Keseimbangan Ekonomi, Ketahanan Energi, Dekarbonisasi Lewat Bioetanol

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Selain pandemi Covid-19 yang masih berlanjut dengan munculnya varian baru, tahun 2021 ditandai juga dengan terjadinya cuaca ekstrem.
Pada bulan Februari, cuaca dingin ekstrem mendisrupsi Texas, Amerika Serikat (AS), membuat 4 juta rumah tangga tidak memiliki akses listrik selama lima hari. Baru-baru ini, gelombang panas menewaskan ratusan orang di Kanada, dan menyebabkan kebakaran hutan yang hebat di California (AS), dan Rusia. Sementara itu, London, New York, serta beberapa kota di China dan Jerman mengalami banjir karena hujan lebat.
Cuaca ekstrem yang semakin sering dan intens merupakan dampak dari perubahan iklim, dan kerugian yang diakibatkan sangat besar. Sebagai contoh, AccuWeather memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh cuaca dingin di Texas pada tahun ini mencapai sekitar Rp 1,88 triliun.
Risiko Dekarbonisasi dalam Ketahanan Iklim
Jika melihat satu hal positif yang terjadi di 2021, muncul peningkatan kesadaran dunia untuk melawan perubahan iklim. Komitmen emisi nol karbon atau sering disebut net-zero diserukan oleh berbagai pemerintahan ataupun korporasi.
Dalam proses ini, ketersediaan dan keandalan energi listrik menjadi salah satu kuncinya. Hal itu, antara lain, dilakukan dengan inisiasi kendaraan listrik atau elektrifikasi peralatan industri dan rumah tangga (misalnya kompor listrik).
Permasalahannya, transisi energi rendah karbon dalam situasi perubahan iklim menimbulkan risiko.
Pertama, cuaca ekstrem meningkatkan kebutuhan listrik secara signifikan di sisi konsumen. Sebagai contoh ketika suhu panas, pemakaian pendingin ruangan (AC) meningkat. Sebaliknya, ketika suhu dingin, pemakaian pemanas ruangan melonjak. Di California, sebagai contoh, pemakaian AC yang meningkat karena gelombang panas menyebabkan beban grid listrik melonjak.
Kedua, cuaca ekstrem menurunkan kapasitas pasokan dari sistem pembangkit. Efisiensi panel surya akan turun ketika terjadi gelombang panas atau suhu dingin ekstrem. Turbin angin rentan terhadap badai angin. Sementara kekeringan panjang menyebabkan pembangkit listrik tenaga air, yang merupakan sumber energi baru terbarukan (EBT) terbesar di dunia, tidak dapat beroperasi secara optimal, seperti yang terjadi di China atau AS.
Ketiga, jaringan listrik rentan terputus karena bencana, seperti di California karena kebakaran atau di Jerman karena banjir. Dalam situasi seperti ini, kebutuhan energi lokal umumnya dipenuhi dengan menggunakan sumber energi yang mudah dipindahkan, disimpan, dan dikonversi dengan tingkat energi yang dapat dikendalikan sesuai kebutuhan. Sejauh ini, baru bahan bakar fosil, seperti batu bara atau minyak bumi, yang memiliki kriteria tersebut.
Mitigasi Risiko Iklim
Belajar dari apa yang terjadi di dunia, Indonesia harus memitigasi risiko transisinya. Berdasarkan laporan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), Indonesia termasuk negara dengan risiko iklim tinggi, seperti banjir, badai, kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut.
Memastikan keandalan pasokan listrik di tengah gangguan risiko cuaca ekstrem dan keterbatasan finansial tentunya bukanlah hal yang mudah. Diperlukan fleksibilitas sistem kelistrikan yang dapat meningkatkan keandalan sistem listrik dengan biaya yang efektif. Fleksibilitas ini dapat dilakukan melalui sistem kelistrikan terdistribusi, interkoneksi sistem, penyimpanan energi listrik, dan rekayasa demand-response untuk mengatur konsumsi listrik.
Sistem kelistrikan terdistribusi merupakan pembangkit listrik yang mengandalkan sumber energi lokal dengan jaringan listrik kelompok kecil yang disebut microgrid. Sistem ini memungkinkan terjadinya swasembada energi di wilayah-wilayah kecil sehingga tidak perlu bergantung pada jaringan yang lebih besar. Contohnya, suatu kelurahan menggunakan pembangkit tenaga air mikro dan panel surya untuk mencukupi kebutuhan listriknya.
Namun, sebagai langkah mitigasi, suatu daerah perlu memiliki lebih dari satu sumber energi. Hal ini dapat dicapai melalui interkoneksi jaringan listrik yang memungkinkan terjadinya pertukaran energi. Interkoneksi dalam skala regional besar atau lintas negara disebut sebagai supergrid. Contohnya, North American Power Grid, European Supergrid, atau ASEAN Grid. Di Indonesia, konsep ini mulai diinisiasi melalui program PEKIK Nusantara Supergrid.
Selanjutnya, sistem penyimpanan energi seperti baterai dapat meningkatkan baik keandalan sistem maupun pemanfaatan sumber energi intermiten (seperti panel surya atau turbin angin). Dalam situasi terjadinya lonjakan kebutuhan listrik atau tidak tersedianya listrik di suatu wilayah, sistem penukaran (swap) baterai dapat diterapkan. Baterai diisi ulang di wilayah yang sumber listriknya lebih banyak, kemudian didistribusikan ke wilayah yang membutuhkan listrik. Mirip seperti sistem isi ulang tabung gas.
Dari sisi konsumen, rekayasa demand-response dapat diterapkan untuk mengurangi beban puncak, seperti pembatasan listrik secara sukarela, penerapan tarif yang lebih mahal ketika beban tinggi, dan penerapan teknologi cerdas. Rekayasa ini diharapkan dapat menurunkan kebutuhan beban puncak yang pada akhirnya dapat mengurangi kebutuhan investasi peningkatan kapasitas terpasang.
Sebagai penutup, ketahanan sistem tenaga listrik dalam cuaca ekstrem dapat dilakukan dengan membatasi lonjakan beban listrik dan memastikan keamanan pasokan listrik dari berbagai sumber, baik sumber energi listrik lokal, impor dari wilayah lain, maupun penyimpanan energi listrik. Tidak kalah penting, perlu dicadangkan sumber energi fosil untuk keadaan darurat.