Merajut Asa Pertumbuhan Ekonomi & Rancangan APBN 2025

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) resmi digelar sejak Senin (8/5) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Ini gelaran yang wajib sukses karena Indonesia kembali menempati posisi Keketuaan ASEAN.
Bertahun meliput kegiatan ASEAN, sedikitnya saya paham ribetnya mengurus kegiatan yang umumnya digelar di kawasan Bali Tourism Development Corporation (BTDC) di Nusa Dua tersebut. Jadi, patut dipuji perjuangan Direktur Utama Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina tahun ini.
Namun, dalam tulisan ini saya akan lebih banyak bicara tentang drama penting KTT ASEAN yang sepertinya selalu kurang menarik bagi masyarakat Indonesia. Maklum saja, Asia Tenggara ini masih dianggap sebagai wilayah nomor dua.
Beda jika misalnya ASEAN mulai disangkutkan dengan kekuatan-kekuatan besar macam China, India, Eropa, Amerika, Rusia. Barulah, ASEAN terlihat seperti sosok yang jadi rebutan kekuatan-kekuatan tersebut.
Nah bicara KTT ke-42 ASEAN, maka kita harus bicara tentang krisis di Myanmar yang dipimpin Junta Militer membuat mereka diasingkan: Tidak diundang ke acara KTT ASEAN. Ini adalah teguran sangat keras untuk organisasi regional yang berusia 56 tahun itu.
Sangat keras karena ASEAN adalah organisasi regional yang punya aturan main sangat unik. sejak awal pembentukannya, ASEAN didirikan dengan prinsip non-intervensi. Prinsip yang secara jelas mengatur negara anggota untuk tidak ikut campur dalam kondisi domestik negara lainnya.
Turunan dari prinsip tersebut adalah Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) yang diteken di Kuala Lumpur pada 27 November 1971 dan traktat damai antar negara (TAC/Treaty of Amity and Cooperation) yang dirumuskan di Bali 24 Februari 1976.
Jika pun ada intervensi sangatlah halus dan disetujui negara yang bersangkutan. Contoh peran aktif Presiden Soeharto mendamaikan krisis Kamboja dan konflik Moro di Filipina kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Thailand Selatan, yang kemudian ditolak secara halus oleh Thailand.
Sikap ASEAN untuk tidak mengundang Myanmar jelas sesuatu yang menarik karena tidak terjadi secara tiba-tiba. Sepekan sebelum pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-55, awal Agustus tahun lalu. Pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing seperti meledek ASEAN memerintahkan eksekusi mati tahanan politik.
Kontan keputusan itu membuat komunitas ASEAN murka, pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-55 memutuskan mengasingkan utusan Myanmar sampai menunjukkan komitmen terhadap lima poin konsensus ASEAN untuk menuntaskan krisis.
Murka Jokowi
Sikap Myanmar yang kurang ajar itu bahkan membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan langsung menyampaikan kekesalannya terhadap Junta Militer ketika bertemu Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Tokyo, September tahun lalu.
Bukannya memperbaiki diri, Junta Myanmar justru cuek bebek. Walhasil, Malaysia pada November tahun lalu mengusulkan sanksi lebih keras yakni mengasingkan Myanmar dari seluruh gelaran yang diadakan ASEAN.
Murka Jokowi makin bertambah karena Indonesia mendapat giliran menempati posisi Keketuaan ASEAN. Di tengah proses penyerahan tongkat estafet dari Kamboja, junta militer Myanmar justru melakukan gempuran bertubi menyasar masyarakat sipil.
Bukan hanya Indonesia yang terganggu, tetangga Myanmar yakni Thailand pun terkena dampak langsung. Banyak pengungsi dari etnis Karen (mayoritas Kristen) mengungsi. Ini tak jauh beda ketika negara-negara tetangga Myanmar terpaksa dilimpahi pengungsi Rohingya (Mayoritas Muslim).
Jokowi jelas bete karena sejak awal berkuasa tahun 2014 dia mewarisi kebijakan Presiden SBY yang mendorong agar korporasi Merah Putih baik swasta maupun BUMN masuk ke Myanmar. Harapannya, pembangunan ekonomi membuat Myanmar lebih stabil.
Saya mencatat korporasi swasta yang menanam investasi adalah Lippo Group yang masuk ke bisnis Rumah Sakit. Melalui anak usaha di Singapura, OUE Lippo Healthcare Limited menggandeng Serge Pun & Associates (SPA) Group milik milik Pengusaha asal Myanmar Serge Pun mengembangkan Pun Hlaing Siloam Hospital di area Pun Hlaing Golf Estate,Yangon.
Chief Executive Officer Lippo Group James Riady bahkan datang langsung ke pembukaan RS berstandar internasional tersebut pada tahun 2015. James saat itu mengungkapkan optimistis dapat berekspansi lebih luas di bidang rumah sakit.
Bagaimana dengan BUMN? Lebih banyak. Menukil laporan Asean Investment Report 2013-2014 ada Semen Indonesia, Aneka Tambang, Wijaya Karya, dan Bukit Asam. Semen Indonesia mengakuisisi 70% saham perusahaan Vietnam, Thang Kong Cement sementara Bukit Asam berinvestasi pada proyek pembangkit listrik batu bara.
Masuknya investasi Lippo dan sejumlah BUMN dari Indonesia ke Myanmar jelas bukan hal yang bisa diabaikan Junta Militer Myanmar. Kenapa? Karena negara berjulukan Tanah Emas tersebut masuk dalam daftar hitam (black list) Amerika dan Eropa.
Serupa yang dialami Rusia, penerapan sanksi tersebut membuat pencarian pendanaan melalui pasar modal dan uang pun terkendala. Lebih repot lagi, bantuan dari lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) pun seret.
Pada tahap ini kita jadi memahami mengapa Jokowi sampai memerintahkan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi ke Yangon pada tahun 2017 untuk mendorong penyelesaian krisis kekerasan terhadap etnis Rohingya di wilayah Rakhine.
Sayangnya Myanmar yang sempat stabil justru kembali berulah sehingga bagi Jokowi yang sedang mempersiapkan diri lengser keprabon tahun depan tentu gundah dengan Myanmar menjadi beban regional. Apalagi saat ini situasinya di tengah perang pengaruh antara China, India dan Amerika Serikat di Asia Tenggara.