
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarjana dari FIKOM UPI YAI, Jakarta dan RSIS-NTU, Singapura, setelah gelar sarjana ditempuh di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebelum banting setir adalah koresponden untuk koran Lloyd's List, Inggris. Pada masanya, terbitan ini merupakan rujukan pelaku usaha pelayaran global. Kini, selain mengelola Namarin, dia juga mengajar di beberapa universitas di Jakarta.
Profil SelengkapnyaJokowi, Kelangkaan Kontainer, dan Presiden G20 Indonesia 2022

Saya terkesima membaca berita di laman salah satu portal berita ternama nasional yang mengutip pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka the 1st Finance Minister and Central Bank Governor Meeting di Forum G20, Kamis (17/2/2022). Di hadapan hadirin, kepala negara menyinggung isu kelangkaan kontainer yang sampai hari ini masih mengharu biru. Terkesima karena sependek pengetahuan penulis, inilah kali pertama masalah tersebut dibunyikan di G20 sejak muncul pada 2020.
Kelangkaan peti kemas memang menjadi masalah yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali negara-negara anggota G20. Ia menambah dalam persoalan yang dihadapi berbagai pemerintahan seantero penjuru mata angin tanpa terkecuali yang berjibaku melawan merebaknya virus Corona di akhir 2019. Akibat pandemi, banyak pelabuhan yang ditutup, khususnya di China yang menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap wabah tersebut. Artinya, bila suatu daerah atau fasilitas umum terjangkit, seluruh wilayah akan di-lockdown.
Karena pelabuhan ditutup, maka kapal-kapal dengan trayek ke sana mau tidak mau menghentikan pelayanan. Atau, paling tidak, mengalihkan pelayaran ke fasilitas terdekat dari pelabuhan destinasi. Ratusan kapal melakukan langkah itu sehingga memengaruhi jadwal yang sebelum pandemi Covid-19 sudah diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan pemakai jasa. Perubahan inilah yang menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya kelangkaan kontainer seperti yang disampaikan Jokowi.
Bila Jokowi mengajak forum G20 untuk menyelesaikan masalah kelangkaan peti kemas, hal itu jelas sebuah terobosan. Dimaksud terobosan karena selama ini penanganan masalah tersebut dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap negara. Padahal, bisnis pelayaran itu bersifat lintas batas (borderless) di mana para pihak terhubung antara satu dengan lainnya. Diperlukan usaha bersama semua unsur pemangku kepentingan di sektor ini untuk menuntaskan setiap masalah yang muncul. Pada tataran ini mengapa imbauan Jokowi boleh dibilang terobosan.
Akibat kelangkaan kontainer, tarif angkutan dari Asia ke pelabuhan di AS dan Eropa naik signifikan. Pihak yang pertama dan terutama terpukul oleh masalah kelangkaan peti kemas adalah China. Sebab, negara tersebut merupakan produsen barang manufaktur terbesar di dunia yang ekspornya sebagian besar tertuju ke AS dan Eropa. Menurut Alan Murphy selaku Head of Consultancy Sea Intelligence, sudah sepuluh tahun freight pelayaran peti kemas tidak naik. Sementara itu, firma konsultasi Mckinsey mengungkapkan, saat ini freight pelayaran kontainer sudah naik enam kali lipat dibanding awal 2019. Ini khusus berlaku untuk rute dari China ke Eropa.
Sementara itu, Freightos Baltic Index, sebuah patokan bagi rute-rute pelayaran utama, mencatat freight pada rute China-Pantai Barat AS mencapai US$ 7.000 per satuan kontainer (20 kaki atau 40 kaki). Adapun untuk China-Eropa, tarif menyentuh US$ 10 ribu . Dengan kenaikan yang ada, pelayaran peti kemas membukukan keuntungan fantastis sepanjang eksistensi mereka. Dilaporkan oleh berbagai media, pelayaran peti kemas membukukan pendapatan sekitar US$48,1 miliar hingga trisemester 2021 lalu.
Pencapaian itu sembilan kali lipat melebihi pendapatan yang diperoleh dalam periode yang sama pada 2020 sebesar US$ 5,1 miliar. Perolehan spektakuler tersebut mengalahkan penghasilan yang dibukukan oleh FANG (Facebook, Amazon, Netflix, Google). Menariknya, pencapaian pada 2020 itu sendiri sebetulnya sudah luar biasa bagi pelayaran kontainer. Tidak pernah mereka segemilang itu sebelumnya. Diramalkan, bisnis pelayaran peti kemas akan tetap bersinar di tahun 2022, seperti kondisinya saat ini.
Indonesia jelas terpengaruh dengan krisis kelangkaan peti kemas yang berlaku. Sebab, negeri kita merupakan salah satu eksportir di Asia, khususnya di Asia Tenggara, yang tergolong banyak kiriman barang manufakturnya ke AS dan Eropa. Kendati ekspor ini banyak yang harus singgah terlebih dahulu di pusat-pusat transshipment alias hub seperti di Singapura, Malaysia atau Shanghai sebelum mendarat di AS atau Eropa. Eksportir nasional disebut-sebut harus merogoh kocek sekitar Rp 200 juta untuk biaya pengapalan.
Pertanyaannya sekarang, apakah ajakan Jokowi agar G20 menyelesaikan kelangkaan kontainer betul-betul disambut oleh anggota forum? Apakah ajakan itu serius atau hanya pemanis pidato? Ada beberapa alasan mengapa saya sedikit meragukan keinginan kepala negara. Pertama, agenda G20 sepertinya tidak memasukkan pembahasan isu kelangkaan peti kemas. Masalah ini sepertinya terlalu "remeh" untuk dibahas oleh para menteri, apalagi level kepala pemerintahan. Tetapi, bisa saja dengan posisi presidensi yang dipegangnya Indonesia berhasil menggolkan isu tersebut.
Kedua, diperlukan panel khusus untuk membahas kelangkaan peti kemas jika isu ini berhasil masuk sebagai salah satu agenda resmi pertemuan. Masalah ini tidak cukup dibahas oleh pejabat-pejabat yang menjadi anggota delegasi tiap negara anggota G20. Diperlukan orang-orang dengan pengalaman, jaringan dan kompetensi khusus pula. Misalnya, eksekutif puncak perusahaan pelayaran peti kemas global, CEO operator terminal kontainer kelas internasional dan lain sebagainya.
Nah, pada poin kedua itulah saya agak sedikit tidak yakin. Sehingga, ajakan Jokowi bisa amsyong pada akhirnya. Apakah mereka mau membahas rahasia bisnisnya dalam forum yang kebanyakan membicarakan urusan politik dan politik ekonomi seperti G20? Entahlah...