
Setop Heboh Mafia Migas, Ini Kunci Kebut Bangun Kilang RI!
Ahmad Syarif, CNBC Indonesia
12 January 2020 15:36

Mitra dalam hal teknis dan suplai minyak mentah
Dalam tujuh tahun terakhir kita melihat Abu Dhabi National Oil Company, Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation berinvestasi di proyek kilang/petrokimia di Asia. Alasan politik bagi negara Timur Tengah dan pengekspor minyak mentah adalah invetasi itu untuk mengamankan ekspor minyak mentah di pasar domestik atau regional tempat mereka berinvestasi. Alasan politik itu juga diterima oleh negara seperti India, China, Vietnam dan Malaysia yang sadar bahwa mereka memerlukan asupan minyak mentah untuk menjalankan kilang. Alasan lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan teknis, harus diakui perusahaan seperti Aramco memiliki pengalaman teknis dalam mengelola kilang dan juga petrokimia.
Sementara produksi minyak mentah Indonesia terus merosot, tentu saja minyak mentah bisa dibeli dipasar global dengan mudah. Tetapi ditengah ketidakpastian global dan ongkos logistik yang tinggi suplai minyak mentah yang berkelanjutan menjadi faktor penting di industri kilang yang bermarjin tipis. Lebih lagi kilang minyak Pertamina berkali-kali mengalami unplanned shutdown yang merugikan perusahaan milliaran rupiah. Bagi Pertamina, mencari mitra untuk mengurangi resiko teknis dan menjaga suplai minyak mentah dengan harga yang ekonomis adalah pilihan strategis. Mendapat mitra yang ideal bisa membuat bisnis kilang Pertamina lebih menarik buat investor, dan mengurangi resiko keuangan.
Singapura adalah contoh yang ideal dalam memanfaatkan mitra untuk menyuplai minyak dan rekanan teknis. Tiga kilang di Singapura sebagian besar minyak mentah dipasok atau impornya dimediasi oleh mitra mereka. Kilang Jurong dikelola oleh ExxonMobil memproduksi 592.000bpd, sementara kilang Pulau Bukom yang bekerjasama dengan Shell memproduksi 458.000bpd, dan Singapore Refining Corporation juga di Jurong dengan kapasitas 285.000bpd bekerjasama dengan Chevron dan PetroChina.
Narasi politik yang produktif untuk Pertamina
Tidak ada satupun BUMN Migas atau National Oil Company (NOC) yang tidak dipolitisasi atau terbebas dari skandal korupsi. Petrobas, Petronas bahkan Aramco memiliki sejarah skandal, dan sampai hari ini masih berkubang dengan politik negaranya masing-masing. Tetapi, setiap negara itu mengedepankan narasi politik mengenai transparansi administratif dan efisiensi produksi untuk mereformasi NOC mereka, sementara di Indonesia narasi politik untuk Pertamina adalah berantas mafia migas!
Sebagai badan usaha milik negara Pertamina memiliki dua fungsi, pelayanan publik dan fungsi komersial. Memang betul Pertamina acap kali dikritik baik oleh publik atau pemerintah, tetapi akar permasalahannya setidaknya ada pada dua hal yaitu transparansi administratif dan pengembangan kemampuan teknis. Transparansi administratif sangatlah penting bukan hanya untuk menghindari korupsi tetapi juga membuat Pertamina lebih independen, karena ketika publik bisa mengakses informasi perusahaan maka Pertamina lebih leluasa menghindar dari kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Kemampuan teknis adalah hal lain yang perlu diperbaiki oleh Pertamina, kita harus mengakui bahwa kilang kita belum dikelola dengan standard internasional, contohnya kilang Pertamina berkali-kali mengalami unplanned shutdown yang merugikan perusahaan, ini adalah masalah teknis yang kompleks dan belum tentu atau sama sekali tidak melibatkan mafia migas.
Narasi mafia migas setidaknya menimbulkan dua efek negatif bagi Pertamina, pertama ini akan menimbulkan kekhawatiran dikalangan pegawai Pertamina yang merasa perlu ada waktu tambahan untuk perhitungan ekonomi yang lebih dalam untuk membangun kilang, mereka takut dituduh sebagai antek mafia migas. Kedua, investor melihat narasi mafia migas sebagai masalah yang sulit diselesaikan, sementara masalah yang lebih lebih tehnis diacuhkan, ini bakal mengurangi tingkat kepercayaan investor untuk bekerjasama dengan Pertamina.
Banyak masalah didalam Pertamina yang bukan disebabkan oleh mafia migas, dan mafia migas bisa diselesaikan atau setidaknya menjadi lebih jelas dengan transparansi administratif dan pengembangan kapasitas teknis untuk mendukung efisiensi produksi.
Masa Depan Kilang Indonesia
Memang betul bahwa proyek kilang adalah proyek strategis nasional tetapi walaupun itu proyek strategis faktor ekonomi tidak bisa diacuhkan karena kalau hitungan ekonomis terlalu jauh atau bahkan merugikan negara, maka proyek itu bakal menjadi beban nasional dimasa depan. Sampai hari ini, belum ada kesepakatan mengenai nilai ekonomi atau berapa besar subsidi yang harus ditanggung Pertamina dan negara untuk proyek kilang RDMP.
Tentu saja Indonesia harus membangun kilang sendiri, dan artikel ini menyepakati itu. Dan hitungan ekonomi dan strategi malah membantu Pertamina untuk menemukan skema yang ideal, misalnya dari lima rencana pengembangan kilang mana yang harus dikedepankan dan yang paling mungkin dilakukan secara ekonomi. Sehingga proyek kilang RDMP menjadi lebih ekonomis dan bukan beban Pertamina dimasa depan. (ahs/gus)
Dalam tujuh tahun terakhir kita melihat Abu Dhabi National Oil Company, Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation berinvestasi di proyek kilang/petrokimia di Asia. Alasan politik bagi negara Timur Tengah dan pengekspor minyak mentah adalah invetasi itu untuk mengamankan ekspor minyak mentah di pasar domestik atau regional tempat mereka berinvestasi. Alasan politik itu juga diterima oleh negara seperti India, China, Vietnam dan Malaysia yang sadar bahwa mereka memerlukan asupan minyak mentah untuk menjalankan kilang. Alasan lain yang tidak kalah penting adalah kemampuan teknis, harus diakui perusahaan seperti Aramco memiliki pengalaman teknis dalam mengelola kilang dan juga petrokimia.
Sementara produksi minyak mentah Indonesia terus merosot, tentu saja minyak mentah bisa dibeli dipasar global dengan mudah. Tetapi ditengah ketidakpastian global dan ongkos logistik yang tinggi suplai minyak mentah yang berkelanjutan menjadi faktor penting di industri kilang yang bermarjin tipis. Lebih lagi kilang minyak Pertamina berkali-kali mengalami unplanned shutdown yang merugikan perusahaan milliaran rupiah. Bagi Pertamina, mencari mitra untuk mengurangi resiko teknis dan menjaga suplai minyak mentah dengan harga yang ekonomis adalah pilihan strategis. Mendapat mitra yang ideal bisa membuat bisnis kilang Pertamina lebih menarik buat investor, dan mengurangi resiko keuangan.
Singapura adalah contoh yang ideal dalam memanfaatkan mitra untuk menyuplai minyak dan rekanan teknis. Tiga kilang di Singapura sebagian besar minyak mentah dipasok atau impornya dimediasi oleh mitra mereka. Kilang Jurong dikelola oleh ExxonMobil memproduksi 592.000bpd, sementara kilang Pulau Bukom yang bekerjasama dengan Shell memproduksi 458.000bpd, dan Singapore Refining Corporation juga di Jurong dengan kapasitas 285.000bpd bekerjasama dengan Chevron dan PetroChina.
Narasi politik yang produktif untuk Pertamina
Tidak ada satupun BUMN Migas atau National Oil Company (NOC) yang tidak dipolitisasi atau terbebas dari skandal korupsi. Petrobas, Petronas bahkan Aramco memiliki sejarah skandal, dan sampai hari ini masih berkubang dengan politik negaranya masing-masing. Tetapi, setiap negara itu mengedepankan narasi politik mengenai transparansi administratif dan efisiensi produksi untuk mereformasi NOC mereka, sementara di Indonesia narasi politik untuk Pertamina adalah berantas mafia migas!
Sebagai badan usaha milik negara Pertamina memiliki dua fungsi, pelayanan publik dan fungsi komersial. Memang betul Pertamina acap kali dikritik baik oleh publik atau pemerintah, tetapi akar permasalahannya setidaknya ada pada dua hal yaitu transparansi administratif dan pengembangan kemampuan teknis. Transparansi administratif sangatlah penting bukan hanya untuk menghindari korupsi tetapi juga membuat Pertamina lebih independen, karena ketika publik bisa mengakses informasi perusahaan maka Pertamina lebih leluasa menghindar dari kepentingan politik atau kelompok tertentu.
Kemampuan teknis adalah hal lain yang perlu diperbaiki oleh Pertamina, kita harus mengakui bahwa kilang kita belum dikelola dengan standard internasional, contohnya kilang Pertamina berkali-kali mengalami unplanned shutdown yang merugikan perusahaan, ini adalah masalah teknis yang kompleks dan belum tentu atau sama sekali tidak melibatkan mafia migas.
Narasi mafia migas setidaknya menimbulkan dua efek negatif bagi Pertamina, pertama ini akan menimbulkan kekhawatiran dikalangan pegawai Pertamina yang merasa perlu ada waktu tambahan untuk perhitungan ekonomi yang lebih dalam untuk membangun kilang, mereka takut dituduh sebagai antek mafia migas. Kedua, investor melihat narasi mafia migas sebagai masalah yang sulit diselesaikan, sementara masalah yang lebih lebih tehnis diacuhkan, ini bakal mengurangi tingkat kepercayaan investor untuk bekerjasama dengan Pertamina.
Banyak masalah didalam Pertamina yang bukan disebabkan oleh mafia migas, dan mafia migas bisa diselesaikan atau setidaknya menjadi lebih jelas dengan transparansi administratif dan pengembangan kapasitas teknis untuk mendukung efisiensi produksi.
Masa Depan Kilang Indonesia
Memang betul bahwa proyek kilang adalah proyek strategis nasional tetapi walaupun itu proyek strategis faktor ekonomi tidak bisa diacuhkan karena kalau hitungan ekonomis terlalu jauh atau bahkan merugikan negara, maka proyek itu bakal menjadi beban nasional dimasa depan. Sampai hari ini, belum ada kesepakatan mengenai nilai ekonomi atau berapa besar subsidi yang harus ditanggung Pertamina dan negara untuk proyek kilang RDMP.
Tentu saja Indonesia harus membangun kilang sendiri, dan artikel ini menyepakati itu. Dan hitungan ekonomi dan strategi malah membantu Pertamina untuk menemukan skema yang ideal, misalnya dari lima rencana pengembangan kilang mana yang harus dikedepankan dan yang paling mungkin dilakukan secara ekonomi. Sehingga proyek kilang RDMP menjadi lebih ekonomis dan bukan beban Pertamina dimasa depan. (ahs/gus)
Pages
Most Popular