Dekarbonisasi di Bisnis Pelayaran: Indonesia Ada di Mana?

Siswanto Rusdi CNBC Indonesia
Senin, 08/11/2021 15:40 WIB
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pel... Selengkapnya
Foto: Foto/ jokowi di sela kTT COP26/Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden

Beberapa waktu belakangan ini jagat publik nasional dan internasional diramaikan dengan hajatan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) yang tahun ini digelar di Glasgow, Inggris, sejak 31 Oktober hingga 12 November.

Yang menjadi magnet dari pertemuan tahunan ini tentu saja COP-nya atau Conference of the Parties.

Dari forum tertinggi dalam sistem UNFCC ini selalu mengalir berbagai gagasan dan statement besar oleh tokoh-tokoh global --mulai dari kepala pemerintah/negara, artis hingga aktivis LSM --untuk menekan ancaman perubahan iklim.


COP tahun ini merupakan yang ke-26 dan Indonesia tampil full; mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) jajaran menteri pentingnya, hingga eksekutif puncak perusahaan BUMN, dalam hal ini yang disorot ialah BUMN pelabuhan, PT Pelindo (Persero.

Nah, sepertinya inilah kali pertama sang dirut hadir dalam event KTT Iklim.

Sejak UNFCC diluncurkan pertama kali pada 1992, sektor pelayaran sudah terlibat aktif dalam isu perubahan iklim.

Soalnya, sektor yang satu ini, bersama sektor penerbangan merupakan penghasil emisi yang cukup besar dan karenanya menjadi sorotan tersendiri dalam Kyoto Protocol.

"Disentil" oleh aturan ini, International Maritime Organization (IMO) sebagai lembaga di bawah PBB yang mengurusi sektor pelayaran mondial melakukan aksi.

Lembaga yang bermarkas di kota London ini lalu mengamendemen MARPOL Convention dan mengeluarkan resolusi 8 tentang emisi CO2 (karbondioksida) dari kapal pada 1997.

Ketika Paris Agreement diadopsi pada 2016 dorongan agar langkah-langkah dekarbonisasi - istilah yang digunakan untuk menggambarkan upaya pengurangan emisi - dalam sektor pelayaran semakin dikencangkan.

Menurut perhitungan para ahli, emisi dari sektor pelayaran berkisar 2% dari total greenhouse gas (GHG) dunia dan diperkirakan akan terus meningkat dalam tahun-tahun ke depan.

Menyikapi kondisi ini, pada April 2018, IMO mengeluarkan apa yang dikenal dengan "initial strategy on reduction of GHG emissions from ships" yang bertujuan menekan GHG sektor pelayaran internasional paling sedikit 50% hingga 2050.

Targetnya masalah ini akan berhasil ditangani pada abad ini juga.

Saat ini, bertempat di markas besarnya, IMO tengah mendiskusikan dengan seluruh stakeholder bisnis pelayaran dunia terkait target jangka pendek untuk strategi dekarbonisasi tersebut.

Diharapkan, rapat-rapat yang digelar mampu menelurkan kesepakatan seputar agenda ini paling lambat pada 2023.

Sudah ada beberapa aksi konkret yang berjalan di lapangan sejak persoalan emisi kapal mencuat ke khalayak.

Pertanyaannya sekarang, langkah-langkah apa saja yang sudah diterapkan oleh industri pelayaran untuk menekan emisi dari kapal?

Karena titik tekannya terletak pada pengurangan emisi kapal, maka fokus perhatian IMO dalam berbagai aksi konkret yang telah diluncurkan ditujukan terhadap berbagai alternatif bahan bakar bagi kapal.

Ada sejumlah opsi bahan bakar yang sudah diperkenalkan kepada pelaku usaha pelayaran, baik oleh IMO sendiri maupun inisiatif dari kalangan pemangku kepentingan bisnis ini seperti lembaga riset, pabrikan dan sebagainya.

Upaya menekan emisi kapal yang pertama adalah pemberlakuan penggunaan BBM berkadar sulfur rendah.

Dikenal dengan istilah "IMO 2020", ini merupakan kebijakan resmi IMO dan sudah diberlakukan di seluruh dunia pada 1 Januari 2020. Bagi operator pelayaran yang tetap ingin menggunakan BBM dengan kadar belerang (nama lain sulfur) yang tinggi mereka memasang scrubber dalam sistem pembuangan asap kapal.

Sependek pengetahuan penulis, penggunaan alat ini bukan kebijakan IMO. Ia hanya konsekuensi bagi mereka yang menghindari menggunakan BBM bersulfur rendah karena berbagai alasan. Sesuai aturan ini, kandungan sulfur yang bisa ditoleransi di dalam BBM kapal hanya 0,5%.

Lalu ada juga yang mengusulkan penggunaan berbagai macam gas (LNG, Amonia, dll) sebagai upaya untuk menekan emisi kapal. Kapal-kapal yang menggunakan bahan bakar tipe ini pun sudah ada yang mengarungi lautan.

Dunia pelayaran mencatat saat ini ada sepuluh kapal yang menggunakan LNG, antara lain, Creole Spirit, Isla Bella dan Rem Eir.

Dicoba juga pemanfaatan angin sebagai penggerak (teknologi wind propulsion). Tenaga nuklir juga dilirik. Menariknya, pemanfaatan bahan bakar alternatif ini ternyata tidak sepenuhnya baru bagi bisnis pelayaran.

Barangkali pembaca masih ingat dengan MV Savannah. Kapal ini merupakan kapal komersial yang digerakkan oleh tenaga nuklir. Kapal ini dibangun pada 1950 dengan biaya US$ 46,9 juta atau setara dengan Rp 666 miliar (kurs Rp 14.200/US$0 dan diluncurkan pada 1959 dan beroperasi hingga 1972.

Kemudian ada juga kapal pemecah es bertenaga nuklir buatan Uni Sovyet, Lenin, yang dikonstruksi pada 1957.

Pada COP26 penggunaan energi nuklir untuk penggerak kapal kembali mendapat momentum melalui himbauan John Kerry, mantan menteri luar negeri AS yang kini menjadi duta iklim negeri Paman Sam.

Dalam forum tersebut ia mendorong agar dunia pelayaran internasional dapat melihat lebih serius kepada energi nuklir untuk kapal.

Posisi Indonesia

Sebagai anggota IMO, Indonesia tentu saja menerapkan semua keputusan yang sudah diambil oleh lembaga tersebut. Itu artinya ketika "IMO 2020" diberlakukan pada tahun lalu Indonesia otomatis juga menerapkannya.

Aturan ini berlaku untuk kapal-kapal yang melayari rute/trayek luar negeri.

Seluruh regulasi IMO memang ditujukan untuk kapal-kapal yang beroperasi di laut lepas.

Untuk kapal-kapal antarpulau diserahkan kepada kebijakan negara anggota masing-masing pengaturannya. Yang jelas tidak boleh di bawah standar minimum yang ditetapkan oleh IMO. Lebih tinggi atau lebih keras boleh.

Sejak diterapkan di Indonesia, tidak jelas berapa banyak kapal asing yang comply dengan aturan tersebut. Paling tidak, sulit mencari beritanya di media.

Barangkali karena ini isu teknis sehingga media kurang tertarik memberitakannya.

Di sisi lain, jumlah kapal berbendera Indonesia yang melayari samudra luas diperkirakan sekitar 400-500 unit. Sejauh ini sepertinya tidak ada masalah dengan kepatuhan terhadap aturan IMO terkait bahan bakar bersulfur rendah. Kemungkinan karena tidak ada media yang memberitakan ada yang tidak comply. Entahlah.

Ketika diterapkan, ada kekhawatiran bahwa PT Pertamina (Persero) sebagai pemasok BBM kapal, khususnya dengan kadar 0,5%, tidak akan mampu memasoknya.

Dari berbagai pemberitaan, perusahaan minyak negara itu sudah mampu menyediakan BBM rendah sulfur. Hanya saja, pilihan utama pelayaran untuk pengisian bahan bakar ini tetap di Singapura. Sepertinya karena harganya yang relatif murah.

Bagaimana dengan penggunaan bahan bakar alternatif (gas, wind propulsion, nuklir) di Indonesia. Tanpa bermaksud merendahkan siapa pun, kita masih jauh dengan gagasan itu.

Kalaupun ada, paling sebatas sebagai pemakai atau konsumen saja. Dan, dalam COP26 kita tidak mendengar delegasi Indonesia menyinggung soal emisi kapal. Kalau seputar pelabuhan ada. Padahal, KTT Iklim PBB itu sudah mendekati akhir.


(tas/tas)