Diversifikasi Sumber Senjata Versus Potensi Risiko Teknis dan Keuangan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Jadi begini, ada enam hakim dari 21 negara anggota Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal for the Law of the Sea/ITLOS) akan berakhir masa tugasnya tahun ini.
Dengan begitu, terbuka peluang bagi negara-negara penandatangan Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS (United Nations Convention on The Law of the Sea) 1982 untuk menempatkan wakilnya di sana. Tak terkecuali Indonesia.
UNCLOS adalah hasil dari konferensi PBB mengenai hukum laut yang berlangsung sejak 1973 sampai 1982. Sementara Mahkamah Hukum Laut Internasional adalah lembaga peradilan internasional yang didirikan seiring dengan berlakunya UNCLOS. Statuta ITLOS juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari UNCLOS.
Dalam ketentuan Pasal 20-22 Konvensi Hukum Laut, disebutkan bahwa ITLOS terbuka bagi negara pihak konvensi atau negara lain yang mengakui jurisdiksi ITLOS. Adapun jurisdiksi ITLOS juga meliputi segala macam perselisihan yang berkaitan dengan interpretasi atau penerapan dari Konvensi Hukum Laut.
Nah, Indonesia sebenarnya dahulu pernah mencalonkan salah seorang diplomat senior untuk berlaga memperebutkan posisi terhormat itu di ITLOS.
Namun, sang kandidat, Arif Havas Oegroseno, yang mencalonkan diri untuk periode 2017-2026 gagal mendapatkan dukungan dari pemilih yang terdiri dari negara-negara pihak UNCLOS.
Ia dikalahkan oleh kandidat lain asal Thailand, Kriangsak Kittichaisaree.
Arif yang saat pencalonan menjabat Deputi Kedaulatan Maritim pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman kini ditempatkan di Jerman sebagai duta besar. Tak jelas apakah posisi ini merupakan obat pelipur lara atas kekalahan dalam pemilihan bagi yang bersangkutan atau hal lainnya.
Posisi hakim ITLOS pada dasarnya terbuka untuk mereka yang memenuhi syarat setiap 3 tahun sekali.
Kuota yang disiapkan setiap putaran sebanyak sepertiga (7 kursi) dari 21 hakim anggota mahkamah.
Menurut aturan ITLOS, panel hakim dipilih untuk masa kerja selama 9 tahun. Agar bisa bekerja penuh selama kurun waktu itu, mereka harus mampu memenangkan pemilihan setiap tahun tadi. Dalam pemilihan hakim mahkamah yang diikuti oleh Arif kala itu, ada seorang kandidat yang merupakan hakim incumbent, yaitu Josep Akl.
Hakim asal Libanon itu terpilih sejak panel hakim ITLOS terbentuk pada 1996. Kariernya bertahan hingga 2017 karena ia mampu mencalonkan dan dicalonkan kembali oleh negara-negara pihak UNCLOS manakala waktu maksimal 9 tahun berakhir.
Hakim-hakim ITLOS memang dapat dipilih kembali setelah itu. Sependek pengetahuan penulis, tidak ada batasan hingga berapa kali seorang hakim dapat dipilih. Kiprah Joseph di lembaga yang bermarkas di kota Hamburg, Jerman, itu baru berakhir setelah suaranya disapu Kriangsak dalam pemilihan.
Hakim-hakim ITLOS berasal dari representasi sistem-sistem hukum (legal system) utama yang ada di dunia dan keterwakilan regional.
Perwakilan negara-negara dalam panel hakim Mahkamah Hukum Laut mengacu kepada zonasi yang disusun oleh Majelis Umum PBB yang terdiri dari Afrika, Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia, Eropa Barat dan negeri-negeri lainnya.
Setiap kawasan yang terwakili di ITLOS hanya bisa menempatkan seorang hakim saja. Hakim-hakim ITLOS tidak boleh berasal dari satu negara yang sama.
Asas keterwakilan itu betul-betul diperhatikan saat menyidang perkara. Misalnya, jika majelis hakim yang menyidang sebuah perkara tidak ada yang berasal dari negara penggugat, maka akan disediakan hakim ad hoc yang bisa dipilih negara penggugat untuk membantu mereka memperjuangkan maksud dan tujuannya berperkara di ITLOS.
Adapun perkara yang diadili majelis hakim bermacam-macam jenisnya. Mulai dari sengketa perbatasan maritim (maritime delimitation), perikanan hingga penahanan kapal.
Pihak-pihak yang bersengketa bermacam-macam pula. Negara pihak UNCLOS (state party) sudah pasti salah satunya. Tetapi, pihak selain state party -negara atau lembaga internasional yang bukan penandatangan atau para pihak UNCLOS 1982- diberi kesempatan yang setara untuk memanfaatkan layanan Mahkamah Hukum Laut.
Tidak ketinggalan, korporasi pelat merah dan entitas privat pun beroleh hak yang sama.
Syaratnya gampang: para pihak yang bersengketa sepakat menerima yurisdiksi ITLOS untuk kasus yang dipersengketakan.
![]() Militer AS di Laut Cina Selatan (Tangkapan layar twitter @USPacificFleet) |
Laut China Selatan
Lalu, pertanyaannya, dihadapkan dengan kesempatan mengisi posisi hakim Mahkamah Hukum Laut Internasional yang terbuka lebar, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia sebagai state party UNCLOS 1982?
Jawabnya jelas harus dimanfaatkan, jangan dikasih kendor ini barang.
Sekarang mari kita menakar peluang Indonesia dalam mengkapitalisasi opportunity yang ada.
Pertama, dari sisi geografis. Takaran peluang Indonesia jelas kuat. Kita merupakan negara kepulauan terbesar dunia.
Kita juga dikaruniai keistimewaan berada di antara dua dari lima samudra dunia, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra India.
Kondisi ini bisa dijadikan modal bargaining kita dengan negara-negara pemilik suara saat pencalonan kandidat hakim. Tinggal bagaimana membangun narasi yang bernas agar modal geografis yang kita miliki tersebut bisa bermanfaat bagi negara yang juga setipe dengan Indonesia khususnya dan negara lain yang menitipkan pilihannya kepada kita umumnya.
Kedua, dari sisi sumberdaya manusia. Yang dimaksud sumberdaya manusia di sini adalah mereka yang ahli dalam Hukum Laut internasional (bisa birokrat, masyarakat umum maupun akademisi).
Takarannya lumayan juga. Artinya, Indonesia memiliki stok ahli ilmu yang bersangkutan cukup banyak, di antaranya Etty R. Agus, Hikmahanto Juwana dan lain-lain. Reputasi mereka juga sudah dikenal luas oleh khalayak dalam maupun di luar negeri sehingga relatif lebih mudah mensosialisasikannya kepada para pemilih.
Tinggal apakah mereka mau dicalonkan atau tidak. Ini sudah menyentuh aspek political will pemerintah. Bukan semata-mata urusan pribadi bakal calon.
Efek positifnya keterlibatan RI di ITLOS, bila Indonesia menominasikan kandidatnya dan menang pemilihan hakim, negara pantai (littoral state) Laut China Selatan akan bertambah jumlah.
Selama ini hanya China negara pantai Laut China Selatan yang duduk di ITLOS. Sementara empat negara Asia lainnya bukan negara pantai Laut China Selatan.
Selain itu, kehadiran Indonesia akan bisa mengimbangi sepak terjang hakim asal China bila mahkamah menyidang masalah Laut China Selatan.
Nah, berkenankah pemerintah mengulang kembali candidacy anak negeri untuk posisi hakim di ITLOS setelah gagal dengan pencalonan Arif Havas Oegroseno pada 2017?
Bisa saja saat tulisan ini diselesaikan sedang berlangsung operasi senyap pencalonan hakim Mahkamah Hukum Laut asal Indonesia. Bila benar, patut diapresiasi.
Jika tidak ada gerakan sama sekali, tulisan ini mengimbau pemerintah untuk bersegera menggelar penjaringan bakal calon hakim ITLOS.
Proses ini perlu digelar terbuka karena pencalonan sebelumnya berlangsung cukup tertutup; publik dalam negeri tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia mencalonkan salah satu putra terbaiknya berlaga dalam ajang pemilihan hakim Mahkamah Hukum Laut.
Memang nominasi Arif Havas sempat muncul dalam pemberitaan media lokal tetapi tidak semasif liputan pencalonan Indonesia menjadi anggota Council Organisasi Maritim Internasional atau IMO (International Maritime Organization).
Indonesia harus mulai mewujudkan komitmennya untuk memajukan diplomasi maritim sebagai salah satu pilar Poros Maritim Dunia. Pencalonan anak negeri ini sebagai hakim ITLOS dapat membuktikan bahwa visi itu masih bernyawa, bukan hanya retorika belaka.