Sebuah peristiwa penting tersiar dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (9/6/2021). Inisiator Bukit Algoritma Budiman Sudjatmiko dan sejumlah pemangku kepentingan dari PT Amarta Karya (Persero) dan PT Kiniku Bintang Raya (KSO) meresmikan groundbreaking pembangunan kawasan yang digadang-gadang menjadi Silicon Valley di Indonesia tersebut.
Tahap awal Bukit Algoritma yang dibangun di kawasan Cikidang dan Cibadak ini direncanakan berisi enam gedung yang direnovasi, 120 rumah kebun dan hotel, sebuah gedung dengan fasilitas internet 6G "Internet of Things Park" dan baru-baru ini terkonfirmasi patung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus presiden pertama Ir. Sukarno juga akan dibangun di kawasan tersebut.
Pembangunan Bukit Algoritma direncanakan terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama pengerjaan selama tiga tahun untuk pembangunan infrastruktur dasar, lima tahun setelahnya untuk tahap kedua, dan tiga tahun setelahnya sebagai tahap akhir. Bukit Algoritma diharapkan untuk menjadi fasilitas para saintis dan inovator Indonesia yang pulang setelah berkarya di luar negeri.
Banyak kritikan yang diajukan terhadap ide ini. Nada-nada sumir seperti kecurigaan proyek ini akan berakhir seperti Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong yang menjadi pusat pergudangan dan perumahan. Meskipun banyak penolakan yang dilontarkan banyak ahli, pembangunan Bukit Algoritma tetap dilanjutkan dan direncanakan akan menerima status Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diharapkan akan mendorong ekosistem inovasi.
Menengok Silicon Valley
Silicon Valley merupakan sebutan pada sebuah kawasan di selatan pesisir San Fransisco, Amerika Serikat (AS), yang menjadi basis perusahaan teknologi terbesar di dunia. Facebook, Google, dan Apple merupakan tiga dari banyak perusahaan teknologi yang berpusat di kawasan tersebut. Silicon Valley bukan merupakan kawasan khusus yang didesain untuk menjadi kawasan pengembangan teknologi namun timbul setelah muncul gugusan pusat-pusat pengembangan teknologi di kawasan tersebut.
Silicon Valley dibentuk tidak dalam semangat pembangunan terpusat. Banyak teori yang menjelaskan bagaimana Silicon Valley terbentuk. Didirikannya Universitas Stanford yang digagas oleh Gubernur Leland Stanford dari California dianggap menjadi awal mula pembangunan ekosistem sains, teknologi, dan inovasi (STI) di kawasan ini. Terbentuknya pusat industri telekomunikasi di pelabuhan San Fransisco pada akhir abad ke-19 dan dorongan pemerintah federal AS untuk kepentingan keamanan pada masa Perang Dunia II semakin menguatkan ekosistem inovasi di kawasan ini.
Meski demikian, sama seperti sebuah kota, Silicon Valley terbentuk secara organik. Terbentuknya kawasan hi-tech tidak didasari niat untuk membentuk suatu perkumpulan eksklusif melainkan memang terjadi karena berkumpulnya talent pool dan dukungan modal secara bertahap.
Silicon Valley tidak terbentuk dalam satu hari. Aglomerasi dari ekosistem STI didukung oleh lembaga-lembaga keuangan yang terbentuk sejak lama membuat keunggulan tersendiri. Gagasan di banyak belahan dunia untuk meniru Silicon Valley terbukti gagal dan akhirnya menyempit pada spesialisasi teknologi secara khusus sesuai tuntutan industri.
Belajar dari tiruan Silicon Valley
Dan Breznitz, Profesor dari Munk School, University of Toronto dalam paparannya di Institute for New Economic Thinking menyatakan tidak akan ada yang dapat meniru Silicon Valley bahkan AS sendiri. Beberapa negara telah mencoba membangun tiruan Silicon Valley, namun pada akhirnya berhenti pada fokus tertentu.
Rusia dapat menjadi contoh negara yang memusatkan pengembangan teknologi dalam satu daerah khusus. Nikita Krushchev menggagas Akademgorodok yang artinya betul-betul "kota akademik" sebagai pusat pengembangan teknologi di Uni Soviet. Kawasan ini dibangun mulai 1950-an dan menjadi rumah bagi 35 lembaga penelitian dan medis. Fasilitas pendukung kota juga dibangun untuk menopang kehidupan di Akademgorodok seperti apartemen, perumahan, rumah sakit, bioskop, hingga pantai buatan. Akademgorodok pernah menampung lebih dari 65 ribu ilmuwan dan keluarganya dan mendukung penelitian-penelitian strategis Uni Soviet.
Sifatnya yang dependen kepada negara membuatnya rapuh untuk bertahan jika terjadi gejolak politik. Pada 1970-an perhatian Uni Soviet menggeser fokus riset dan teknologi di Akademgorodok dan mengacaukan pengembangan keilmuan di kawasan tersebut. Keruntuhan Uni Soviet pada akhir 1980-an membuat Akademgorodok ditinggalkan banyak ilmuwannya untuk mengembangkan teknologi di Eropa dan AS. Saat ini, Akademgorodok mulai kembali bertumbuh dengan fokus riset dan inovasi baru dan menerima penanaman modal lebih dari US$ 1 miliar pada tahun 2015 karena perubahan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka.
Di bawah kepemimpinan Dmitry Medvedev, Rusia membangun kompleks serupa Akademgorodok yang lebih besar di distrik Mozhaysky, Moskow. Kawasan seluas 400 hektare ini mencoba menjadi kawasan yang mendukung pertumbuhan prototipe dan perusahaan rintisan teknologi di Rusia. Meskipun demikian, pihak Skolkovo tidak menganggap Skolkovo sebagai kawasan setara Silicon Valley. Dilansir dari TASS, Viktor Vekselber, Presiden Yayasan Skolkovo menyatakan perbandingan seperti itu tidak tepat dan aneh karena Silicon Valley terbentuk lebih dari 50 tahun dan didukung puluhan kota dan fasilitas industri.
Contoh lainnya adalah Cyberjaya di Malaysia. Dibangun pada tahun 1997, bersamaan dengan megaproyek lainnya di sekitar Kuala Lumpur, Cyberjaya diharapkan untuk menjadi Silicon Valley of the East. Cyberjaya diproyeksikan untuk menjadi kawasan pengembangan startup untuk berinovasi dengan perusahaan besar sebagai penemu-penemu baru dan perusahaan kecil untuk berkembang menguasai pasar. Kehadiran Cyberjaya cukup didukung pada awal rintisannya dari Nippon Telephone and Telegraph hingga HP, DHL, dan Shell. Kini, Cyberjaya menjadi rumah bagi 800 perusahaan dengan 40 perusahaan multinasional.
"Malaysia's failed Silicon Valley" julukan yang diberikan oleh majalah Wired untuk menjelaskan Cyberjaya. Cyberjaya tidak hadir seperti yang direncanakan, meski sudah 20 tahun beroperasi. Penduduk Cyberjaya didominasi oleh mahasiswa dan pekerja tingkat rendah untuk mendukung pusat layanan konsumen di Cyberjaya. Kini, Cyberjaya tidak lagi difokuskan untuk mengimitasi Silicon Valley, namun diarahkan untuk kembali membangun dari awal ekosistem startup dimulai dari akselerator MaGIC (Malaysian Global Innovation and Creativity Centre) dan mengundang talent internasional untuk menjadi bagian dari akselerator.
China bisa dibilang sebagai negara yang berhasil sedikit meniru Silicon Valley di salah satu kota dengan kebijakan ekonomi khusus, Shenzhen. Selama 40 tahun terakhir, Shenzhen telah menjadi pusat pengembangan inovasi dan mulai dibandingkan dengan Silicon Valley ditandai dengan hadirnya Tencent dan Huawei. Shenzhen memiliki julukan "Silicon Valley for Hardware" karena pengembangan teknologi dan inovasi yang diarahkan kepada pengembangan sektor manufaktur. Shenzhen memanfaatkan proksimitas dengan Hong Kong yang saat itu belum menjadi bagian dari China. Pemanfaatan tenaga kerja yang relatif murah membuat perusahaan-perusahaan teknologi rintisan di Silicon Valley membuka cabang, jika tidak pindah, ke Shenzhen untuk mendapatkan akses yang lebih mudah dan murah dalam perkembangan perangkat keras.
"Silicon Wadi" di Tel Aviv, Israel, dengan keamanan siber, Taiwan dengan pengembangan chipset komputer, dan Bangalore dengan inovasi teknologi manufaktur merupakan contoh tiruan Silicon Valley yang berhasil membangun ekosistem inovasi sesuai dengan keunggulan masing-masing daerahnya. Pada akhirnya, membangun ekonomi berbasis inovasi dengan berlomba meniru Silicon Valley memang upaya yang tidak masuk akal sehingga perlu dicari jalan lain dengan tujuan yang sama.
Upaya Indonesia membuat Silicon Valley
Upaya membangun Silicon Valley di Indonesia bukanlah hal baru. Terlepas dari upaya-upaya sejenis seperti pembangunan science and technology park di berbagai perguruan tinggi, secara historis gebrakan berskala besar pernah dilakukan secara terpusat. Habibie, sebagai Menteri Riset dan Teknologi, pernah ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Puspiptek di Serpong yang saat ini masuk di provinsi Banten.
Puspiptek dibangun di kawasan seluas seribu hektare yang setengahnya dialokasikan untuk laboratorium dan perlengkapan riset lintas disiplin serta sisanya untuk membangun industri pendukung, kampus Institut Teknologi Indonesia, dan kantor-kantor administrasi. Habibie mengambil Silicon Valley sebagai contoh kawasan pengembangan inovasi yang mengumpulkan universitas, peneliti, dan pengusaha untuk bersama-sama menghasilkan inovasi.
Saat ini, Puspiptek dijadikan sebagai National Science and Technology Park yang menjadi pusat penghubung antara science and technology park lainnya di Indonesia. Meskipun sudah beroperasi hampir 50 tahun, perkembangan Puspiptek tidak bisa disandingkan dengan Silicon Valley meskipun sudah disokong oleh pemerintah dan pengusaha. Namun demikian, Puspiptek masih menjadi pendukung ekosistem riset dan teknologi di Indonesia walaupun tidak segemerlap pusat inovasi lain di dunia yang dikembangkan berbarengan dengan Puspiptek seperti Shenzhen dan Tel Aviv.
Apakah perlu membangun Bukit Algoritma?
Gagasan membuat Silicon Valley baru di Indonesia sebagai pendorong pertumbuhan dan magnet bagi para inovator bisa dibilang tidak relevan. Alasan-alasan yang disampaikan oleh penggagas dengan mimpi besarnya membentuk pusat pengembangan teknologi seperti Silicon Valley tidak membuat pembangunan ini memiliki urgensi yang dikampanyekan.
Salah satu alasan di balik pembangunan Bukit Algoritma adalah kurangnya fasilitas pendukung para inovator yang aktif di luar negeri sepulangnya ke Indonesia. Alasan ini tampak masuk akal dan dapat diterima karena banyak diaspora Indonesia bertahan di luar negeri karena tidak adanya fasilitas pendukung untuk mengembangkan bidang tertentu di Indonesia. Namun, apakah jawaban dari hal tersebut semata-mata pembangunan pusat pengembangan teknologi saja? Berkaca dari banyak negara yang berupaya membangun imitasi Silicon Valley nyatanya gagal dan tidak berkembang sesuai rencana, apakah pembangunan Bukit Algoritma tidak lain mengulang kesalahan tersebut?
Jika perkembangan inovasi menjadi tujuan dibangunnya Bukit Algoritma, inovasi seperti apa yang menjadi sasaran Bukit Algoritma untuk dikembangkan? Jika ditujukan untuk menjadi fasilitas untuk para inovator, siapa saja yang dijadikan mitra untuk mengembangkan inovasi di Bukit Algoritma? Apakah hanya bersandar pada kemudahan akses, jika memang mudah, akan menjadi pendorong inovasi berkembang di Bukit Algoritma? Gagasan Bukit Algoritma perlu disempurnakan dan dibawa ke arah yang lebih terfokus daripada hanya menjadi alasan pendukung bagi Cikidang dan Cibadak untuk diloloskan menjadi KEK.
Mencegah kegagalan
Mewujudkan mimpi-mimpi mulia membangun Indonesia yang maju yang didorong oleh inovasi merupakan mimpi jangka panjang yang perlu dipersiapkan oleh berbagai pihak. Yang mesti dibangun terlebih dahulu adalah pembentukan ekosistem STI secara nasional yang terintegrasi dengan baik. Kunci utama kesuksesan pembentukan ekosistem itu adalah kebijakan yang suportif, dana penelitian untuk penelitian kualitas tinggi, sumber daya manusia, dan fokus mengejar keunggulan pada sektor tertentu.
Didukung oleh kebijakan yang suportif, perguruan tinggi dan industri perlu didorong untuk menjadi motor utama riset dan inovasi di Indonesia. Indonesia mesti memperkuat ekosistem inovasi dengan menghubungkan riset sains dasar yang saat ini didominasi oleh perguruan tinggi dan lembaga riset untuk bekerja sama secara intensif dengan industri.
Pendanaan riset di Indonesia perlu diperbaiki dalam proses integrasi perguruan tinggi dan industri. Pada tahun 2016 pendanaan riset masih didominasi pemerintah dengan porsi 83,88%, perubahan secara bertahap bisa mendorong pertumbuhan peran industri dalam pendanaan riset. Pemerintah perlu mendorong integrasi antara perguruan tinggi dan industri secara top-down melalui kebijakan yang ramah inovasi seperti dana penelitian strategis bagi universitas dan pelonggaran pajak bagi industri yang mengembangkan inovasi menggunakan teknologi cutting edge (maju dan terbaru).
Dana abadi RISPRO LPDP misalnya, dapat menjadi pendukung proyek rintisan pembentukan ekosistem inovasi jangka panjang yang mengembangkan riset-riset cutting edge. Memang, riset cutting edge membutuhkan waktu penelitian dan penyesuaian yang lama untuk dikomersialisasi. Namun, mencontoh pada China yang kini memimpin di AI, big data dan blockchain, Indonesia mestinya menyadari bahwa riset cutting edge akan menghasilkan imbal hasil yang jauh lebih besar daripada riset yang berfokus pada komersialisasi jangka pendek.
Mariana Mazzucato, Profesor Inovasi dari University College London menegaskan paradigma pendanaan riset perlu bergeser dari "berapa besar dana riset yang ada dan bagaimana cara menghabiskannya?" menjadi "apa yang kita akan lakukan dan bagaimana menyusun rencana anggaran yang tepat untuk mencapainya?" dalam bukunya, Mission Economy. Pola pikir yang berubah dari sekadar target besaran menjadi berbasis misi mungkin akan terkesan utopis. Namun, dalam membentuk ekosistem inovasi yang maju, tujuan yang jelas merupakan keniscayaan sebelum membentuk variabel-variabel pendukung, salah satunya pendanaan.
Perguruan tinggi dengan fungsi pengajarannya perlu diberikan keleluasaan lebih luas untuk mempersiapkan lulusannya dalam mengaplikasikan sains dan teknologi di masyarakat. Ide moratorium program-program studi yang terlihat tidak relevan dengan tantangan zaman mungkin bukan solusi yang tepat. Penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan STI adalah yang perlu ditekankan untuk mendukung sumber daya manusia di dalam ekosistem STI.
Seperti Silicon Valley dan tiruannya yang berhasil, Indonesia mesti mencoba untuk berfokus pada pengembangan terbatas atau spesialisasi dan pengembangan inovasi yang bisa dikembangkan di sektor manufaktur. Beijing, Shenzhen, dan Hangzhou adalah tiga kota pengembangan inovasi berbasis teknologi di China yang berhasil mengembangkan inovasi teknologi digital yang dibantu oleh sektor manufaktur. Pengembangan hard tech mesti dilirik oleh Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inovasi yang berkelanjutan didukung keunggulan Indonesia yang memiliki tenaga kerja dan sumber daya alam yang melimpah.
Indonesia mesti belajar dari krisis chip yang terjadi pada saat ini. Beralihnya negara-negara dengan fokus manufaktur chip kualitas rendah ke kualitas tinggi seperti China bisa diambil alih oleh Indonesia untuk merebut pasar yang sudah ada dan membentuk portofolio inovasi yang baik. Indonesia mesti mulai memanfaatkan kesempatan membentuk know-how yang baru untuk menjadi keunggulan dibandingkan negara-negara lain yang juga berfokus pada pengembangan inovasi.
Untuk jangka panjang, Indonesia bisa mencontoh China dalam membentuk rencana inovasi yang berjalan sesuai dengan rencana. Hasil yang kita lihat saat ini merupakan dampak dari kebijakan 15 tahun inovasi dan teknologi 2005-2020 yang saat ini berlanjut dengan rencana 15 tahun hingga 2035. Indonesia yang sudah memiliki Rencana Induk Riset Nasional dapat mengalibrasikannya dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 agar proses integrasinya berjalan dengan baik di level kebijakan nasional. Pendekatan pada kebijakan industri juga perlu dilakukan untuk mendorong keterlibatan industri dalam pengembangan teknologi.
Bukit Algoritma memang tidak akan berakhir menjadi Silicon Valley. Apalagi Bukit Algoritma hanya salah satu dari beberapa fokus calon KEK Cikidang-Cibadak. Namun, gagasan ini perlu menjadi salah satu langkah dari rencana jangka panjang untuk menghidupkan ekosistem STI yang matang dan tidak berhenti menjadi pembangunan monumental menebeng istilah teknologi.