Alif Alauddin
Alif Alauddin

Alif merupakan Konsultan di KRA Group. Ia menyelesaikan pendidikan di Departemen Sosiologi UNS dan melanjutkan fellowship program di Utrecht University. Politik kawasan, nasional, dan kebijakan publik adalah fokusnya saat ini. Segala tulisan merupakan murni pandangan pribadi dan tidak merepresentasikan tempat penulis bekerja.

Profil Selengkapnya

Kudeta Myanmar dan Stabilitas Kawasan ASEAN

Opini - Alif Alauddin, CNBC Indonesia
09 April 2021 06:00
Soldiers walk towards anti-coup protesters during a demonstration in Yangon, Myanmar on Tuesday March 30, 2021. Thailand’s Prime Minister Prayuth Chan-ocha denied Tuesday that his country’s security forces have sent villagers back to Myanmar who fled from military airstrikes and said his government is ready to shelter anyone who is escaping fighting. (AP Photo) Foto: Salah satu sudut di Myanmar, beberapa waktu lalu (AP)

Sudah dua bulan sejak junta militer Myanmar melancarkan kudeta dan menangkap pimpinan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, serta beberapa petinggi lain dari tampuk kekuasaan nasional. Faktor pendorong terjadinya penggulingan kekuasaan tersebut berawal dari penolakan hasil pemilihan umum oleh militer atas dugaan kecurangan.

Hasil pemilu pada November 2020 lalu memperlihatkan Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangungan (USDP) yang disokong militer mendapat kekalahan telak lantaran hanya meraih 25 kursi dibandingkan dengan NLD yang berhasil merebut suara mayoritas, yakni 346 kursi. Selain itu, Liga Persatuan Kebangsaan untuk Demokrasi (UNLD), yang juga menjadi perpanjangan tangan militer, hanya memperoleh 15 kursi. Angka tersebut otomatis meletakan militer sebagai entitas minoritas dalam kancah politik nasional yang berkedudukan sebagai oposisi.

Tidak terima atas hasil tersebut, militer menuding ada kecurangan. Kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar dan para pengamat internasional yang terjun langsung menegaskan tudingan itu tidak benar, kudeta tetap saja terjadi. Tak hanya itu, kudeta juga diikuti oleh tindakan yang tidak berperikemanusiaan dari junta militer.

Jika dirunut ke belakang, sejatinya, perjalanan menegakkan asas demokrasi di Myanmar mengalami jatuh bangun sejak awal kemerdekaannya pada 1948. Kejadian pada Februari 2021 lalu tercatat sebagai kudeta kedua di negeri seribu pagoda itu. Sebelumnya, peristiwa serupa terjadi pada 1962.

Transisi kekuasaan dari pemerintahan junta militer yang ditandai dengan kemenangan sipil pada pemilu 2010 seyogianya mengundang angin segar proses demokratisasi di kawasan ASEAN, namun kandas satu dekade kemudian. Hal itu menandakan masih besarnya cengkraman pengaruh militer di ranah pemerintahan. Kegagalan transformasi menuju demokrasi model ini juga terjadi di Mesir yang menggulingkan Presiden Mohamed Morsi pada 2013 silam.

Postur dalam negeri Myanmar secara sosiologis mirip dengan Indonesia dalam hal kemajemukan etnis dan ras. Namun, konflik horizontal antara etnis minoritas dan pemerintah, turut mengguncang stabilitas politik domestik terutama di daerah perbatasan.

Hal itu didukung oleh posisi kelompok etnis minoritas yang juga bersifat paramiliter. Mereka memiliki hierarkis rekrutmen yang terstruktur dan ketahanan sekuritas berupa perlengkapan senjata. Seperti Karen National Liberation Army yang menduduki wilayah Tanintharyi yang berbatasan langsung dengan Thailand di selatan memiliki 15.000 tentara bersenjata. Mereka mengangkat senjata melawan pemerintah dengan tujuan menuntut perluasan otonomi daerah. Lanskap politik ini merupakan residu dari berkuasanya junta militer selama lebih dari enam dekade.

Kepentingan China dan Investasi Asing
Letak geografis Myanmar menarik negara-negara tetangga berinvestasi, tak terkecuali Indonesia. Lokasinya yang berbatasan langsung dengan India sebagai negara Asia Selatan, Cina di Asia Timur, dan secara politik tergabung dalam ASEAN merupakan keuntungan yang strategis.

Kementerian Investasi dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri Myanmar merilis, selama 2016 hingga Januari 2021, Singapura berada di urutan pertama negara yang paling besar nilai investasi, yakni 136 izin usaha dengan total US$ 11,3 miliar jumlah dana yang disuntikkan. Angka ini sama dengan 46% dari jumlah investasi asing lainnya.



China berada di urutan kedua dengan total investasi senilai US$ 3,5 miliar. Selain itu, Myanmar merupakan salah satu mitra strategis China dalam pengembangan proyek Belt and Road Initiative (BRI) di Asia, yaitu China-Myanmar Economic Corridor (CMEC) dengan pendanaan proyek infrstruktur berupa rel kereta.

Proyek itu akan menghubungkan Kota Kunming di Tiongkok dengan lima kota Myanmar, yaitu Muse, Mandalay, dan Naypyidaw yang merupakan ibu kota negara, Kyaukpyu, dan Yangon. Apabila proyek ini selesai, Kota Kyaukpyu direncanakan berfungsi sebagai zona spesial ekonomi baru dan akan dibangun pelabuhan yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Maka praktis, alur distribusi barang dari China ke Asia Selatan dan Afrika tidak perlu transit di Singapura dan melalui padatnya jalur Selat Melaka.

Tentu ketidakstabilan politik domestik Myanmar akan berpengaruh pada keberjalanan proyek strategis tersebut. Sebab, China lebih nyaman berniaga dengan pemerintahan sipil di bawah bendera partai NLD dibandingkan dengan junta militer. Oleh karena itu, selain demokrasi, aspek makro ekonomi merupakan yang paling terdampak akibat kudeta. Apalagi Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi Myanmar akan terkontraksi 10% selama 2021 dan ditambah krisis akibat Covid-19 yang tak berkesudahan.

Peran Indonesia Mewujudkan Stabilitas
Secara makro, ASEAN merupakan pasar terbesar ekonomi ketiga di kawasan Indo Pasifik dan kelima terbesar di dunia dengan kue GDP lebih dari US$ 2,8 triliun pada 2018. Nilai itu lebih besar dibanding Australia, India, Taiwan, dan Korea Selatan.

Sehingga keamanan regional berdampak besar pada stabilitas pasar. Apa yang hari ini terjadi di Myanmar secara geopolitik merupakan ancaman bagi pertumbuhan GDP dan neraca dagang di lingkup kawasan ASEAN.

Oleh karena itu, sejatinya ASEAN memiliki andil kuat untuk menekan aksi kudeta walaupun dalam Pasal 2 Ayat 2 Piagam ASEAN terkandung konsep non-interfensi. Hal inilah yang dilakukan oleh Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri selama Februari hingga akhir Maret.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, aktif menggalang dukungan negara sahabat dengan gelagat safari politik berupa kunjungan langsung, video conference, maupun melalui saluran telepon. Upaya diplomasi guna meredam kekerasan yang telah merenggut ratusan nyawa mulai nampak dengan digelarnya Rapat Menteri Luar Negeri ASEAN pada 2 Maret 2021. Namun pertemuan terbatas tersebut tidak membuahkan solusi.

Maka langkah cepat yang harus dilakukan ialah menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Darurat yang berfokus pada penyelesaian krisis di Myanmar. Indonesia sejatinya dipandang mampu memimpin upaya resolusi konflik atas sepak terjang terbarunya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 lalu. Sebelum menggelar KTT Darurat, Indonesia sebagai negara promotor harus berupaya maksimal meyakinkan negara anggota ASEAN yang masih abstain atas konflik di Myanmar.

Sejauh ini hanya negara rumpun Melayu yang bersepakat segera menggelar KTT Darurat. Sebagai salah satu deklarator ASEAN, inilah momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan performa diplomasi terbaik dengan melobi sesama anggota ASEAN yang belum bersikap yang notabene merupakan negara semenanjung Indochina. Dengan harapan stabilitas politik dan ekonomi kawasan ASEAN akan berangsur normal.

(miq/miq)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading