Si Vis Pacem, Para Bellum Ala Presiden Rusia Vladimir Putin

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Peperangan antara Ukraina dan Rusia yang pertama kali meletus pada tanggal 24 Februari 2022 hingga April 2022 ini belum juga usai, jauh dari kata resolusi dan rekonsiliasi. Konflik ini bermula dari deklarasi kemerdekaan wilayah Donetsk dan Luhansk yang sebelumnya menjadi bagian timur wilayah Ukraina. Kemudian pihak Rusia mengakui kemerdekaan atas dua wilayah tersebut, berbeda dengan Ukraina yang menolak dan menganggap dua wilayah tersebut merupakan wilayah sah mereka.
Sejatinya, konflik Rusia-Ukraina merupakan salah satu bentuk keadaan dunia yang penuh "ketidakpastian-kompleksitas-tidak bisa dimengerti" setelah pandemi Covid-19, dan merupakan sisa perang dingin yang belum usai. Mengutip istilah Jamais Cascio, seorang antropolog AS (2020), "from the world of VUCA (volatile, uncertain, complex, and ambiguous) to the BANI (brittle, anxious, non-linear, and incomprehensible)". Keadaan di mana konsep VUCA sudah tidak relevan lagi diterapkan menggambarkan kondisi dunia saat ini dan digantikan oleh konsep BANI karena dunia sudah mulai sudden death, tiba-tiba berubah tanpa bisa diprediksi, disrupsi teknologi, perubahan iklim yang mendadak, hingga karut-marut perpolitikan dunia seperti peperangan antara Rusia dan Ukraina saat ini.
Awal mula konflik Rusia dan Ukraina sebetulnya bermuara dari pertarungan geopolitik-geoekonomi dua kekuatan, yakni Uni Eropa (European Union/EU) melawan Rusia. Secara tidak langsung, aliansi pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) membekingi EU dalam aksinya melawan Rusia. Sedangkan China, Korea Utara, Iran dan beberapa negara di Amerika Latin selalu ada di belakang Rusia.
Ukraina yang menjadi negara di tengah kekuatan pertarungan EU dan Rusia seperti terdesak. Meski Ukraina telah beberapa kali mencoba mengajukan proposal untuk masuk ke EU dan juga tergabung dalam NATO Membership Action Plan (MAP) pada tahun 2008. Upaya ini juga juga salah satu alasan kenapa Rusia melakukan operasi militer di Ukraina pada hari ini.
Rusia ingin Ukraina menjadi negara netral dan tidak memihak manapun (minimal), atau menjadi negara pro Kremlin. Pilihan kedua ini dulu pernah dilakukan Rusia ketika Viktor Yanukovych terpilih menjadi Presiden Ukraina medio 2010-2014, sebelum Volodymyr Zelensky menjadi Presiden Ukraina hingga sekarang. Yanukovych sebelum dijatuhkan, memainkan peran penting hubungan baik dengan Putin di Kremlin. Sedangkan Zelensky yang sekarang berkuasa menjadi tokoh antagonis Putin. Zelensky yang merupakan mantan artis komedi ini lebih memilih mengajukan proposal keanggotaan ke EU dan melawan Putin.
Tentu dengan situasi konflik yang tidak kunjung usai akan membuat kondisi Ukraina sebagai negara mengalami kemunduran peradaban, kerusakan infrastruktur dan ekonomi, dan juga korban jiwa. Jutaan warga asli Ukraina memilih mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya Ukraina ke negara tetangga seperti Rumania, Polandia, Moldova dan beberapa negara di Eropa timur lainnya yang lebih aman. Terkini, Mariupol sebuah kota di kawasan tenggara Ukraina luluh lantak akibat gempuran pasukan Rusia. Mariupol sebelumnya merupakan kota yang memiliki kepadatan penduduk sekitar 400 ribuan, dan menjadi rumah bagi etnis Yunani Pontic, selain etnis Ukraina dan Rusia.
Upaya Diplomasi Internasional
Sejarah mencatat bahwa perang dingin berakhir di akhir Desember 1991 ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, runtuhnya Tembok Berlin, dan mulai berkembangnya paham politik demokrasi ke belahan dunia termasuk ke sebagian bekas negara Uni Soviet hingga kini. Runtuhnya Uni Soviet menandai dimulai doktrin bahwa diplomasi menjadi upaya dalam hubungan internasional untuk menyelesaikan konflik maupun memengaruhi negara lainnya yang digagas oleh presiden AS Richard Nixon ketika itu. Era di mana perang konvensional dan perang dingin berakhir, diganti ke perang ekonomi dan perdagangan (perubahan paradigma geopolitik ke geoekonomi).
Konflik Rusia-Ukraina sedianya telah diupayakan jalur diplomasi oleh beberapa negara seperti Israel hingga dibawa ke sidang umum PBB. Namun beberapa langkah diplomasi menemui jalan buntu. Pembahasan upaya gencatan senjata di Belarus pada akhir Februari 2022 pun belum menemui kesepakatan. Perundingan di Belarus digelar di kota Gomel, wilayah Belarus yang terdekat dengan Chernobyl Ukraina ini diinisiasi oleh Presiden Belarusia Alexander Lukashenko. Awalnya Zelensky tidak bersedia karena menganggap Belarusia adalah sekutu Rusia dan lebih memilih Polandia sebagai zona netral melakukan perundingan. Sayangnya perundingan Rusia dan Ukraina tidak membuahkan hasil maksimal, yaitu gencatan senjata. Kedua belah pihak hanya menyepakati persoalan mengevakuasi warga sipil dari wilayah yang menjadi zona pertempuran di Ukraina. Pihak Rusia menyetujui adanya koridor organisasi kemanusiaan untuk menyelamatkan warga sipil.
Teranyar, Turki melalui Presiden Erdogan mengupayakan adanya perdamaian dan rekonsiliasi antara pihak Rusia dan Ukraina. Akhir Maret 2022, Erdogan memfasilitasi kedua negara untuk bertemu dan mengupayakan perdamaian di Istanbul. Bahkan Erdogan aktif mengirim delegasi diplomatnya ke Kyiv maupun Moskow. Permintaan pihak Rusia tetap sama, yaitu jika ingin gencatan senjata berakhir, agar Ukraina menjadi negara netral dan tidak masuk ke EU atau bahkan bergabung ke pakta pertahanan NATO. Ukraina sendiri dalam perundingan menginginkan jaminan keamanan kepada internasional terhadap negaranya seperti pada pasal lima NATO, yakni apabila salah satu negara maka negara lain menganggap sebagai serangan seluruh anggota. Selain itu, Ukraina juga terus mempermasalahkan Crimea dan Sevastopol (dua wilayah yang saat ini dikuasai penuh pasukan Kremlin).
Setidaknya ada beberapa poin yang dihasilkan dalam perundingan di Istanbul, Turki. Pertama, Rusia sementara bersedia menyepakati untuk mengendurkan serangan militernya di beberapa wilayah Ukraina. Kedua, Ukraina tidak akan bergabung ke aliansi pertahanan manapun di dunia ataupun menjadi salah satu pangkalan militer NATO. Namun Ukraina sendiri menginginkan penjamin keamanan bagi negaranya apabila diserang oleh negara lain. Erdogan dalam hal ini terdepan maju menawarkan diri untuk Turki sebagai negara penjamin keamanan Ukraina. Erdogan sendiri mengatakan Turki ingin mempertemukan Putin dan Zelensky guna tercipta perdamaian di kawasan. Anggota delegasi Ukraina yang juga menjabat sebagai penasihat presiden Ukraina Mykhailo Podolyah mengatakan selain Turki, dua negara yaitu Jerman dan Polandia, bisa menjadi penjamin keamanan untuk menghentikan konflik di Ukraina saat ini.
Upaya diplomasi oleh beberapa negara di dunia untuk perdamaian di Ukraina agaknya masih menemui jalan terjal. Rusia setidaknya hanya bersedia merendahkan tone eskalasi militernya di Ukraina. Pertemuan antara Putin dan Zelensky dalam waktu dekat ini pun mustahil dilakukan. Hal itu ditambah negara NATO maupun negara EU belum mencabut sanksi terhadap Rusia dan malah terkesan memanas-manasi. EU juga menilai China memiliki peran strategis dalam pusaran konflik Rusia melawan Ukraina. Dalam pertemuan virtual KTT EU-China awal April 2022, EU terus mendesak China agar mengambil tindakan dan menekan Rusia untuk mengakhiri konflik. Selain itu, Presiden Komisi EU Ursula von der Leyen juga meminta China untuk tidak membantu Rusia dalam hal apapun dalam menghindari sanksi yang telah diterapkan oleh negara-negara di dunia.
Peran Indonesia
Selain China, Indonesia juga turut mendapat desakan dari berbagai negara pro EU dan NATO untuk tidak mengundang Putin ke gelaran G20 yang akan berlangsung di Bali bulan Oktober-November 2022. Presiden AS Joe Biden sendiri secara terang-terangan menyampaikan apabila Indonesia mengundang Putin maka Zelensky patut diundang meski Ukraina bukan anggota G20. Mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron berkomentar apabila Putin tetap diundang maka barat harus memboikot KTT G20. Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga mengatakan apabila Indonesia tetap mengundang Putin dan membiarkannya duduk satu meja dengan para pemimpin dunia lainnya merupakan satu langkah yang terlalu jauh dan pihaknya tidak bisa menerima.
Indonesia memainkan peran penting dalam arena G20 tahun ini. Tema besar yang diangkat di event ini adalah "Recover Together, Recover Stronger" dengan membawa tiga isu prioritas, yakni arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, dan transformasi ekonomi dan digital. Ketiga isu ini diangkat karena kondisi pemulihan ekonomi global yang tidak merata akibat Covid-19. Arena G20 memang tidak membahas konflik Rusia dan Ukraina, karena KTT ini murni membahas kerja sama ekonomi internasional. Sekiranya ada pembahasan di luar tema juga harus disepakati oleh tiga negara Troika (Indonesia, Italia, dan India). Troika merupakan negara yang saat ini menjabat sebagai Presiden G20, negara yang menjabat satu tahun sebelumnya, dan negara yang akan menjabat Presiden G20 tahun selanjutnya. Seluruh isu yang akan diangkat di agenda G20 harus didiskusikan oleh tiga negara Troika, termasuk apabila akan diangkatnya isu konflik Rusia dan Ukraina.
Indonesia sendiri sejak Desember 2021 memegang Presidensi G20, di sisi internal sedang menyiapkan penyambutan dengan sangat baik untuk kesuksesan KTT G20. Momen sebagai Presiden G20 sebetulnya bisa menjadi kunci untuk perdamaian Rusia dan Ukraina. Arena G20 merupakan panggung strategis karena memiliki negara anggota hampir 60% populasi global, memegang lebih dari 80% pendapatan domestik bruto (PDB/GDP) global, dan berkontribusi 75% perdagangan global. Apalagi Indonesia bukan dicap sebagai negara yang tidak bersahabat oleh Rusia, dan cenderung tidak mengambil sikap akan memihak mana di konflik Rusia dan Ukraina. Indonesia adalah old friend bagi Rusia. Presiden RI Soekarno dan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev pada era 1960-an adalah dua orang yang bersahabat dan merepresentasikan kondisi hubungan Rusia dan Indonesia hingga saat ini.
Meski mustahil mengangkat isu konflik Rusia-Ukraina ke G20 di Bali, Indonesia setidaknya bisa mempromosikan bahwa saat ini dunia harus bersatu padu dalam menghadapi kenyataan ancaman keadaan dunia BANI selepas pandemi Covid-19. Keadaan BANI memaksa negara-negara di dunia menyiapkan langkah lebih untuk menghadapi keterpurukan hingga krisis multidimensi (ekonomi, kesehatan, politik, sosial, dan budaya).
Upaya pemulihan dan pemerataan ekonomi dunia menjadi terganggu akibat kondisi BANI. Secara tidak langsung, lonjakan harga energi akibat perang antara Rusia dan Ukraina turut memukul ekonomi global, termasuk negara-negara G20. Setelah pandemi Covid-19, negara di dunia saat ini dihadapkan dengan ketidakstabilan harga barang dan jasa terutama harga energi yang mengalami kenaikan sangat tajam.
Ini membuat agenda pemerataan dan pemulihan ekonomi negara global terganggu. Dalam G20 nanti, Indonesia diharapkan mendorong stabilitas ekonomi global dimulai dari harmonisasi kondisi pasar barang dan jasa serta mengupayakan kerja sama ekonomi internasional yang inklusif. Kerja sama tersebut guna menghindari konflik langsung (perang konvensional) maupun tidak langsung (perang dagang) supaya ekonomi global terus stabil dan pemerataan ekonomi negara anggota G20 bisa berlangsung dengan lancar.