Ada Apa dengan Polemik Tunjangan Kinerja Dosen Negeri?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Wahai pembaca, jika Anda adalah mahasiswa, mohon kesabaran Anda ketika menjumpai dosen Anda di masa Ramadan kali ini. Sejak akhir pekan lalu, mereka menampilkan wajah yang berbeda. Raut muka yang biasanya tenang, cerah bercahaya memberikan kesejukan bagi para mahasiswanya menimba ilmu, maka sejak akhir Maret lalu hingga beberapa pekan ke depan adalah keruh.
Muka para dosen se-Indonesia, keruh karena keputusan dua kementerian yang berlaku serba mendadak. Pertama, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim yang merilis kebijakan input data Tridarma Penilaian Angka Kredit di link Sijali/Sijago dengan tenggat waktu 15 April 2023.
Kedua, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas merilis Permenpan dan RB Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur Jabatan Fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN) (Pasal 1, Butir 10 tentang Ketentuan Umum), tetapi diterapkan pada semua dosen Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) per 1 Juli 2023.
Akibat dua kebijakan dari Nadiem dan Abdullah, semua dosen-yang serius mengurus jafung mereka--pun lintang pukang melakukan input data. Kenapa? Ya karena ada ancaman data mereka akan hangus jika gagal memenuhi tenggat waktu. Artinya kesempatan naik jenjang jafung musnah.
Tak seperti doktor atau profesor KW alias honoris causa yang parameternya tak jelas, jafung dosen sangatlah jelas, harus dipenuhi, tercatat dan dinilai ulang secara teratur. Untuk apa? Menjamin mutu para dosen yang tentu saja harapannya transfer pengetahuan ke mahasiswa pun terjaga.
Nah entah apa yang merasuki dua menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) di masa jabatan tersisa 1,5 tahun lagi dalam membuat kebijakan. Jika karena tersengat laporan utama sebuah media nasional tentang kenakalan oknum rektor sebuah PTS di Jakarta Barat, rasanya kok mengada-ada.
Ini sama mengada-adanya dengan kebijakan pemerintahan Pak Jokowi terhadap manajemen pendidikan tinggi (PT) di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang tak ubahnya seperti penduduk liar di Tanah Negara. Nasibnya tak jelas karena rumahnya digusur dan terpaksa nomaden.
Pada masa awal Pak Jokowi berkuasa, Dirjen Dikti di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dipisah dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah (Dikdasmen) lalu digabungkan ke Kementerian Riset Teknologi (Kemenristek) menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
Ibarat kerbau dicocok hidungnya, Forum Rektor yang saat itu dipimpin Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Pratikno menyatakan pemisahan Dirjen Dikti adalah untuk memperkuat manajemen riset dari kalangan peneliti lembaga penelitian dan PT. Diharapkan produk riset makin berkualitas sekaligus menghemat anggaran.
Pada akhirnya ide daur ulang itu--di masa Presiden Soekarno Dikti dan Dikdasmen dipisah-diterima. Untuk dukungan itu, Pak Jokowi berterima kasih dan Pratikno pun dihadiahi jabatan Menteri Sekretaris Negara.
Inkonsistensi Kebijakan
Belakangan, entah dapat ilham apa lagi Pak Jokowi, usai terpilih untuk kali kedua, Dikti kembali diceraikan dari Kemenristekdikti lalu digabungkan dengan Kemendikbud yang dipimpin Menteri Nadiem Makarim yang muda--dan katanya--canggih sekaligus visioner.
Sementara Menristekdikti diubah jadi Kemenristek dan Badan Riset Invonasi Nasional (BRIN). Hanya sebentar, BRIN dipaksaceraikan dari Kemenristek dan dijadikan sebagai pusat badan penelitian nasional. Sementara Kemenristek? Dibubarkan lalu dimasukkan fungsinya ke dalam Kemendikbud.
Nah bagaimana dengan nasib Dikti setelah pindah rumah dua kali? Penulis sebagai dosen ya hanya bisa menikmati fungsi dosen sebagai tenaga pengajar yang seharusnya melakukan transfer of knowledge tetap saja di ujung tiap semester terjebak sebagai pekerja administratif.
Setiap akhir semester, para dosen di PTN dan PTS sama sibuknya mengumpulkan dokumen kegiatan Tri Dharma: Mengajar, Meneliti dan Mengabdi ke Masyarakat. Semua dokumen lantas dipindai untuk kemudian diunggah ke aplikasi yang namanya macam-macam.
Beberapa dosen pun tak jarang harus menguatkan diri berkutat dengan dinamika industri pendidikan yang kadang lancung. Contoh mempersulit dosen mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), menempatkan Kepala Program Studi (Kaprodi) tanpa NIDN, menerapkan kontrak denda bagi dosen yang mengurus jafung dan sertifikasi, mendirikan kampus S2 dengan kaprodi belum lulus doktor hingga modus lulusan jadi-jadian.
Lho apa pula itu lulusan jadi-jadian? Bukan sekali saja Dikti menemukan kampus sekadar plang nama, proses pengajaran tak jelas, meluluskan mahasiswa dalam upacara wisuda yang jadi-jadian juga. Ada pula malah lulusan doktor ternyata tak punya gelar sarjana (S1) atau magister (S2).
Apakah persoalan hanya terjadi di PTS saja? Kenyataannya PTN pun tak kalah rumit tersebab pemerintah. Contoh kebijakan mengalih status sejumlah PTS jadi PTN ternyata berimbas pada status kepegawaian para dosen dan pegawai PTN baru yang tak bisa otomatis jadi PNS.
Ini terjadi karena adanya Undang-undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang membatasi umur pengangkatan PNS adalah 35 tahun. Alhasil, secara semena-mena mereka dipaksa menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang merugikan dosen dan akreditasi kampus PTN baru tersebut.
Peralihan status PTN menjadi PTN-Badan Hukum atau Badan Layanan Umum (BLU) pun tak kalah rumitnya. Dengan perubahan status tersebut PTN pun ibarat jadi keranjang ikan asin yang diperebutkan kucing.
Diperebutkan karena PTN dengan status PTN-BH atau BLU memutar uang yang besar. Lebih dari satu rektor PTN tak kuat iman sehingga terjerat hukum. Jabatan rektor pun makin politis, demi itu gelar doktor dan profesor kehormatan (honoris causa) pun mereka obral.
Bagaimana nasib para dosen PTN yang jadi rebutan itu? Sayangnya mereka senasib dengan dosen PTS yang harus melakukan coping mechanism meniru tokoh Rancho (diperankan Amir Khan) di film Three Idiots ketika tertimpa masalah berat: mengusap dada sambil berucap Aal izz wel (Semuanya baik-baik saja).