Kurniawan Budi Irianto
Kurniawan Budi Irianto

Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja.

Profil Selengkapnya

Menanti Manfaat Ekonomi dari Akuisisi Jet Tempur F15ID

Opini - Kurniawan Budi Irianto, CNBC Indonesia
24 February 2022 20:59
Pesawat Jet Tempur F-15 Foto: REUTERS/Bob Strong/File photo

CNBC Indonesia - Pascapersetujuan Kongres Amerika Serikat (AS) atas kemungkinan penjualan jet tempur F15ID, 'bola' berada di tangan Indonesia untuk merespons persetujuan tersebut. Biasanya proses negosiasi hingga finalisasi rencana pengadaan akan segera dilakukan. Pembahasan mengenai pembayaran, offset, termasuk kompensasi tambahan yang diterima Indonesia menjadi inti dari pembicaraan.

Rencana pengadaan jet tempur F15ID asal AS diperkirakan akan menelan biaya sebesar US$ 13,9 miliar, sebuah nilai yang sangat besar bagi Indonesia. Amat jarang terjadi pembelian barang/jasa dengan nilai sebesar itu untuk sebuah transaksi. Pembayaran sekaligus maupun melalui mekanisme cicilan tetaplah sebuah "guncangan" yang akan memengaruhi nilai tukar rupiah.

Proses pengadaan jet tempur tersebut sebenarnya dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama adalah pengadaan tersebut merupakan sebuah proses biasa dan sederhana. Sedangkan yang kedua adalah melihat proses pengadaan sebagai sebuah hal yang strategis bagi bangsa Indonesia. Apabila proses pengadaan hanya dipandang sebagai hal yang sederhana, maka pembelian jet tempur tersebut tidak berbeda dengan pembelian barang/jasa dari luar negeri sebagaimana yang biasa dilakukan. Pembeli melakukan kontrak, pembayaran kontrak, kemudian barang diserahterimakan. Yang terjadi hanyalah aliran devisa keluar yang akan menambah beban pada neraca pembayaran akibat adanya tambahan impor pada neraca perdagangan.

Transaksi jet tempur tersebut dapat pula dilihat secara lebih strategis melalui pendekatan neraca pembayaran dan isu-isu hangat yang berkembang akhir-akhir ini. Neraca pembayaran merupakan statistik yang mencatat transaksi ekonomi antara penduduk dengan bukan penduduk pada suatu periode tertentu. Oleh karena itu ketika kita berbicara mengenai neraca pembayaran Indonesia maka transaksi ekonomi yang dicatat adalah transaksi ekonomi antara penduduk Indonesia dan bukan penduduk Indonesia.

Dalam neraca pembayaran diperinci menjadi tiga transaksi utama, yaitu transaksi finansial, transaksi modal, serta transaksi berjalan. Transaksi finansial mencatat seluruh transaksi yang berkaitan dengan aset finansial serta kewajiban antara penduduk dan bukan penduduk. Contohnya adalah investasi langsung (direct investment), investasi portofolio, dan sebagainya.

Transaksi modal mencatat seluruh transaksi yang berkaitan dengan akuisisi dan pelepasan aset nonfinansial dan nonproduktif antara penduduk dan bukan penduduk. Contohnya adalah sumber daya alam, tanah, hak merek, pengampunan hutang dan sebagainya.

Sedangkan transaksi berjalan mencatat transaksi atas penduduk dan bukan penduduk atas barang, jasa, dan pendapatan. Neraca perdagangan berupa ekspor dan impor masuk pada transaksi berjalan. Selain ekspor dan impor, kiriman uang (remittance) antara penduduk dan bukan penduduk menjadi bagian dari transaksi berjalan.

Penjumlahan dari transaksi berjalan, transaksi modal, dan transaksi finansial menentukan aliran devisa masuk atau keluar. Neraca pembayaran akan mencatat nilai positif apabila terjadi aliran devisa masuk dan mencatat negatif jika ada aliran devisa keluar. Keluar masuknya devisa akan memeengaruhi nilai rupiah. Apabila devisa masuk lebih banyak daripada keluar maka nilai tukar rupiah akan menguat begitu juga sebaliknya.

Yang kedua terkait dengan isu hangat yang berkaitan dengan trade war. Kita ketahui bersama hubungan antara AS dan China sedang dalam kondisi kurang harmonis. Dampak atas renggangnya hubungan tersebut adalah keluarnya sebagian perusahaan asal AS dari China. Selama ini banyak global supply chain terutama dari AS yang melakukan aktivitas ekonominya di negeri China. Memburuknya relasi antara AS dan China memaksa global supply chain mengalihkan aktivitas ekonominya ke negara lain.

Menurut Bank Dunia, pada 2019 tercatat ada 33 industri yang melakukan relokasi usahanya keluar dari China. Namun sayang tidak ada satupun yang masuk ke Indonesia, sebagian besar menyasar Vietnam sebagai pusat produksi setelah keluar dari China.

Dari survei yang dilakukan oleh Gartner pada tahun 2020 menyatakan bahwa 33% dari global supply chain berencana meninggalkan China sebelum 2023. Pada rilisnya Gartner menyatakan bahwa "We have found that tariffs imposed by the U.S. and Chinese governments during the past years have increased supply chain costs by up to 10% for more than 40% of organizations.". Dan lagi-lagi Indonesia bukan menjadi tujuan favorit atas rencana relokasi tersebut, Vietnam, India, serta Meksiko menjadi negara idaman untuk melakukan relokasi.

Berkaitan dengan dari hal-hal tersebut, rencana pengadaan jet tempur merupakan saat yang tepat bagi Indonesia untuk meminta "bagian" atas terjadinya relokasi industri keluar dari China. Negosiator dari pihak Indonesia harus mampu meminta kompensasi atas akuisisi yang akan dilakukan. Pihak AS tentu akan memaklumi permintaan tersebut. Belanja alutsista dengan nilai yang fantastis akan memberatkan bagi Indonesia apabila tidak diimbangi dengan adanya aliran modal masuk.

Usulan untuk menjadikan Indonesia sebagai tujuan relokasi Industri sebenarnya sangat relevan dengan harapan pemerintah. Selama ini pemerintah Indonesia telah mempersiapkan diri menampung larinya investor dari China dengan membangun berbagai kawasan ekonomi khusus. Momentum kontrak pengadaan jet tempur merupakan pemicu bagi Indonesia untuk mendorong pemerintah AS agar memprioritaskan Indonesia sebagai tujuan relokasi industri bagi perusahaan asal AS.

Bagi AS, suksesnya penjualan jet tempur akan mengurangi defisit perdagangan yang terjadi. Neraca pembayaran AS akan mencatat adanya aliran uang masuk akibat adanya penjualan jet tempur ke Indonesia. Sedangkan perpindahan pusat aktivitas perusahaan asal AS dari negara lain ke Indonesia tidak berdampak pada penambahan atau pengurangan transaksi finansial pada neraca pembayaran AS. Dari sudut pandang neraca pembayaran AS, pergeseran investasi langsung dari suatu negara ke negara lain tidak akan mengakibatkan perubahan komposisi transaksi finansial karena keduanya merupakan entitas "bukan penduduk".

Sebaliknya, bagi Indonesia transaksi perdagangan jet tempur yang diimbangi dengan adanya investasi langsung dapat mengurangi tekanan bagi neraca pembayaran. Jika investasi langsung yang berasal dari relokasi industri memiliki nilai setara dengan total nilai akuisisi jet tempur maka dampak terhadap neraca pembayaran bisa diminimalisasi. Bertambahnya impor dari pembelian jet tempur yang dicatat pada transaksi berjalan mendapatkan substitusi berupa masuknya investasi langsung pada transaksi finansial.

Sekarang waktunya kita nantikan keandalan negosiator dari Indonesia, apakah akan menganggap akuisisi itu hanya merupakan hal biasa dan sederhana ataukah akan memperjuangkan kompensasi berupa penambahan investasi langsung ke tanah air. Jika opsi kedua yang dipilih maka pengadaan jet tempur tersebut membuka jalan bagi bertambahnya investasi langsung yang masuk ke negeri ini. Penambahan investasi langsung berarti pula adanya penambahan lapangan pekerjaan di dalam negeri serta membantu percepatan pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19.

(miq/miq)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Artikel Terkait
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading