channel. Kalau tidak ada channel dari PT akan susah karena magang di perusahaan karena harus antre.

Seperti saya singgung bahwa di DKI Jakarta itu ada ratusan PTS yang mana harus antre ketika mau magang. Sebagai contoh, mereka yang mau magang di bandara atau di perusahaan kargo di bandara, itu antre. Jadi, kalau tidak ada 'orang dalam' seperti dosen praktisi karena dia bekerja di perusahaan di area tersebut akan sulit kemungkinannya mungkin hanya 20%. Tapi kalau dibantu dosen praktisi yang mengajar di PT itu mungkin 80%-100%.

Nah, itu yang kadang-kadang tidak dilihat oleh PT dan tidak pernah diberikan apresiasi oleh Kemendikbudristek. Belum lagi dosen praktisi itu honornya teramat minim. Ini jujur saja. Saya pernah mengajar di salah satu PTS yang berada di tengah Jakarta. Ternyata dalam satu bulan itu saya diberikan honorarium Rp 500 ribu. Ini kan sudah kelewatan. Ya saya tahu memang mungkin kemampuan PT itu stagnan tidak ada kemajuan.

Honorarium Rp 500 ribu itu tidak standar. Apakah tidak ada aturan yang baku seperti buruh berupa upah minimum regional (UMR). Kita tahu UMR untuk DKI Jakarta saja mencapai Rp 4,7 Juta. Sedangkan saya mengajar dengan bekal S1 dan S2 dari PT terkenal itu sebulan hanya dikasih honor Rp 500 ribu. Bukan masalah uangnya, tetapi kita saling menghargai.

Saya menduga Kemendikbudristek kurang melakukan monitoring sampai ke bawah. Selain itu, dalam hal ini, Kopertis dalam hal ini Kopertis 3 yang di DKI Jakarta juga perlu bertanggung jawab. Jadi tolonglah pejabat di Kopertis jangan cuma terima gaji saja dan duduk santai. Ini kenyataan.

Terkait PTN, saya pernah mengajar 2,5 tahun di PTN. Karena PTN itu 3 besar di Indonesia, saya berusaha bertahan. Sebenarnya honor saya itu tidak lebih dari Rp 2,5 juta dengan bekal dosen praktisi yang bekerja 28 tahun di salah satu maskapai BUMN dan dengan pendidikan S1 dan S2. Jadi terkadang saya geleng-geleng kepala, ini honor saya sebagai dosen yang terhormat itu kalah dengan buruh pabrik di DKI Jakarta yang punya UMR Rp 4,7 juta.

Bisa dibayangkan bagaimana karut marutnya dunia pendidikan Indonesia terutama swasta. Bagaimana dosen-dosen praktisi memberikan yang terbaik bagi PTS di mana tempat mereka mengajar. Ketika saya mengajar di Yogyakarta pun sebulan honornya hanya Rp 1 juta. Honor itu habis untuk kereta api atau bus malam. Tapi pada waktu itu ada kebanggaan masuk jajaran dosen praktisi di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Begitupun di Jakarta. Itulah yang membuat saya bertahan.

Walaupun honornya jauh, tapi itu memang menggambarkan dosen praktisi itu dianaktirikan. Padahal potensinya itu sangat besar, menjembatani teori dan praktik. Saya melihat dosen-dosen akademik tidak masalah, karena dia memang harus mengabdi. Tapi yang diajarkan ilmunya ya dari buku. Kalau mahasiswanya membaca buku duluan, itu sama kualitasnya dengan mahasiswa karena tidak ada bedanya ketika membaca buku yang sama.

Berbeda dengan dosen praktisi. Kita juga membaca text book, tetapi kita melakukan verifikasi dengan praktek di dunia kerja dan kita melakukan proses menjembatani mahasiswa pada waktu magang, praktek, survei, hingga PKL di perusahaan. Kita sebagai dosen praktisi menjembatani hal tersebut karena biasanya dosen akademisi hanya menyerahkan kebagian administrasi lalu berkirim surat ke HRD dan itu juga antre. Jadi mohon perhatian kepada Kopertis ataupun Kemendikbudristek, jangan lagi ada anak emas atau anak tiri terhadap dosen akademisi dan dosen praktisi.

Di PTS ada proses lagi, yaitu akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Akreditasi mulai dari C, B, A. Akan tetapi, alumni dari PT dengan akreditas C BAN PT itu tidak bisa mendaftar di BUMN atau K/L atau pemda. Ini tentu diskriminatif. Kita tahu sendiri banyak PTN terutama di luar Jawa. Begitu berdiri hampir tidak ada yang mendapatkan akreditasi C, biasanya B. PTN tersebut tidak memperoleh diskriminasi di dalam mendaftar di pemda.

Minimal itu kalau PTN baru dari NTT, Sulawesi atau Maluku. Walaupun baru, dia tidak harus ke Jakarta untuk memajukan daerahnya. Akan tetapi dia bisa diserap oleh pemda, pemprov, dan BUMD setempat. Tapi beda dengan PTS, kalau dia masih akreditasi C untuk BAN PT, secara total ditolak untuk masuk sebagai ASN pemprov, pemda maupun pegawai BUMD. Inilah yang membuat karut marut yang sampai sekarang terjadi di PTS.

PTS itu sebetulnya membantu pemerintah untuk membuka jalan masyarakat Indonesia agar melek pendidikan, melek teknologi, hingga melek literasi. Seperti yang kita ketahui ranking literasi kegemaran membaca buku di Indonesia itu berada pada ranking 62 di antara 70 negara. Ini sangat menyedihkan.

Mengenai dana untuk PTS yang minim, sehingga hanya PTS yang muncul itu Binus. Mungkin Binus itu dari sisi keuangan dan manajemen bagus sehingga dia bisa sustain dalam bersaing dengan PTS di Jakarta. Jadi saya dalam hal ini apresiasi kalau PTS bisa mandiri seperti Binus, tapi yang seperti Binus itu sedikit sekali. Ada beberapa universitas yang mandiri seperti Presiden University, Universitas Pelita Harapan, Podomoro University, dan itu bagus.

Mungkin masukan saya cukup itu. Makanya saya tidak heran terhadap adanya aksi mosi tidak percaya Aptisi kepada Mendikbudristek. Semoga paling aspirasi ini diperhatikan pemerintahan Presiden Jokowi agar lahir sebuah perubahan terhadap PT di tanah air.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation