
Penulis adalah Business Data Analyst dan Business Trend Experts di Pertamina Energy Insitute
Profil SelengkapnyaMenuju Transisi Energi di Era Pandemi

Saat ini perusahaan migas dunia tengah berlomba melakukan transisi energi dengan caranya masing-masing. Perusahaan minyak nasional seperti Petronas, misalnya, telah melakukan integrasi atau membentuk entitas baru untuk menangani bisnis energi baru.
Perusahaan lain, seperti PTT Group, mencanangkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) berkisar 20-25 persen pada 2030. CNPC berencana mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 1 Mt per tahun. Dua perusahaan lain, yakni Gazprom dan Petrobras, masing-masing berencana mengurangi intensitas GRK sebesar 9 persen sampai dengan 2030 dan 32 persen sampai tahun 2025.
Di Indonesia, Pertamina telah memasukkan skenario energi hijau dalam strategi perusahaan, khususnya dalam hal panas bumi (geotermal), listrik, dan kendaraan listrik.
Berbicara tentang transisi energi, kita tidak dapat menafikan kaitannya dengan isu pemanasan global, yang terjadi akibat peningkatan GRK. Tahun 2016, di bawah koordinasi Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), telah disepakati Persetujuan Paris untuk Perubahan Iklim. Ini merupakan kesepakatan global yang bertujuan membatasi kenaikan temperatur global di bawah 20 C dan 1,50 C dibandingkan masa praindustri.
UNFCCC (2019) menyebutkan, untuk mencapai target pembatasan kenaikan suhu tersebut, negara-negara yang telah menyampaikan komitmennya perlu mengurangi emisi CO2 tahunan sebesar 2,7 persen untuk mencapai target 20 C dan 7,6 persen untuk mencapai target 1,50 C pada tahun 2020-2030.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), untuk mencapai target Persetujuan Paris tersebut, pada tahun 2040 penurunan emisi gas CO2 secara global minimal harus sebesar 52 persen jika dibandingkan tahun 2018. Saat ini sektor energi merupakan kontributor utama (berkisar 70-75 persen) pembentuk emisi CO2 dunia sehingga merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global.
Transisi di sektor energi amat diperlukan, berupa pengurangan penggunaan energi fosil dan beralih ke pemanfaatan energi yang bersifat rendah karbon, seperti energi baru dan terbarukan.
Selain pencanangan target penurunan emisi, aksi nyata usaha penurunan emisi juga telah dilakukan beberapa perusahaan dunia. Total, umpamanya, telah berinvestasi di industri solar PV sejak 2011 dan pada bisnis baterai pada 2016. Shell mengakuisisi 100 persen perusahaan baterai asal Jerman, Sonnen, yang memiliki teknologi kompetitif di bidang sistem distribusi penyimpanan energi pintar. BP telah menjual bisnis petrokimianya secara global senilai 5 miliar dollar AS dan telah masuk ke energi baru terbarukan sejak 2019.
Pandemi global
Pada awal 2020, kita semua dikejutkan oleh kehadiran pandemi global. Hal ini memberikan dampak yang buruk kepada dunia, termasuk kepada perusahaan energi. Perubahan besar yang terjadi maupun tren baru pada industri migas yang dipercepat akibat pandemi global, antara lain, tren elektrifikasi, tren energi terbarukan, digitalisasi, dan peningkatan permintaan produk kesehatan.
Pembatasan sosial yang dilakukan dalam menghadapi pandemi menurunkan mobilitas penduduk di banyak negara. Penduduk dipaksa untuk tinggal di rumah dan melakukan segala sesuatunya secara remote, seperti work from home. Tampaknya hal ini akan menjadi kebiasaan baru setelah pandemi berakhir.
Kebiasaan yang bersifat pengurangan mobilitas dan peningkatan penggunaan perangkat elektronik akan secara langsung mengurangi penggunaan BBM dan meningkatkan permintaan listrik. Setelah pandemi berakhir pun tampaknya masyarakat akan lebih memilih menggunakan alat transportasi personal, seperti mobil/motor pribadi, sepeda, berjalan kaki, atau transportasi sharing seperti skuter listrik.
McKinsey Company menyebutkan bahwa tren peningkatan penggunaan kendaraan listrik akan terus berlanjut pascakrisis pandemi. Paling tidak hal itu sudah dilakukan beberapa negara di Eropa dan China. Pemerintah memberikan insentif untuk pembelian kendaraan listrik sehingga penggunaan alat transportasi listrik akan mendominasi kota-kota besar.
Di Tanah Air, peluang bisnis untuk mendukung kendaraan listrik masih terkendala oleh harga jual kendaraan listrik yang cukup mahal. Namun, ke depan, dengan adanya keringanan pajak dan tarif impor, bukan tidak mungkin penetrasi kendaraan listrik akan semakin cepat.
Oleh karena itu, Pertamina sudah melakukan kajian pengembangan bisnis baterai menggunakan metode swap battery untuk kendaraan roda dua dan tiga dalam rangka merespons tren elektrifikasi transportasi di Indonesia. Hal ini menjadi indikasi keseriusan Pertamina dalam menjalankan transisi energi di Indonesia secara selektif.
Pandemi juga menyebabkan terjadi peningkatan kontribusi pasokan energi terbarukan. Penurunan permintaan minyak global sebesar 5 persen pada kuartal I-2020 akibat Covid-19 telah memukul harga minyak hingga jatuh ke titik 19 dollar AS/bbl (MM Brent) pada April 2020. Di saat permintaan terhadap minyak turun drastis, peningkatan terhadap energi terbarukan secara global justru meningkat 1,5 persen.
IEA menyebutkan bahwa energi terbarukan lebih tahan terhadap anjloknya permintaan listrik karena energi terbarukan memiliki biaya operasi yang lebih rendah dan mendapatkan prioritas/dukungan dari pemerintah di beberapa negara. Selain itu, di beberapa negara harga energi terbarukan juga diuntungkan akibat skema feed-in-tariff (FID) yang memberikan kepastian harga.
Dampak dari pandemi juga dirasakan pada bisnis petrokimia. Penggunaan alat proteksi diri (APD), seperti pelindung wajah, penyanitasi tangan, dan masker, telah menjadi kebiasaan baru bahkan kemungkinan akan terus berlanjut setelah pandemi berakhir.
Fenomena ini menyebabkan naiknya permintaan untuk produk petrokimia, seperti polipropilena, yang digunakan untuk pembuatan komponen filter pada masker N-95, ataupun produk petrokimia lain untuk produk alat kesehatan dan perlindungan diri.
Pilihan yang terbuka
Munculnya tantangan global seperti pandemi tampaknya semakin memperjelas bahwa akselerasi transisi energi di Indonesia menuju sektor yang lebih "tahan banting", seperti energi terbarukan, adalah suatu pilihan yang terbuka. Hal ini dengan mempertimbangkan keuntungan berupa ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, seperti panas bumi (geotermal), biofuel, tenaga surya, dan juga energi bayu.
Indonesia merupakan negara dengan cadangan panas bumi terbesar nomor 2 di dunia (27 gigawatt/GW). Peluang ini dimanfaatkan juga oleh perusahaan dari luar negeri yang sudah berinvestasi di sektor ini, antara lain GDF SUEZ dan Sumitomo Corporation (proyek PLTP Muara Laboh), KS Orka (Proyek PLTP Sorik Merapi), dan SAE Geothermal (Proyek PLTP Batu Raden 220 megawatt/MW).
Pertamina melalui anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energi (PGE), juga telah secara agresif mengembangkan energi panas bumi dalam rangka pengurangan emisi GRK. Pada tahun 2019 kapasitas terpasang PGE telah mencapai 672 MW (32 persen dari total kapasitas energi geotermal di Indonesia, 2.132 MW) dan Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dalam hal kapasitas terpasang energi geotermal nasional. Melalui rencana jangka panjangnya, PGE terus berupaya meningkatkan kapasitas geotermal terpasang hingga 1,1 GW pada tahun 2026.
Selain energi panas bumi, Pertamina juga berkomitmen untuk menyediakan energi bersih yang ramah lingkungan melalui pengembangan bisnis power berbasis gas dan energi baru terbarukan melalui anak perusahaan PT Pertamina Power Indonesia (PPI). PPI menargetkan pembangunan pembangkit listrik hingga mencapai 2,8 GW sampai dengan tahun 2024.
Untuk energi terbarukan, Pertamina juga telah mengimplementasikan pencampuran biodiesel (FAME) komposisi 30 persen (B30) ke dalam produk solar (biosolar).
Nyatalah bahwa saat ini perusahaan migas dan energi dunia, termasuk Pertamina, telah berbondong-bondong menjalankan transisi energi untuk penurunan GRK dan menyesuaikan bisnisnya. Kebijakan energi yang tegas dan konsisten dari pemerintah dalam memenuhi komitmen Persetujuan Paris sekaligus juga perlu diselaraskan untuk mendukung kelangsungan hidup perusahaan energi di masa depan.
Kebijakan pemerintah merupakan faktor kritikal bagi perusahaan energi nasional saat ini dalam menentukan strategi bisnis ke depan. Lebih jauh lagi, kolaborasi dan sinergi perusahaan-perusahaan energi pada sektor energi fosil dan terbarukan dapat menjadi solusi untuk bisa bertahan dan bersaing di masa depan dalam menopang perekonomian nasional.
(dob)