Keraguan dalam Persahabatan Arab, Bibit Kesumat di Negeri Seribu Wali
Jakarta, CNBC Indonesia - Saat mata dunia masih lelah menyaksikan berbagai konflik berkepanjangan di Timur Tengah, gejolak di Yaman menorehkan babak baru yang jauh lebih rumit, yakni perang saudara berubah menjadi panggung tarik-menarik geopolitik antara dua sekutu tradisional Arab: Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Yang pada awalnya hanya pergulatan internal kini mengarah kepada prospek sesuatu yang lebih besar, yakni kemungkinan terpecahnya negara Yaman menjadi dua wilayah politik.
Konflik yang memuncak pada akhir tahun ini dimulai dari tarik-menarik kekuasaan lokal di Yaman berubah menjadi koalisi bersenjata ketika Dewan Transisi Selatan (STC), yang didukung UEA, memenangkan serangkaian kemenangan cepat di wilayah timur Yaman, khususnya di provinsi kaya minyak seperti Hadramaut dan Al Mahra.
Dukungan UEA secara signifikan mengubah keseimbangan kekuatan di lapangan. Angkatan bersenjata STC, didukung pelatih, sumber daya, dan logistik dari Abu Dhabi, berhasil mengambil alih wilayah luas yang sebelumnya berada di bawah kendali pemerintah Yaman yang diakui internasional dan jaringan yang setia kepada Riyadh.
Sukses teritorial ini memicu kecemasan yang mendalam di kalangan elite Saudi, yang lama menganggap dirinya sebagai kekuatan dominan di Yaman dan penjamin stabilitas di Semenanjung Arab. Riyadh melihat ekspansi STC sebagai tantangan serius terhadap kepemimpinan regionalnya.
Pasukan dari kelompok separatis utama Yaman, Dewan Transisi Selatan, tiba di daerah pegunungan tempat mereka melancarkan operasi militer di provinsi selatan Abyan, Yaman, 15 Desember 2025. (REUTERS/Stringer) |
Ketegangan Saudi-UEA
Dukungan UEA kepada STC tidak datang tanpa konsekuensi. Riyadh mengeluarkan peringatan keras bahwa dominasi militer STC di timur Yaman bisa memicu lebih banyak konflik dan ketidakstabilan.
Ketegangan antara sekutu dalam koalisi anti-Houthi ini kembali mencuat, bahkan hampir menjadi bentrokan terbuka antara pasukan yang loyal kepada kedua negara Arab tersebut.
Ini bukan sekadar perselisihan kecil antara sekutu. Kedua negara Arab tersebut kini berada dalam posisi yang saling berhadapan secara langsung di medan perang Yaman.
UEA, yang sejak dulu berperan besar dalam konflik Yaman, tampak fokus pada peta politik lokal, memperkuat pasukan STC sebagai kekuatan otonom di selatan dan timur Yaman. Sementara itu, Saudi, yang selama ini menjadi kekuatan dominan dalam koalisi Arab di Yaman, merasa terancam oleh langkah UEA yang memperkuat pasukan pro-UEA sampai hampir mengambil alih keseluruhan wilayah strategis di timur.
Potensi Negara Baru di Timur Tengah
Teritori yang kini dikuasai oleh STC secara geopolitik memiliki makna strategis luar biasa. Provinsi seperti Hadramaut mencakup sekitar 36% wilayah Yaman, sumber cadangan minyak terbesar negara, serta pelabuhan-pelabuhan vital seperti Mukalla, al-Shihr, dan terminal minyak al-Dhabba.
Itu bukan wilayah pinggiran. itu adalah inti ekonomi yang mampu menopang keberlangsungan negara baru jika benar-benar memisahkan diri.
Dengan kemenangan militer STC di wilayah-wilayah ini, ada kemungkinan teori pembagian Yaman menjadi dua negara bukan lagi sekadar gerakan ideologis, tetapi ia makin dipandang sebagai realitas yang bisa terjadi. Dan hal itu menjadi kekhawatiran utama Riyadh.
Para analis regional memperingatkan bahwa kemenangan militer demi kemenangan militer yang diraih oleh STC dapat menciptakan realitas baru yang tak bisa diabaikan: dua Yaman, satu di bawah pengaruh Saudi di utara dan satu lagi di bawah pengaruh UEA di selatan.
Konflik Yaman kali ini tak sekadar perang internal. Ini juga refleksi rivalitas geopolitik yang lebih besar di mana Saudi dan UEA, dua sekutu yang pernah berdiri berdampingan dalam koalisi militer, kini menemukan diri mereka berselisih tajam mengenai masa depan negara tetangga yang hancur oleh perang.
Saudi melihat dirinya sebagai penjaga status quo regional, sementara UEA tampak lebih pragmatis, mencoba menciptakan sekutu otonom yang memiliki legitimasi dan kemampuan memerintah sendiri. Kedua pendekatan ini sama-sama bertentangan satu sama lain.
Pergeseran ini juga mencerminkan perubahan strategi di dunia Arab. Perlahan tapi pasti, negara-negara Teluk yang pernah berpandangan seragam terhadap konflik luar kini memiliki tujuan yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Para anggota pasukan kelompok separatis utama Yaman, Dewan Transisi Selatan, berkumpul di daerah pegunungan tempat mereka melancarkan operasi militer di provinsi selatan Abyan, Yaman, 15 Desember 2025. (REUTERS/Stringer) |
Implikasi Geopolitik
Jika Yaman benar-benar terbelah menjadi dua negara, dampaknya tidak akan terbatas pada Semenanjung Arab saja. Terbelahnya Yaman akan mengubah peta aliansi militer Teluk, memengaruhi jalur pelayaran strategis di Laut Merah, membuka peluang intervensi asing yang lebih luas, hingga menambah kompleksitas perang melawan ekstremisme di kawasan
Lebih dari itu, perang saudara yang terus meluas juga bisa merembet, melibatkan kembali aktor global yang punya kepentingan di Timur Tengah, dari AS dan China hingga Uni Eropa.
Saat ini, negosiasi dan diplomasi terus berjalan di tengah ledakan senjata. Namun, dalam setiap upaya diplomasi, ada bayangan dua Yaman yang berdiri sebagai entitas terpisah di peta dunia, dua negara yang lahir bukan karena referendum damai, melainkan akibat kekuatan senjata dan ambisi geopolitik.
Apakah Yaman akan tetap utuh? Atau perang baru ini justru menjadi momen perpecahan yang tak terelakkan?
Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal jelas, konflik Yaman 2025 bukan lagi sekedar pertempuran domestik. Ini adalah simbol pergulatan kekuasaan dua pemain besar Arab yang kini tengah menulis ulang peta sejarah kawasan Teluk dan Timur Tengah.
Â
(luc/luc)[Gambas:Video CNBC]
Pasukan dari kelompok separatis utama Yaman, Dewan Transisi Selatan, tiba di daerah pegunungan tempat mereka melancarkan operasi militer di provinsi selatan Abyan, Yaman, 15 Desember 2025. (REUTERS/Stringer)
Para anggota pasukan kelompok separatis utama Yaman, Dewan Transisi Selatan, berkumpul di daerah pegunungan tempat mereka melancarkan operasi militer di provinsi selatan Abyan, Yaman, 15 Desember 2025. (REUTERS/Stringer)