The Genius Trump, Semesta Mendukung Jadi Presiden AS Lagi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 December 2019 16:17
2020, Tangan Dingin Trump Masih Dibutuhkan?
Foto: Donald Trump menjadi Thanos (Screenshot Twitter @TrumpWarRoom)

Di tahun 2020, tangan dingin Trump bagi perekonomian dan pasar saham AS jelas masih dibutuhkan. Pada awal November 2020 nanti, pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Trump merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.

Ada beberapa hal yang melandasi pemikiran bahwa 'tangan dingin' Trump masih diperlukan bagi perekonomian dan pasar saham AS. Pertama, guna menuntaskan kesepakatan dagang secara penuh dengan China.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kesepakatan dagang yang rencananya akan diformalisasi oleh kedua negara pada awal tahun depan hanyalah merupakan kesepakatan dagang tahap satu.

Bayangkan kalau sampai bukan Trump yang memenangkan pemilihan presiden. Dari kacamata China, tentu ada dorongan bagi mereka untuk kembali merombak kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah diteken dengan Trump. Apalagi, calon-calon presiden dari Partai Demokrat sejauh ini memang bisa dibilang ‘lembek’ terhadap China jika dibandingkan dengan Trump.

Untuk diketahui, di dalam kesepakatan dagang tahap satu, pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam belum dibahas secara mendetail.

Arah kesepakatan dagang tahap dua dan seterusnya sangat mungkin menjadi tidak jelas jika AS berganti ‘nahkoda’ di tengah jalan.

Kedua, Trump dibutuhkan untuk memitigasi tekanan terhadap perekonomian global yang bisa datang dari Brexit. Pada tanggal 12 Desember kemarin, Inggris mengadakan pemilihan umum.

Melansir BBC, Partai Konservatif memenangi 365 kursi di parlemen atau 47 kursi lebih banyak dari yang berhasil mereka raih pada gelaran pemilihan umum tahun 2017. Sebagai informasi, sebuah partai biasanya memerlukan lebih dari 320 kursi di Parlemen guna meloloskan rancangan undang-undang.

Dengan kemenangan tersebut, Boris Johnson yang juga merupakan pemimpin Partai Konservatif otomatis mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri Inggris.

Kini, kemenangan besar Johnson dan Partai Konservatif terlihat sudah membuahkan hasil. Beberapa waktu yang lalu, Parlemen Inggris menyetujui kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson.

Melansir CNBC International, para anggota parlemen di Inggris telah menyetujui inti dari kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson lolos dengan suara 358 berbanding 234.

Pada awal tahun depan, kesepakatan Brexit tersebut akan dirundingkan oleh kedua kamar yang membentuk parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords).

Memang, dengan dikuasainya mayoritas kursi Parlemen oleh Partai Konservatif, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) diharapkan bisa berjalan dengan mulus. Seperti diketahui, sebelumnya proposal Brexit selalu kandas di Parlemen.

Namun, ada satu hal yang patut diwaspadai terkait dengan kesepakatan Brexit yang sudah disetujui oleh Parlemen Inggris beberapa waktu yang lalu. Di dalam kesepakatan Brexit tersebut, Johnson memblokir kemungkinan diperpanjangnya negosiasi terkait dengan kesepakatan dagang dengan Uni Eropa yang dijadwalkan berakhir pada akhir tahun 2020.

Untuk diketahui, walaupun Inggris dijadwalkan untuk meninggalkan Uni Eropa pada akhir Januari 2020, akan ada masa transisi hingga akhir tahun 2020. Dalam masa transisi tersebut, Negeri Ratu Elizabeth akan mendiskusikan kesepakatan dagang dengan Uni Eropa. Kalau sampai tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya no-deal Brexit alias perpisahan Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan akan tetap terjadi.

Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Trump bisa memitigasi dampak dari no-deal Brexit dengan kebijakan pro-pertumbuhan. Kebijakan pro-pertumbuhan dari Trump menjadi semakin krusial jika mengingat fakta bahwa The Fed kemungkinan besar sudah selesai memangkas tingkat suku bunga acuan.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 26 Desember 2019, probabilitas bahwa federal funds rate akan berada di posisi saat ini (1,5%-1,75%) per akhir 2020 berada di level 48,4%. Sementara itu, probabilitas federal funds rate berada di rentang 1,25%-1,5% pada akhir tahun depan (mengimplikasikan pemangkasan sebesar 25 bps dari posisi saat ini) berada di level 36,1%.

Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan seperti layaknya pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang dieksekusi Trump pada tahun 2017 guna membuat perekonomian dan pasar saham AS tetap bertenaga.

Pada akhir bulan lalu, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa Trump berencana meluncurkan kebijakan yang disebut “Tax Cut 2.0.” melalui ‘Tax Cut 2.0’, Trump berencana untuk memangkas pajak individu bagi masyarakat AS berpenghasilan menengah.

Trump tampak ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang menyebut bahwa pemangkasan pajak di tahun 2017 lebih menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.

Kritik tersebut sejatinya memang berdasar. Berdasarkan perhitungan dari Tax Policy Center, masyarakat AS yang berpenghasilan kurang dari sekitar US$ 25.000 hanya mendapatkan pemotongan pajak penghasilan sekitar US$ 40 secara rata-rata.

Sementara masyarakat dengan penghasilan US$ 48.000 hingga US$ 86.000 bisa menghemat sekitar US$ 800. Untuk masyarakat berpenghasilan US$ 733.000 ke atas, pemotongan pajak yang dinikmati adalah sekitar US$ 33.000.

“Kami ingin melihat pembayar pajak dengan tingkat penghasilan menengah mendapatkan tingkat pajak yang serendah mungkin,” kata Kudlow, seperti dilansir dari CNBC International.

Untuk diketahui, saat ini tingkat pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah di AS adalah sebesar 22%. Wacananya, tingkat pajak tersebut akan dipangkas menjadi 15% saja.

Ketiga, yang membuat kemenangan Trump begitu dibutuhkan di tahun 2020 adalah fakta bahwa mungkin hanya dirinya yang bisa ‘menjinakkan’ Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Seperti yang diketahui, selama ini Korea Utara seringkali membuat resah masyarakat dunia seiring dengan berbagai tes senjata nuklir yang dilakukannya. Hal ini juga terjadi di era pemerintahan Trump.

Namun, sejauh ini Trump terlihat lebih bisa mendekati Kim ketimbang pendahulunya, Barack Obama. Pada bulan Juni lalu, Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang bisa menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.

Sebelumnya pada tahun 2018, Trump juga menorehkan sejarah sebagai presiden AS pertama yang bisa menggelar pertemuan tatap muka dengan pemimpin Korea Utara. Kala itu, pertemuan Trump dan Kim berlangsung di Singapura. Di awal tahun 2019, keduanya kembali bertemu di Vietnam, sebelum kemudian pertemuan terakhir digelar di Korea Utara.

Kalau dipikir-pikir, risiko yang paling berbahaya bagi perekonomian dan pasar keuangan dunia adalah serangan nuklir dari Korea Utara. Maklum, nuklir merupakan senjata yang sangat mematikan. Lebih lanjut, efek radiasi dari senjata nuklir bisa bertahan hingga bertahun-tahun pasca serangan diluncurkan.

Jelas bahwa dunia membutuhkan sosok yang bisa mencegah terjadinya serangan nuklir dari Korea Utara dan saat ini, Trump merupakan sosok yang paling cocok untuk hal tersebut.

Merangkum opini ini, penulis berpendapat bahwa terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkannya, tak bisa dipungkiri bahwa Trump merupakan sosok yang jenius, jenius dalam mengelola perekonomian yang pada akhirnya membuat pasar saham AS, berikut pasar saham dunia, terus berdansa di zona hijau.

Di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (2017-2019, hingga penutupan perdagangan hari Kamis), IHSG sudah melejit sebesar 19,31%.

Memasuki tahun 2020, jelas tangan dinginnya masih diperlukan guna menjaga perekonomian dunia tetap berada di level pertumbuhan yang relatif tinggi.

“I would give myself an A+,” - Donald Trump, when reviewing his presidency on “Fox and Friends.”

(ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular