Pasrah Kenaikan UMP 2026, Pengusaha Ingatkan Tekanan Bisnis Lagi Berat

Martya Rizky, CNBC Indonesia
Senin, 29/12/2025 16:50 WIB
Foto: Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani menilai penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 perlu dicermati secara hati-hati, terutama dampaknya terhadap industri padat karya yang hingga kini masih berada dalam tekanan berat. 


Shinta menegaskan, dunia usaha memahami penetapan UMP merupakan kewenangan pemerintah dan pengusaha tidak memiliki pilihan selain mengikuti aturan yang berlaku. Namun, menurutnya, kemampuan penyesuaian upah di tiap daerah dan kondisi sektor usaha perlu menjadi perhatian serius.


"Kami memahami bahwa keputusan penetapan Upah Minimum Tahun 2026 merupakan kewenangan pemerintah dan kini seluruh pemerintah daerah telah menetapkannya. Dunia usaha tentu tidak memiliki pilihan selain mengikuti regulasi dan ketentuan yang berlaku," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, Senin (29/12/2025).



"Pada saat yang sama, kita juga perlu mencermati bagaimana kemampuan penyesuaian upah di tiap daerah dan potensi dampaknya terhadap sektor-sektor yang saat ini masih berada dalam tekanan berat, terutama industri padat karya yang menjadi penopang utama penciptaan lapangan kerja formal di Indonesia," sambungnya.


Secara nasional, Shinta memaparkan, penetapan upah minimum 2026 di 38 provinsi mencatat rata-rata kenaikan sekitar 5,72%. Sejumlah daerah dengan konsentrasi industri padat karya bahkan mengalami kenaikan cukup tinggi, seperti Jawa Tengah 7,28%, Banten 6,74%, Jawa Timur 6,11%, dan Jawa Barat 5,77%.


"Sektor industri padat karya yang banyak berlokasi di wilayah tersebut masih menghadapi tekanan biaya dan juga berbagai tantangan domestik dan global," ucap dia.


Ia merinci, berdasarkan data kuartal III-2025, sejumlah subsektor industri masih tumbuh di bawah rata-rata nasional, bahkan mengalami kontraksi. Industri tekstil dan pakaian jadi hanya tumbuh 0,93% secara tahunan (yoy), alas kaki terkontraksi -0,25% yoy, pengolahan tembakau -0,93% yoy, furnitur -4,34% yoy, serta karet dan plastik -3,2% yoy. Sektor otomotif pun mengalami kontraksi hingga -10% yoy per Oktober 2025.


"Kondisi ini menggambarkan terbatasnya ruang penyesuaian usaha di sektor-sektor tersebut di tengah berbagai tekanan yang masih berlangsung. Dengan ruang ekspansi yang semakin sempit, setiap tambahan beban biaya perlu dicermati secara hati-hati agar tidak mendorong langkah efisiensi yang berujung pada penyesuaian tenaga kerja," jelasnya.


Apindo berharap pemerintah dapat memberikan pembinaan dan dukungan bagi perusahaan yang menghadapi keterbatasan kemampuan, termasuk melalui kebijakan insentif dan fasilitasi, guna mencegah efisiensi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).


"Kebijakannya tidak boleh berhenti di soal upah minimum saja. Dalam konteks tersebut, kebijakan pengupahan perlu ditempatkan dalam strategi ekonomi yang lebih menyeluruh dan komprehensif," tegas Shinta.


Ia menambahkan, upah minimum memang berfungsi sebagai jaring pengaman dasar bagi pekerja. Namun, kesejahteraan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika jumlah pekerjaan formal meningkat dan produktivitas tenaga kerja terus naik. Karena itu, penguatan struktur dan skala upah berbasis kompetensi dan kinerja dinilai penting agar pekerja memiliki jalur peningkatan kesejahteraan yang bertahap, sementara perusahaan tetap memiliki ruang tumbuh dan menjaga daya saing.


Selain itu, peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui program upskilling dan reskilling berbasis kebutuhan industri juga dinilai krusial.


"Kenaikan upah yang berkelanjutan hanya mungkin terjadi apabila dibarengi peningkatan produktivitas. Pekerja yang kompetensinya meningkat akan memiliki mobilitas karir lebih baik serta kemampuan earning yang lebih tinggi, sekaligus memperkuat daya saing perusahaan dalam jangka panjang," paparnya.


Shinta juga menyoroti pentingnya upaya menekan biaya hidup pekerja. Menurutnya, investasi pemerintah pada infrastruktur pendukung seperti transportasi publik yang efisien, hunian terjangkau di dekat kawasan industri, serta layanan kesehatan dan pendidikan yang mudah diakses, akan membantu menjaga daya beli tanpa menambah beban perusahaan.

Penguatan jaminan sosial dan kebijakan perpajakan yang mendukung pekerja berpendapatan rendah, termasuk peningkatan kualitas layanan BPJS tanpa menaikkan iuran, juga perlu diperkuat.


"Dunia usaha siap bersinergi agar kebijakan yang ditempuh tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan, serta berfokus pada menjawab masalah urgent kita hari ini: penciptaan lapangan kerja formal," katanya.


(hoi/hoi)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pengusaha Ritel Ketar-Ketir, Omzet Terancam Anjlok Imbas KTR