Bangun Industri PLTS untuk Turunkan Emisi Karbon

Antonny & Widhyawan, CNBC Indonesia
19 August 2021 19:31
Antonny & Widhyawan
Antonny & Widhyawan
Antonny Fayen Budiman saat ini menjabat sebagai Senior Expert I, Pertamina Energy Institute. Sementara Widhyawan Prawiraatmadja adalah Gubernur Indonesia untuk OPEC Tahun 2015-2016... Selengkapnya
Komitmen Transisi Energi, Pertamina Bidik Pemasangan PLTS 500 MW di Area Operasi Pertamina Group, yang Dapat Menurunkan Emisi Karbon 630 Ribu Ton/Tahun (Pertamina)
Foto: Komitmen Transisi Energi, Pertamina Bidik Pemasangan PLTS 500 MW di Area Operasi Pertamina Group, yang Dapat Menurunkan Emisi Karbon 630 Ribu Ton/Tahun (Pertamina )

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Negara-negara di dunia sedang menyiapkan diri untuk Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak/COP) Ke-26 pada November 2021 di Glasgow, Skotlandia. Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ini akan membahas janji-janji penurunan emisi serta mendorong setiap negara untuk membuat komitmen dan target yang lebih ambisius.

Konferensi juga akan membahas mekanisme negara maju dalam membantu pendanaan untuk upaya penurunan emisi di negara lain, pengembangan teknologi baru, subsidi, dan mekanisme perdagangan. Tak ketinggalan, konferensi juga sekaligus akan menyikapi maraknya bencana alam yang dipengaruhi peningkatan suhu global, seperti badai, cuaca ekstrem, banjir bandang, kekeringan, dan kebakaran hutan.

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris 2015 dan pada COP-21 mengumumkan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution), yaitu menurunkan emisi hingga tahun 2030 sebesar 29 persen atas usaha sendiri, atau 41 persen melalui bantuan internasional, terhadap level emisi dari skenario business as usual.

Ke depan, target penurunan emisi global akan semakin ketat. Program elektrifikasi sektor transportasi darat tentu kurang ambisius. Untuk mengurangi emisi lebih ambisius, upaya elektrifikasi menggunakan energi bersih harus diperluas ke semua sektor, termasuk industri, komersial, rumah tangga, dan pembangkit listrik.

Salah satu teknologi yang sesuai untuk kebutuhan elektrifikasi tersebut adalah solar photovoltaic (PV), lazim dikenal dengan sebutan panel surya. Teknologi jenis ini perlu ditangani serius mengingat potensi energi surya di Indonesia yang berlimpah, hingga 207,8 gigawatt peak (GWp), harga listrik rata-rata yang dihasilkannya secara global telah turun 85 persen selama satu dekade terakhir ke level 5,7 cents/kWh di tahun 2020 menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), dan keandalan baterai tenaga surya akan terus meningkat seiring dengan tren bisnis elektrifikasi secara global.

Namun, di Indonesia, persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimum sebesar 40 persen kerap disebut pelaku industri sebagai salah satu faktor penghambat tumbuhnya industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Hal itu disebabkan beberapa komponen vital masih harus diimpor, terutama dari China dan India.

Indonesia bisa belajar dari negara-negara di Asia Pasifik yang memiliki kapasitas PLTS tinggi, lebih dari 10 gigawatt. IRENA menunjukkan kapasitas terpasang PLTS Asia Pasifik mencapai 60 persen dari total PLTS dunia, dan China mendominasi sebesar 59,8 persen dari total PLTS Asia Pasifik.

Ist

Di China dan India, permintaan panel surya sangat besar karena levelized cost of electricity (LCOE) panel surya relatif kompetitif terhadap bahan bakar fosil yang murah, seperti batu bara dan gas. Penerapan skema feed-in tariff (FiT) berhasil menarik minat produsen untuk memenuhi permintaan panel surya dari proyek-proyek berskala besar (utility scale), komersial, dan industrial yang terkoneksi ke grid.

Namun, penurunan tarif FiT dan peralihan ke skema lelang, serta peningkatan intensitas persaingan antarprodusen, telah memaksa produsen untuk menurunkan biaya produksi dan tenaga kerja. Hal serupa terjadi di Australia, tetapi permintaan panel surya atap dari sektor rumah tangga yang lebih dominan mendorong produksi dan akhirnya merangsang permintaan dari sektor lainnya.

Ist


Di Jepang dan Korea Selatan, isu ketahanan energi menjadi faktor pendorong utama pemanfaatan teknologi panel surya meskipun harga listrik yang dihasilkan relatif masih mahal. Hal itu terutama disebabkan tingginya biaya tenaga kerja, biaya perizinan lingkungan, biaya tanah, keterbatasan lahan, dan bahan baku. Namun, biaya pendanaan yang murah agak membantu menurunkan biaya.

Di Vietnam, kapasitas PLTS bertambah secara eksponensial sejak 2019 ditengarai karena penerapan skema FiT yang berhasil menarik minat investor. FiT mendorong investasi dengan jaminan kontrak jangka panjang dan harga di atas pasar sehingga mengurangi risiko bagi produsen.

Setelah penawaran FiT pertama yang berakhir pada Juni 2019, pada April 2020 Pemerintah Vietnam kembali menyiapkan program FiT dengan tarif baru, yang lebih rendah 10-24 persen dari sebelumnya, yang berlaku secara nasional. Tarif dibedakan berdasarkan tipe, yaitu di atas tanah, terapung, dan atap rumah.

Ke depan, diperkirakan Vietnam tidak lagi menjadikan skema FiT sebagai pendorong utama investasi, dan akan beralih ke skema competitive tendering (CT). Namun, efek peralihan skema tersebut terhadap penurunan harga perlu waktu cukup lama karena proyek panel surya skala besar dalam skema FiT masih dalam proses pembangunan. Keberhasilan skema CT untuk menarik investasi akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk memberikan skema lelang yang jelas dan insentif-insentif yang relevan.

Pemanfaatan energi surya di Indonesia termasuk kategori terendah di Asia Pasifik dengan kapasitas panel surya terpasang tahun 2020 hanya 0,08 persen dari potensi. Saat ini relaksasi TKDN diharapkan bisa meningkatkan ketersediaan panel surya di tanah air guna mendorong permintaan sekaligus produksi nasional.

Namun, hal tersebut merupakan pertaruhan yang harus dibayar oleh semua pemangku kepentingan, dengan segera membangun industri panel surya nasional dari riset dan pengembangan, manufaktur, penjualan, distribusi, instalasi, konektivitas, perawatan, perdagangan listrik antarkonsumen, hingga daur ulang. Untuk itu, pemerintah dan pelaku industri perlu mempertimbangkan faktor-faktor kunci keberhasilan industrial sebagaimana dijalankan oleh China, India, Australia, atau Vietnam dari berbagai perspektif strategi, seperti learning and growth, operations, customer dan finance.

Upaya mewujudkan keberhasilan

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan tersebut. Pertama, memiliki sumber daya dari dalam sistem rantai pasok yang sifatnya bernilai, langka/unik, tak ada bandingannya, dan tidak tergantikan (Valuable, Rare, Inimitable, Non-substitutable/VRIN), antara lain dalam bentuk material, teknologi, sumber daya manusia, kompetensi inti, kekayaan intelektual, reputasi, dan ekuitas jenama (brand equity).

Sebagai contoh, industri PLTS China unik karena memiliki komponen yang dibutuhkan, lokasi material dekat dengan pabrik sehingga lead time hanya hitungan jam, biaya logistik sangat murah, biaya inventori material rendah, dan pabrik dapat terus beroperasi pada skala keekonomian tanpa kendala masalah material.

Kedua, mampu mengembangkan dan/atau akuisisi teknologi digital terbaru, seperti intelligent mobile devices, internet of things, mobile robot, dan automation, sehingga memperoleh efisiensi, fleksibilitas, kualitas yang lebih baik, dan mempercepat inovasi secara keseluruhan.

Ketiga, menguasai riset dan pengembangan teknologi dan material, manufaktur panel surya dan baterai, hingga daur ulang.

Keempat, memiliki lembaga independen yang bertugas memberi izin usaha operasi serta melakukan standardisasi dan sertifikasi produk panel surya dan baterai.

Kelima, menerapkan strategi kombinasi antara ramping, gesit, mampu beradaptasi, selaras, dan terintegrasi agar badan usaha memiliki keunggulan bersaing dalam mengelola rantai pasok.

Keenam, mencapai skala keekonomian untuk kapasitas produksi sehingga bisa menekan biaya per unit produk. Negara lain yang sudah menikmati biaya PLTS rendah adalah yang telah membangun PLTS berskala besar (utility scale) sehingga mendapatkan penawaran yang sangat menarik untuk pembangunannya. Selain itu, skala keekonomian bisa terbantu oleh tingginya permintaan panel surya atap.

Ketujuh, memiliki struktur biaya bersaing karena teknologi proses manufaktur yang produktif, biaya tenaga kerja yang kompetitif, biaya pinjaman murah, dan rantai pasok bersifat VRIN.

Kedelapan, integrasi bisnis secara vertikal dari produksi, distribusi, instalasi, monitoring, hingga pemberian solusi sehingga berpeluang menghasilkan value propositions lebih banyak bagi konsumen, serta bisa mengendalikan risiko yang ada di sepanjang rantai pasok.

Kesembilan, memiliki sistem pendanaan yang kuat, yang bersumber dari pemerintah dan investor dalam dan luar negeri.

Kesepuluh, mampu mengomunikasikan proposisi nilai, kekuatan jenama (brand), serta akses saluran distribusi yang dimiliki badan usaha kepada konsumen di berbagai sektor.

Secara keseluruhan, energi surya yang berlimpah di Indonesia akan bisa dimanfaatkan dengan optimal untuk menurunkan emisi secara nyata di berbagai sektor kegiatan ekonomi apabila Kementerian Perindustrian bersama semua pemangku kepentingan berhasil membangun kemandirian industri panel surya di tanah air. Di sini, dukungan Kementerian Perindustrian sangat vital, antara lain dalam bentuk perumusan peta jalan, strategi, program, serta regulasi dan kebijakan, baik fiskal maupun nonfiskal.

Selain itu, pemerintah sudah selayaknya memberikan insentif bagi energi terbarukan. Hal ini sejalan dengan pemenuhan komitmen Indonesia pada Perjanjian Paris yang telah menjadi undang-undang di Indonesia (UU Nomor 16 Tahun 2016). Yang terpenting, eksekusi atas komitmen merupakan kunci untuk mewujudkannya.


(dob/dob)

Tags

Related Opinion
Recommendation