
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarjana dari FIKOM UPI YAI, Jakarta dan RSIS-NTU, Singapura, setelah gelar sarjana ditempuh di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebelum banting setir adalah koresponden untuk koran Lloyd's List, Inggris. Pada masanya, terbitan ini merupakan rujukan pelaku usaha pelayaran global. Kini, selain mengelola Namarin, dia juga mengajar di beberapa universitas di Jakarta.
Profil SelengkapnyaDampak Perang Rusia Vs Ukraina Bagi Industri Perkapalan Dunia

Akhirnya meletus juga perang antara Rusia dan Ukraina. Kendati sudah diperkirakan, tetap saja dunia terkejut dibuatnya. Bagi industri perkapalan/pelayaran, saat perang masih sedang dipersiapkan oleh kedua belah pihak, kapal-kapal yang selama ini melayani pengapalan berbagai komoditas dari kedua negara antara lain batu bara dan biji-bijian perlahan mulai dialihkan atau diberhentikan pengoperasiannya. Jumlahnya sekitar 700-an kapal. Berjenis bulker.
Rusia memasok 42% total impor batu bara negara-negara Uni Eropa (UE) pada 2021 dan 16% kebutuhan batubara global. Adapun Ukraina mengekspor sekitar 36,5 juta ton bijih besi pada tahun 2021. Sekitar 60% dari jumlah ini diekspor ke China. Produk-produk tersebut diangkut setiap bulannya melalui pelabuhan-pelabuhan yang ada di kedua negara. Keberlangsungan bisnis pengangkutan operator kapal-kapal inilah yang terdampak oleh perang Rusia kontra Ukraina saat ini.
Setelah perang berjalan beberapa hari, dampaknya makin terasa bagi bisnis perkapalan. Kapal mulai dijadikan sasaran oleh AL Rusia. Sejauh ini, sudah dua kapal yang kena rudal, yaitu MV Namura Queen, bulk carrier berbendera Panama dan chemical tanker berkebangsaan Moldova, MV Millennial Spirit. Ketika tulisan ini diselesaikan, dua kapal lainnya, masing-masing MV Princess Nicole dan MV Athena, dinaiki (boarding) oleh personel angkatan laut. Hanya diperiksa saja.
Dengan aksi yang dilakukan oleh AL-nya, Rusia berhasil menguasai sepenuhnya perairan Laut Hitam dan perairan terdekat dengannya, dalam hal ini Laut Azov. Sehingga, tidak ada kapal yang bisa mengaksesnya. Baik kapal sipil/komersial maupun kapal perang. Patut dicatat, blokade yang berlangsung tidak sama sekali menghentikan perdagangan melalui laut atau seaborne trade dari dan ke Rusia atau Ukraina. Tidak ada imbauan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional yang meminta agar perdagangan laut dihentikan karena perang.
Semuanya tergantung operator perkapalan. Jika berani, mereka tetap bisa mengarungi Laut Hitam untuk mengangkut komoditas yang ada selama ini. Apalagi, dengan berbagai sanksi yang dijatuhkan oleh berbagai negara terhadap komoditas Rusia, ada banyak diskon yang ditawarkan kepada siapa saja yang tetap berbisnis dengan negeri tersebut. Dalam catatan penulis, masih belum terlihat pengusaha pelayaran yang memanfaatkan diskon dimaksud. Nampaknya mereka lebih mengkhawatirkan pemberlakuan sanksi dibanding mendapat cuan.
Cuan memang bisa didapat dari situasi yang sedang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina. Perang selalu menyediakan celah tersendiri untuk pelaku industri perkapalan yang dengannya mereka mendulang untung besar. Ambil contoh miliuner pengusaha kapal asal Yunani, Aristotle Onassis. Dunia mencatat, kekayaan yang dihimpunnya berasal dari Perang Arab-Israel II (1956). Ketika itu, dia menguasai armada kapal tanker yang banyak dan kapal-kapal itu diburu oleh para pihak yang tetap berbisnis perminyakan di masa perang. Onassis mengenakan harga yang tinggi untuk setiap kapal yang disewa trader minyak.
Dampak
Dalam situasi perang Rusia dan Ukraina yang masih terus berlanjut, ada sejumlah dampak yang mulai terlihat dalam bisnis perkapalan. Pertama, nilai premi asuransi war risk naik hingga mencapai US$300,000. Harga ini dikenakan kepada pelayaran yang ingin melayari Laut Hitam. Asuransi ini memiliki dua komponen. War risk liability yang mengkover orang dan properti di atas kapal dan dihitung berdasarkan jumlah kerugian. Kemudian, war risk hull yang menjamin fisik kapal. Besar tanggungannya disesuaikan dengan nilai atau harga kapal.
Adapun besar premi untuk kedua jenis asuransi ini tergantung pada tingkat stabilitas negara pelabuhan (port state). Jika stabil, preminya kecil dan sebaliknya. Ini digolongkan sebagai asuransi khusus. Ukraina jelas sedang tinggi tingkat risikonya. Makanya premi asuransi war risk ke sana mencapai US$300.000.
Dampak kedua, naiknya harga bunkering (BBM) kapal. Hal tersebut sebetulnya merupakan akibat dari naiknya harga minyak dunia sejurus dideklarasikannya aksi militer Rusia ke Ukraina oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Saat ini, harga minyak dunia bertengger di angka US$100 per barel. Ini merupakan harga minyak tertinggi dalam kurun 7-8 tahun terakhir. Dengan naiknya harga bunker dapat dipastikan ongkos angkut atau freight akan terdongkrak dengan sendiri. Sebab, komponen BBM dalam freight tergolong besar, sekitar 20-an persen.
Ketiga, perang Rusia-Ukraina meningkat harga (rate) sewa kapal, khususnya bulker dan tanker. Uang sewa ini dibayarkan oleh operator kepada pemilik kapal atau shipowner. Kenaikan ini, lagi-lagi, akan berdampak kepada freight. Bila ongkos sewa sudah naik, maka mau tidak mau pemilik barang alias shipper harus merogoh lebih dalam koceknya. Bagi kita selaku pihak yang paling akhir dari mata rantai perdagangan, duit yang dibayarkan oleh shipper tadi akan diganti dengan harga beli kebutuhan yang makin tinggi di pasar.