
The Genius Trump, Semesta Mendukung Jadi Presiden AS Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2019 akan segera berakhir. Dekade baru akan segera dimulai.
Di tahun ini, panasnya perang dagang AS-China, kisruh perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit), sampai masalah geopolitik seperti Hong Kong mewarnai perdagangan di pasar keuangan dunia.
Dinamika global ini juga turut berpengaruh pada Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pun ikut melambat.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan. Di kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan.
Angka pertumbuhan ekonomi tersebut berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Di mana pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan. Sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05%.
Capaian tersebut jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018. Kala itu perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh sesuai dengan outlook yang dipatok pemerintah di level 5,2%. Bahkan, hampir pasti bahwa pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih rendah dari capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.
Walaupun ada banyak sentimen negatif baik dari dalam maupun luar negeri, ternyata pasar keuangan Indonesia masih bisa membukukan kinerja yang ciamik. Terhitung di sepanjang tahun 2019, hingga penutupan perdagangan hari Kamis (26/12/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia membukukan apresiasi.
IHSG naik sebesar 2,02% sementara imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 85,5 basis poin (bps). Rupiah pun turut terapresiasi 2,96% di pasar spot melawan dolar AS.
Maklum saja jika kinerja pasar keuangan tanah air positif pada tahun ini di tengah-tengah terpaan sentimen negatif. Pasalnya, bursa saham AS alias Wall Street yang merupakan kiblat pasar keuangan dunia membukukan kinerja yang sangat-sangat baik.
Terhitung di sepanjang tahun 2019, tiga indeks saham acuan di AS membukukan apresiasi yang begitu besar. Di sepanjang tahun ini, indeks Dow Jones melejit hingga 22,69%, indeks S&P 500 melesat 29,24%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 35,98%.
Untuk diketahui, dari ketiga indeks saham acuan di AS yang disebutkan di atas, indeks S&P 500 merupakan yang paling baik dalam merepresentasikan kinerja bursa saham AS. Kurang dari 1% lagi, maka indeks S&P 500 akan membukukan kinerja tahunan terbaik sejak tahun 1997 silam.
Lalu mengapa ini terjadi?
Sosok Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah tokoh kunci di balik kinerja Wall Street yang begitu memukau. Percaya atau tidak, ini ditegaskan Bespoke Investment Group sebagaimana dilansir CNBC International.
Mengutip data lembaga itu, secara rata-rata di tahun ketiga presiden kontroversial itu berkuasa, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 12,8%. Data yang digunakan oleh Bespoke Investment Group sendiri sejak tahun 1928.
Lantas, imbal hasil indeks S&P 500 yang sudah mencapai 29,24% hingga penutupan perdagangan kemarin menempatkan Trump di posisi yang sangat superior, jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.
Jangankan di tahun ketiga, di tahun pertama pun Trump sudah jauh meninggalkan presiden-presiden AS lainnya, jika berbicara mengenai kinerja pasar saham.
Di tahun pertamanya sebagai presiden AS (2017), indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 19,42%. Padahal, secara rata-rata di tahun pertama presiden, indeks S&P 500 hanya naik tipis 5,7%.
Memang, di tahun kedua Trump (2018) indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 6,24%, lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata di tahun kedua presiden yakni apresiasi sebesar 4,5%. Namun, dengan melihat kinerja di tahun pertama dan ketiga yang begitu superior dibandingkan para pendahulunya, jelas Trump terbilang lebih 'ramah' bagi pasar saham AS.
Jika dibandingkan dengan Presiden Barack Obama misalnya, superioritas Trump jelas sangat terlihat. Di tiga tahun pertama periode satu pemerintahan Obama (2009-2011), indeks S&P 500 membukukan apresiasi sebesar 39,23%.
Sementara itu, di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (hingga penutupan perdagangan kemarin), indeks S&P 500 sudah melejit hingga 44,71%.
Sejatinya, perbedaan antara apresiasi indeks S&P 500 di era Obama dan Trump tak jauh-jauh amat. Namun, harus diingat bahwa apresiasi indeks S&P 500 yang nyaris mencapai 45% tersebut dicapai oleh Trump kala The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tengah agresif melakukan normalisasi tingkat suku bunga acuan.
Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya.
Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang dan akan terefleksikan di pasar saham (pasar saham menguat).
Namun, di era pemerintahan Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan Trump. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya The Fed berperan besar dalam mendongkrak kinerja Wall Street di tiga tahun pertama pemerintahan Obama (periode satu).
Lebih lanjut, 'gagahnya' Trump jika disandingkan dengan Obama semakin jelas terlihat ketika kita melihat fakta bahwa indeks S&P 500 sudah ambruk hingga 38,49% pada tahun 2008. Kala itu, krisis keuangan global yang pada awalnya bermuara di AS melanda sehingga pasar saham dunia menjadi bulan-bulanan pelaku pasar.
Hal ini lantas menciptakan yang namanya low-base effect. Sebenarnya akan lebih mudah bagi indeks S&P 500 untuk mencetak kinerja yang oke di era Obama lantaran ada yang namanya low-base effect tersebut. Tetapi faktanya, Trump tetap bisa mengalahkan Obama. Sekali lagi di tengah-tengah normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh The Fed.
Bisa dikatakan, Trump merupakan sosok yang jenius. Tahu betul bahwa The Fed sedang tak berada di pihaknya, Trump meluncurkan kebijakan fiskal dengan agresivitas yang jauh melampaui Obama.
Di akhir tahun 2017, Presiden Trump resmi memangkas tingkat pajak, baik untuk orang pribadi maupun korporasi. Tingkat pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 21% dalam undang-undang yang dinamakan 2017 Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).
Hasilnya, perusahaan beramai-ramai membagikan bonus kepada karyawannya. Ini pada akhirnya mendongkrak konsumsi serta mendorong laju perekonomian secara umum. I
ngat, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Sehingga kebijakan yang berdampak positif bagi konsumsi rumah tangga akan mendorong laju perekonomian secara umum dengan signifikan.
Sementara itu, tingkat pajak perorangan dipangkas sesuai dengan besaran pendapatan mereka setiap tahunnya. Analisis dari Tax Policy Center menunjukkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di AS menghemat sekitar US$ 1.300 dalam pembayaran pajak individu pada tahun 2018, jika dibandingkan dengan yang harus mereka bayarkan di bawah undang-undang sebelumnya (sebelum 2017 TCJA disahkan).
![]() |
Sebagai catatan, angka pertumbuhan ekonomi yang digunakan untuk periode 2019 menggunakan angka proyeksi dari International Monetary Fund (IMF).
Pada tahun 2018, merespons suntikan insentif fiskal oleh Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,927%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di dekade ini.
Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan perekonomian AS tumbuh di level 2,35%. Jika berkaca kepada sejarah, pertumbuhan ekonomi di level 2,35% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.
Ingat, laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang di era Trump dicapainya tanpa ‘bantuan’ dari The Fed.
Lebih lanjut, selain karena laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang, kinclongnya kinerja Wall Street di era Trump juga didukung oleh perang dagang yang dimulainya dengan China.
Sekedar mengingatkan, perang dagang AS dengan China pada awalnya dipicu oleh kekesalan Trump terhadap besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China. Kemudian, komplain AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam semakin mengeskalasi perang dagang antar keduanya.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China. Sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Memang, sejauh ini perang dagang dengan China telah secara signifikan menekan perekonomian AS. Kalau tak ada perang dagang dengan China, kemungkinan besar IMF tak akan menaruh proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi AS di level 2,35% untuk tahun 2019, melainkan lebih tinggi lagi.
Namun begitu, pelaku pasar saham AS memandang positif dinamika perang dagang AS dengan China. Pasalnya, sebenarnya bukan hanya AS, tapi negara-negara Uni Eropa yang merupakan sekutu dari AS pun setuju bahwa praktek-praktek ekonomi yang dilakukan oleh China selama ini merugikan mereka.
Tetapi, sejauh ini hanya AS yang berani mengambil langkah tegas terhadap China. Kini, langkah tegas yang awalnya sempat membuat pelaku pasar saham AS was-was tersebut, mulai terlihat berbuah manis.
Belum lama ini, AS dan China mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu.
Dengan adanya kesepakatan dagang tahap satu tersebut, Trump membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada tanggal 15 Desember. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini mencapai US$ 160 miliar.
Tak sampai di situ, Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu. Di sisi lain, China membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk balasan yang disiapkan guna membalas bea masuk dari AS pada tanggal 15 Desember.
Masih sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu, China akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan. Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Lebih lanjut, kesepakatan dagang tahap satu AS-China juga mengatur mengenai komplain dari AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam.
Sebagai catatan, hingga kini teks kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China belum ditandatangani. Menurut Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu tersebut pada pekan pertama Januari 2020.
Jika kesepakatan dagang tahap satu dengan China benar diteken nantinya, laju perekonomian AS di tahun-tahun mendatang bisa terus dipertahankan di level yang relatif tinggi. Simpelnya, perang dagang dengan China (jika pada akhirnya bisa diselesaikan) dipandang sebagai ‘mengorbankan’ perekonomian dalam jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan yang besar di masa depan.
Bahkan, bukan hanya AS yang diuntungkan oleh sikap tegas Trump dalam usahanya mentransformasi kebijakan China di bidang ekonomi. Melansir Bloomberg, beberapa hari yang lalu China mengumumkan bahwa pihaknya akan menurunkan bea masuk bagi sebanyak 859 jenis produk impor mulai awal tahun depan.
Kementerian Keuangan China menyebut bahwa pihaknya akan menerapkan bea masuk sementara yang lebih rendah dari bea masuk yang dikenakan terhadap barang-barang dari most-favored-nation (MFN).
Daging babi beku, alpukat beku, hingga beberapa jenis semikonduktor termasuk ke dalam daftar produk yang bea masuknya akan dikurangi oleh Beijing.
Sebagaimana dilansir dari Reuters, bea masuk terhadap daging babi beku akan dipangkas menjadi 8%, dari tarif MFN yang sebesar 12%, sedangkan bea masuk terhadap alpukat beku akan dikurangi menjadi 7%, dari tarif MFN sebesar 30%.
Pada tahun 2018, nilai dari 859 jenis produk impor tersebut adalah sekitar US$ 389 miliar atau sekitar 18% dari total impor China kala itu yang senilai US$ 2,14 triliun.
Pengurangan bea masuk ini bisa dinikmati oleh negara-negara yang menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Sementara itu, bagi negara-negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China, bea masuknya bisa menjadi lebih rendah lagi.
DilansirdariBloomberg, negara-negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China meliputi Selandia Baru, Peru, Kosta Rika, Swiss, Islandia, Singapura, Australia, Korea Selatan, Georgia, Chile, dan Pakistan.
Di tahun 2020, tangan dingin Trump bagi perekonomian dan pasar saham AS jelas masih dibutuhkan. Pada awal November 2020 nanti, pemilihan presiden AS untuk periode 2021-2024 akan digelar. Trump merupakan satu-satunya calon dari Partai Republik yang nantinya tentu akan bersaing dengan calon dari Partai Demokrat.
Ada beberapa hal yang melandasi pemikiran bahwa 'tangan dingin' Trump masih diperlukan bagi perekonomian dan pasar saham AS. Pertama, guna menuntaskan kesepakatan dagang secara penuh dengan China.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kesepakatan dagang yang rencananya akan diformalisasi oleh kedua negara pada awal tahun depan hanyalah merupakan kesepakatan dagang tahap satu.
Bayangkan kalau sampai bukan Trump yang memenangkan pemilihan presiden. Dari kacamata China, tentu ada dorongan bagi mereka untuk kembali merombak kesepakatan dagang yang sebelumnya sudah diteken dengan Trump. Apalagi, calon-calon presiden dari Partai Demokrat sejauh ini memang bisa dibilang ‘lembek’ terhadap China jika dibandingkan dengan Trump.
Untuk diketahui, di dalam kesepakatan dagang tahap satu, pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam belum dibahas secara mendetail.
Arah kesepakatan dagang tahap dua dan seterusnya sangat mungkin menjadi tidak jelas jika AS berganti ‘nahkoda’ di tengah jalan.
Kedua, Trump dibutuhkan untuk memitigasi tekanan terhadap perekonomian global yang bisa datang dari Brexit. Pada tanggal 12 Desember kemarin, Inggris mengadakan pemilihan umum.
Melansir BBC, Partai Konservatif memenangi 365 kursi di parlemen atau 47 kursi lebih banyak dari yang berhasil mereka raih pada gelaran pemilihan umum tahun 2017. Sebagai informasi, sebuah partai biasanya memerlukan lebih dari 320 kursi di Parlemen guna meloloskan rancangan undang-undang.
Dengan kemenangan tersebut, Boris Johnson yang juga merupakan pemimpin Partai Konservatif otomatis mempertahankan posisinya sebagai perdana menteri Inggris.
Kini, kemenangan besar Johnson dan Partai Konservatif terlihat sudah membuahkan hasil. Beberapa waktu yang lalu, Parlemen Inggris menyetujui kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson.
Melansir CNBC International, para anggota parlemen di Inggris telah menyetujui inti dari kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson. Kesepakatan Brexit yang diajukan oleh Johnson lolos dengan suara 358 berbanding 234.
Pada awal tahun depan, kesepakatan Brexit tersebut akan dirundingkan oleh kedua kamar yang membentuk parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords).
Memang, dengan dikuasainya mayoritas kursi Parlemen oleh Partai Konservatif, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) diharapkan bisa berjalan dengan mulus. Seperti diketahui, sebelumnya proposal Brexit selalu kandas di Parlemen.
Namun, ada satu hal yang patut diwaspadai terkait dengan kesepakatan Brexit yang sudah disetujui oleh Parlemen Inggris beberapa waktu yang lalu. Di dalam kesepakatan Brexit tersebut, Johnson memblokir kemungkinan diperpanjangnya negosiasi terkait dengan kesepakatan dagang dengan Uni Eropa yang dijadwalkan berakhir pada akhir tahun 2020.
Untuk diketahui, walaupun Inggris dijadwalkan untuk meninggalkan Uni Eropa pada akhir Januari 2020, akan ada masa transisi hingga akhir tahun 2020. Dalam masa transisi tersebut, Negeri Ratu Elizabeth akan mendiskusikan kesepakatan dagang dengan Uni Eropa. Kalau sampai tak bisa mencapai kata sepakat, maka yang namanya no-deal Brexit alias perpisahan Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan akan tetap terjadi.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa no-deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. Melansir Investopedia, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar keenam di dunia, tentu potensi jatuhnya Inggris ke jurang resesi akan menjadi sentimen negatif yang secara signifikan menekan laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Trump bisa memitigasi dampak dari no-deal Brexit dengan kebijakan pro-pertumbuhan. Kebijakan pro-pertumbuhan dari Trump menjadi semakin krusial jika mengingat fakta bahwa The Fed kemungkinan besar sudah selesai memangkas tingkat suku bunga acuan.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 26 Desember 2019, probabilitas bahwa federal funds rate akan berada di posisi saat ini (1,5%-1,75%) per akhir 2020 berada di level 48,4%. Sementara itu, probabilitas federal funds rate berada di rentang 1,25%-1,5% pada akhir tahun depan (mengimplikasikan pemangkasan sebesar 25 bps dari posisi saat ini) berada di level 36,1%.
Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan seperti layaknya pemangkasan tingkat pajak korporasi dan individu yang dieksekusi Trump pada tahun 2017 guna membuat perekonomian dan pasar saham AS tetap bertenaga.
Pada akhir bulan lalu, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa Trump berencana meluncurkan kebijakan yang disebut “Tax Cut 2.0.” melalui ‘Tax Cut 2.0’, Trump berencana untuk memangkas pajak individu bagi masyarakat AS berpenghasilan menengah.
Trump tampak ingin menjawab kritik dari berbagai pihak yang menyebut bahwa pemangkasan pajak di tahun 2017 lebih menguntungkan bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Kritik tersebut sejatinya memang berdasar. Berdasarkan perhitungan dari Tax Policy Center, masyarakat AS yang berpenghasilan kurang dari sekitar US$ 25.000 hanya mendapatkan pemotongan pajak penghasilan sekitar US$ 40 secara rata-rata.
Sementara masyarakat dengan penghasilan US$ 48.000 hingga US$ 86.000 bisa menghemat sekitar US$ 800. Untuk masyarakat berpenghasilan US$ 733.000 ke atas, pemotongan pajak yang dinikmati adalah sekitar US$ 33.000.
“Kami ingin melihat pembayar pajak dengan tingkat penghasilan menengah mendapatkan tingkat pajak yang serendah mungkin,” kata Kudlow, seperti dilansir dari CNBC International.
Untuk diketahui, saat ini tingkat pajak penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan menengah di AS adalah sebesar 22%. Wacananya, tingkat pajak tersebut akan dipangkas menjadi 15% saja.
Ketiga, yang membuat kemenangan Trump begitu dibutuhkan di tahun 2020 adalah fakta bahwa mungkin hanya dirinya yang bisa ‘menjinakkan’ Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Seperti yang diketahui, selama ini Korea Utara seringkali membuat resah masyarakat dunia seiring dengan berbagai tes senjata nuklir yang dilakukannya. Hal ini juga terjadi di era pemerintahan Trump.
Namun, sejauh ini Trump terlihat lebih bisa mendekati Kim ketimbang pendahulunya, Barack Obama. Pada bulan Juni lalu, Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang bisa menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.
Sebelumnya pada tahun 2018, Trump juga menorehkan sejarah sebagai presiden AS pertama yang bisa menggelar pertemuan tatap muka dengan pemimpin Korea Utara. Kala itu, pertemuan Trump dan Kim berlangsung di Singapura. Di awal tahun 2019, keduanya kembali bertemu di Vietnam, sebelum kemudian pertemuan terakhir digelar di Korea Utara.
Kalau dipikir-pikir, risiko yang paling berbahaya bagi perekonomian dan pasar keuangan dunia adalah serangan nuklir dari Korea Utara. Maklum, nuklir merupakan senjata yang sangat mematikan. Lebih lanjut, efek radiasi dari senjata nuklir bisa bertahan hingga bertahun-tahun pasca serangan diluncurkan.
Jelas bahwa dunia membutuhkan sosok yang bisa mencegah terjadinya serangan nuklir dari Korea Utara dan saat ini, Trump merupakan sosok yang paling cocok untuk hal tersebut.
Merangkum opini ini, penulis berpendapat bahwa terlepas dari berbagai kontroversi yang ditimbulkannya, tak bisa dipungkiri bahwa Trump merupakan sosok yang jenius, jenius dalam mengelola perekonomian yang pada akhirnya membuat pasar saham AS, berikut pasar saham dunia, terus berdansa di zona hijau.
Di tiga tahun pertama pemerintahan Trump (2017-2019, hingga penutupan perdagangan hari Kamis), IHSG sudah melejit sebesar 19,31%.
Memasuki tahun 2020, jelas tangan dinginnya masih diperlukan guna menjaga perekonomian dunia tetap berada di level pertumbuhan yang relatif tinggi.
“I would give myself an A ,” - Donald Trump, when reviewing his presidency on “Fox and Friends.”
(ank) Next Article Kemenangan Donald Trump & Makna Cuitan Elon Musk 'Novus Ordo Seclorum'
