Kepercayaan Terhadap Pemilu dan Permasalahan Teknologinya

Pandu Sastrowardoyo, CNBC Indonesia
10 November 2020 13:06
Pandu Sastrowardoyo
Pandu Sastrowardoyo
CEO DeBio Network, NFT Curator Unique One Network, CoFounder Asosiasi Blockchain Indonesia. Mantan pegawai IBM dengan posisi sebagai Country Product Leader, Manajer Teknis APAC, Manajer Bisnis ASEAN, dan Territory General Manager, Pandu membawa pengalaman .. Selengkapnya
A man rollerblades past a polling location along the boardwalk during midterm elections in Newport Beach, California, U.S. November 6, 2018.   REUTERS/Mike Blake
Foto: Pemilu AS (REUTERS/Mike Blake)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Media menyatakan Joe Biden sebagai presiden, tanggal 6 November lalu. Sang petahana, Presiden Trump, berang dan menuduh partai lawannya telah curang secara masif, terstruktur, dan terorganisir. Beliau akan menuntut ke Mahkamah Agung dengan setumpuk bukti yang dikumpulkan dari laporan-laporan yang datang dari seluruh Amerika. Kasus-kasus pengadilan yang dibawa olehnya kini memenuhi pengadilan sipil di banyak negara bagian.

Lucunya, tahun 2019, hal yang sangat mirip terjadi pula di Indonesia. Kita semua ingat kasus pengadilan yang dibawa ke pengadilan tertinggi oleh salah satu calon presiden, tuduhan-tuduhan yang sempat menjadi gaung selama berbulan-bulan.

Tentunya ini bukan kolom politik, dan saya tidak akan memberikan opini mengenai benar atau tidaknya tuduhan-tuduhan masing-masing calon presiden di dua negara yang kebetulan mirip ini. Dalam peran saya sebagai salah satu konsultan teknologi Blockchain pertama di Indonesia, saya hanya ingin membahas: Apa yang salah dengan sistem pemilu sekarang, sehingga tuduhan-tuduhan tersebut bisa selalu menjadi momok? Selanjutnya, sistem apa yang dapat menjadi alternatif? Mengapa sebuah negara adidaya seperti Amerika Serikat masih mengalami kasus-kasus kecurangan pemilu atau voter fraud?

Analisis: Pemilu dan Permasalahan Kepercayaan

Pemilu di era modern ini mengalami problematika yang sama dengan banyak industri lainnya, yaitu permasalahan sentralisasi kepercayaan. Sistem komputer perhitungan suara dimiliki dan dikelola oleh tiap-tiap negara atau negara bagian, sehingga mereka yang menuduh terjadinya kecurangan dapat menuding sistem-sistem ini.

Pertanyaan yang acap kali muncul: Siapa yang memprogram perangkat lunak sistem tabulasi suara ini? Siapa yang menjaga perangkat kerasnya? Apakah ada peretas atau hacker yang bisa mengubah suara? Apakah ada orang dalam yang mengganti suara kandidat saya?

13 Negara Bagian Penentu Pemenang Pemilu ASFoto: Ilustrasi



Dalam kasus ini, Indonesia sebenarnya lebih "beruntung" ketimbang Amerika, justru karena perhitungan suara negara kita ini masih manual. Selain manual, perhitungan suara kita melingkupi semua elemen masyarakat, secara publik dan musyawarah. Rakyat menghitung bersama di tiap RT dan RW, diakhiri dengan tepuk tangan untuk tiap surat suara. Perhitungan dilakukan di ruang terbuka, dan seluruh warga bisa ikut mengawasi dan berpartisipasi. Hasil rekapitulasi suara dirangkum dalam dokumen kertas berupa Formulir C1 yang ditandatangani perwakilan partai. Kopi dari tiap Formulir C1 tersebut dapat dilihat oleh keseluruhan warga secara jelas dan transparan.

Kadang sistem perhitungan manual seperti ini dianggap "ketinggalan jaman", karena tidak mempergunakan teknologi digital dari awal proses. Beberapa tahun lalu sempat ada desas-desus electronic voting, dengan anggapan bahwa bantuan teknologi akan membantu tabulasi suara agar lebih cepat dan akurat, bahkan lebih terpercaya. Tiap-tiap warga bisa memilih kandidat yang didukung dengan bantuan mesin pemilu, dengan bantuan antarmuka layar sentuh yang bersahabat, sehingga tidak perlu lagi tabulasi yang berkepanjangan. Dengan sistem ini, pemilu Indonesia yang memiliki 192 juta pemilih dapat selesai dihitung dalam satu hari.

Menurut saya, jangan dulu. Digitalisasi surat suara dari tahap awal pemilihan justru akan memperkuat ketidakpercayaan pihak-pihak yang dikalahkan dalam pemilu. Sebuah pemilihan yang dilakukan secara digital dari tahap memilih hingga tahap perhitungan nasional akan menjadi problematis karena vektor serangan (attack vector) menjadi lebih luas dan pertanyaan mengenai penjagaan data (data custodianship) akan lebih sulit dijawab.

Di Amerika Serikat, banyak aspek perhitungan suara sudah terdigitalisasi. Negara Serikat ini memiliki sistem pemilu yang berbeda-beda untuk tiap negara bagian, namun semua negara bagian sudah menggantikan konsep manual dengan konsep digital.

Sistem pemilu elektronik di Amerika terdiri dari tipe-tipe berikut: Sistem optik (optical scan counting), sistem langsung-rekam (direct recording counting), sistem online (email/fax voting), serta sistem perhitungan suara khusus untuk surat suara yang dikirimkan lewat pos (mail-in & absentee ballots).

Sistem langsung-rekam merupakan sistem yang pemilu melalui layar komputer, tanpa surat suara. Sistem optik dan sistem perhitungan surat suara pos keduanya mempergunakan optical scanning untuk membaca surat suara, mengkonfirmasi identitas pemilih, dan mencatat suara. Sistem online biasanya hanya diperuntukkan untuk pemilih dengan disabilitas atau pemilih jarak jauh, dan hanya di beberapa negara bagian.

Di semua sistem ini, permasalahan acap kali terjadi. Tahun 2017, di Pennsylvania, kesalahan pemrograman pada sistem pemilu langsung-rekam yang digunakan mengakibatkan ribuan suara ganda. Tahun 2010, pada masa percobaan sistem pemilu online di Washington, D.C, sekelompok periset komputer berhasil meretasnya dalam waktu kurang dari 48 jam. Di tahun 2020 ini, dilaporkan sebuah kesalahan pemrograman di sistem hitung optik milik Antrim County, Michigan, yang menyebabkan ribuan suara partai Republikan dihitung sebagai suara partai Demokrat..

Semua permasalahan ini tentunya mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem elektoral. Bahkan di Indonesia, di mana digitalisasi suara hanya dilakukan pada tahap rekapitulasi daerah dan nasional, tuduhan bias dalam perhitungan KPU masih dikumandangkan oleh sebagian kandidat.

Bayangkan situasi di Amerika Serikat, dengan sang petahana Donald Trump kini dianggap kalah oleh perhitungan digital di negara-negara bagian yang sebagian besar dikuasai partai Demokrat. Amerika adalah negara Serikat, dan sistem pemilu ditentukan oleh tiap negara bagian, bukan secara Federal. Tentunya kecurigaan dan pertanyaan muncul dari pendukung Pak Trump, bahkan hingga sampai ke meja hijau.

Terlepas dari siapa yang benar, dunia butuh sistem pemilu yang lebih baik. Digitalisasi boleh dilakukan untuk mempercepat perhitungan, tapi digitalisasi harus diiringi oleh desain sistem yang fokus utamanya adalah kepercayaan dan keamanan.

Solusi Blockchain untuk Pemilu

Desentralisasi teknologi pemilu merupakan kunci untuk menghindari kesalahpahaman, kecurangan, hingga perselisihan mengenai data perolehan suara.

Dengan teknologi seperti Blockchain, database yang dipergunakan untuk mencatat hasil pemilu dijaga oleh sebuah konsorsium elektronik. Konsorsium tersebut dapat beranggotakan setiap partai, badan pemerintah terlibat, serta komisi-komisi pengawas pemilu dari pemerintah maupun swasta.

Setiap anggota konsorsium dapat memiliki sebuah "node" atau server Blockchain sendiri. Bila ada pihak yang mencoba mengubah perolehan suara di salah satu server, maka semua server yang lain akan mengoreksi perolehan suaranya dan memperbaikinya.

Apakah berarti semua sistem perhitungan suara harus diubah? Mungkin tidak semua. Blockchain dapat membantu mengawasi mesin perhitungan suara yang sudah ada (existing), dengan cara menambahkan node Blockchain sebagai sistem audit suara yang berjalan paralel dengan database yang sekarang ada. Semua partai dalam pemilu dapat membuka sistem audit Blockchain tersebut dan mengkonfirmasi bahwa tidak ada pengubahan data.

Saran saya: Jangan buru-buru mengimplementasikan electronic voting di Indonesia. Lebih baik, pergunakanlah dahulu sebuah sistem Blockchain untuk mengamankan tabulasi suara. Kemudian, bila nantinya Indonesia akan mengimplementasi electronic voting, jangan lupa untuk menjaganya dengan sebuah Blockchain yang server-servernya dimiliki bersama.

Dengan desain terdesentralisasi, melalui kepemilikan bersama dari data, software, dan hardware, maka kepercayaan masyarakat kepada pemilu di era digital ini dapat dikembalikan.

Masa depan demokrasi ada di sistem perhitungan suara digital yang adil. Agar perhitungan tersebut dapat dipercaya semua pihak, maka Blockchain harus menjadi elemen kuncinya.


(dru)

Tags

Related Opinion
Recommendation