Dampak Konflik Rusia-Ukraina di Sektor Migas

Yohanes H. Aryanto CNBC Indonesia
Kamis, 03/03/2022 12:23 WIB
Yohanes Handoko Aryanto
Yohanes Handoko Aryanto
Senior Expert Business Trend, Pertamina Energy Institute ... Selengkapnya
Foto: Blok Mahakam yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Mahakam. (Doc SKK Migas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah konflik Rusia-Ukraina, dunia mengalami kekhawatiran terkait peningkatan harga komoditas energi dan pengaruhnya terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai pandangan bahwa harga minyak dapat mencapai US$ 125 atau bahkan US$ 170 dalam beberapa bulan mendatang, jika konflik ini sampai mendisrupsi pasokan produksi Rusia.

Pandangan ini cukup wajar. Sebagai gambaran, saat ini porsi produksi minyak Rusia mencapai sekitar 13% dunia. Dengan ketatnya pasokan dan permintaan minyak global, disrupsi pasokan dari Rusia akan berdampak signifikan terhadap pemenuhan permintaan global.

Namun demikian, harga minyak jarang terpengaruh lama oleh konflik geopolitik dua negara. Sebagai contoh intervensi di Irak pada 2014 sempat meningkatkan harga minyak dalam beberapa hari saja. Sementara itu intervensi di Libya pada 2018 tidak berdampak pada peningkatan harga minyak. Harga minyak dalam jangka panjang lebih dipengaruhi oleh faktor pasokan-permintaan maupun perekonomian global. Walaupun, peningkatan harga minyak yang kemudian bertahan tinggi cukup lama pernah terjadi setelah Arab Spring pada akhir 2010, namun situasi tersebut terjadi di lebih dari satu negara dan sebagian besar produsen minyak.


Nampaknya pasar juga melihat konflik Rusia-Ukraina tidak akan berdampak panjang. Jika dilihat dari harga minyak per 24 Februari 2022, tren masih mengalami backwardation. Harga spot sebesar US$ 99,29 dengan harga future menurun dari US$ 98,57 untuk April 2022 hingga US$ 84,18 untuk November 2022. Meskipun, harga future tersebut meningkat dibandingkan 14 Februari 2022 ketika konflik masih belum bereskalasi yaitu US$ 92,94 untuk bulan April 2022 hingga US$ 84,18 untuk November 2022 dan harga spot jauh di kisaran US$ 101,6 karena sentimen pasar atas konflik. Rentang harga tersebut juga menunjukkan bahwa saat ini tekanan dari sisi permintaan minyak cukup tinggi, namun peningkatan harga ke kisaran US$ 100 lebih disebabkan oleh konflik.

Harga minyak tinggi membawa berkah untuk perusahaan migas internasional seperti BP, Chevron, ExxonMobil, dan Shell yang mencatatkan lonjakan laba dan peningkatan aliran kas pada 2021, setelah pada tahun sebelumnya mengalami kerugian besar. Di sisi lain, peningkatan harga minyak juga ikut mendorong harga saham perusahaan migas internasional. Walaupun, dalam konflik Rusia Ukraina kali ini, Rosneft dan Gazprom mengalami anomali dengan anjloknya harga saham kedua perusahaan tersebut.

Harga minyak tinggi biasanya juga akan mendorong peningkatan aktivitas merger & akuisisi serta investasi di hulu migas. Secara historis, harga minyak dan aktivitas merger & akuisisi memiliki korelasi positif yang signifikan. Berdasarkan analisis IHS Markit, dunia saat ini kekurangan investasi migas sebesar US$ 525 miliar untuk mengembalikan keseimbangan pasar. Lonjakan harga saat ini menunjukkan bahwa dunia masih membutuhkan minyak dan permintaan minyak diproyeksikan oleh berbagai analis masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan meskipun terjadi transisi energi.

Namun, perusahaan migas internasional sepertinya ragu dalam mengalokasikan kelebihan kasnya. Hal ini terlihat dari keputusan beberapa perusahaan migas internasional untuk melakukan buyback saham dengan nilai besar. Padahal, situasi saat ini merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong investasi transisi energi atau kembali berinvestasi di migas untuk memastikan bahwa permintaan migas masih dapat tercukupi selama transisi ke depan. Keputusan ini terlihat kurang menunjukkan komitmen perusahaan-perusahaan tersebut dalam transisi energi. Walaupun, aksi buyback saham ini mungkin diharapkan untuk membahagiakan dan meredam tekanan investor.

Bagi Indonesia yang merupakan net importir minyak, tingginya harga perlu diantisipasi dampaknya terhadap perekonomian nasional. Namun, Indonesia masih dapat mengambil berkah dari peningkatan harga gas. Konflik Rusia-Ukraina telah kembali meningkatkan harga gas global. Sementara itu, harga gas memiliki korelasi positif dengan peningkatan nilai ekspor gas di Indonesia. Sebagai gambaran, pada bulan Oktober, nilai ekspor gas Indonesia mencapai US$781 juta, kemudian meningkat di bulan November menjadi US$ 961 juta seiring peningkatan harga gas yang disebabkan oleh peningkatan permintaan gas dan krisis energi Terutama di Eropa. Ketika harga gas mengalami tren penurunan pada bulan Desember 2021 dan Januari 2022, nilai ekspor gas juga kembali turun.

Walaupun kita dapat melihat sisi positif dari konflik Rusia-Ukraina. Perang merupakan suatu hal yang patut untuk dikutuk. Apalagi dalam situasi ketika dunia berusaha untuk kembali pulih dari pandemi dengan tingkat vaksinasi yang masih timpang dan jurang kesenjangan sosial yang semakin lebar. Belum lagi, dunia masih perlu bekerjasama dalam melakukan transisi energi dan mengatasi perubahan iklim. Konflik Rusia-Ukraina ini merupakan contoh buruk bagi generasi muda.

Dalam situasi ini, pemerintah Indonesia perlu untuk berperan lebih untuk menghentikan konflik Rusia-Ukraina dan memperjuangkan dengan lantang tema presidensi G20 Indonesia tahun ini, "Recover Together, Recover Stronger."

 


(rah/rah)