AS Susun 3 Skenario Gulingkan Pemimpin Ini, Semuanya Berakhir Chaos
Jakarta, CNBC Indonesia - Berakhirnya kekuasaan Nicolas Maduro di Venezuela tidak serta-merta menjanjikan stabilitas. Serangkaian simulasi keamanan yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat sejak beberapa tahun lalu justru menggambarkan gambaran suram: kekacauan berkepanjangan, konflik bersenjata, dan eksodus pengungsi besar-besaran, terlepas dari bagaimana sang pemimpin itu tumbang.
Mengutip laporan The Guardian, tiga skenario ekstrem dipetakan dalam "war games" pemerintah AS pada 2019 untuk memprediksi Venezuela pasca-Maduro. Dalam satu skenario, Maduro digulingkan oleh pemberontakan rakyat berskala besar, namun militer turun ke jalan dan membidik warga sipil yang berhasil menjatuhkannya.
Dalam skenario lain, kudeta istana memaksa Maduro melarikan diri ke pengasingan, memicu perebutan kekuasaan berdarah di antara elite rezim yang terpecah.
Skenario ketiga bahkan lebih drastis: Maduro atau sekutu utamanya tewas akibat serangan "pemenggalan" Amerika Serikat. Ketika pasukan asing menguasai Caracas serta bandara dan pelabuhan utama, kelompok pemberontak kiri memperkuat cengkeraman di wilayah pedalaman yang kaya mineral.
Pada saat yang sama, loyalis rezim melancarkan serangan bergaya gerilya terhadap kilang minyak dan jaringan pipa energi. Intinya, tak satu pun dari simulasi tersebut berakhir baik.
"Anda akan menghadapi kekacauan berkepanjangan ... tanpa jalan keluar yang jelas," kata Douglas Farah, pakar Amerika Latin yang perusahaannya terlibat dalam proses perencanaan keamanan nasional tersebut.
Dalam ketiga simulasi itu, guncangan politik memicu gelombang pengungsian baru ke negara-negara tetangga seperti Kolombia dan Brasil, ketika warga melarikan diri dari bentrokan antara kelompok bersenjata saingan, pasukan asing, dan tentara loyalis.
"Semua orang yang bergulat dengan isu ini berharap Anda bisa melambaikan tongkat ajaib dan tiba-tiba Venezuela punya pemerintahan baru," ujar Farah. "Saya kira itu tidak terjadi karena orang-orang duduk dan berpikir: 'Tunggu sebentar. Apa sebenarnya yang sedang kita hadapi?'"
Penolakan dari Oposisi
Para politisi oposisi Venezuela yang berupaya mengakhiri kekuasaan Maduro selama 12 tahun menolak anggapan bahwa kejatuhannya pasti akan menjerumuskan negara ke jurang kekerasan dan pembalasan berdarah.
MarÃa Corina Machado, peraih Nobel Perdamaian dan pemimpin gerakan politik yang secara luas diyakini memenangkan pemilihan presiden tahun lalu, menyebut klaim bahwa keluarnya Maduro akan memicu kekerasan ala perang saudara Suriah sebagai "sama sekali tidak berdasar".
"Venezuela adalah negara dengan budaya demokrasi yang panjang dan masyarakat yang bertekad memulihkan demokrasi itu," katanya kepada The Guardian di Oslo, setelah meninggalkan negaranya untuk menerima penghargaan tersebut.
Miguel Pizarro, tokoh oposisi lainnya, juga menepis anggapan Venezuela akan berubah menjadi versi Amerika Selatan dari Irak, Libya, atau Haiti. "Kenyataannya, rakyat Venezuela telah mengambil keputusan mereka [dalam pemilu tahun lalu] ... itu adalah konsensus sosial terbesar dalam sejarah Venezuela," katanya.
Sekutu-sekutu Presiden AS Donald Trump, yang dalam beberapa bulan terakhir meningkatkan tekanan terhadap Maduro melalui pengerahan militer besar-besaran, serangan mematikan terhadap kapal di Karibia, serta penyitaan sebuah kapal tanker minyak, juga mengecilkan risiko intervensi Amerika Serikat.
Kekhawatiran Para Pengamat
Namun banyak pakar dan diplomat Amerika Selatan tetap meragukan transisi tersebut akan berjalan mulus, apa pun cara Maduro disingkirkan.
"Jika terjadi pemberontakan rakyat, militer kemungkinan besar akan bersikap sangat defensif, sangat brutal, dan reaksioner terhadap protes di jalanan. Akan ada banyak orang tewas," kata Farah.
Ia menilai, dalam skenario itu, gerilyawan Kolombia seperti Tentara Pembebasan Nasional (ELN) dan faksi pembangkang FARC berpotensi ikut bertempur di pihak rezim Venezuela yang berhaluan kiri.
Skenario kudeta, menurut Farah, bisa menciptakan "kekosongan kekuasaan yang sangat besar", dengan berbagai aktor bersenjata saling mengklaim kendali. "Anda bisa memiliki empat orang berbeda yang mengatakan: 'Oke, sekarang saya yang berkuasa,'" ujarnya.
Jika pasukan asing dikerahkan, mereka mungkin mampu menguasai kota-kota besar dan infrastruktur vital seperti pelabuhan dan bandara. Namun mereka tetap berisiko menghadapi serangan asimetris dari loyalis rezim atau pemberontak Kolombia, serta pertempuran panjang untuk merebut kembali wilayah tambang emas yang telah berada di bawah pengaruh ELN.
"Mengalahkan mereka adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan banyak uang, banyak pasukan, dan kemungkinan korban jiwa," kata Farah.
Apapun hasilnya, ia khawatir Venezuela pasca-Maduro akan menghadapi "kekacauan besar yang berlangsung cukup lama".
"Tidak ada satu pun dari ini yang akan selesai dalam tiga minggu. Ini soal bertahun-tahun," ujarnya.
Kecemasan serupa disampaikan pejabat dan pengamat lain. Pekan lalu, penasihat kebijakan luar negeri utama Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva memperingatkan bahwa gejolak di Venezuela bisa mengubah kawasan tersebut menjadi "zona perang" ala Vietnam.
Juan González, pejabat tertinggi urusan Amerika Latin di Gedung Putih pada era Presiden Joe Biden, juga menyatakan kekhawatiran terhadap potensi pembalasan kekerasan.
"Saya punya mimpi berulang tentang Venezuela ... tentang Maduro diseret di jalanan seperti Benito Mussolini," katanya, merujuk pada diktator Italia yang dieksekusi setelah ditangkap pada 1945.
"Anda tidak pernah tahu apa pemicunya ... [Muammar] Gaddafi tampak sangat berkuasa sampai tiba-tiba tidak," tambahnya, mengacu pada pemimpin Libya yang tewas secara brutal.
González masih berharap solusi yang dinegosiasikan dapat ditemukan di tengah meningkatnya ketegangan.
"Negosiasi itu panjang dan sulit, dan membutuhkan kompromi. Tetapi sejarah menunjukkan itulah cara paling efektif untuk mendorong transisi," katanya.
Ia mengingatkan bahwa menjatuhkan Maduro tidak otomatis memperbaiki keadaan.
"Bisa jadi justru lebih buruk," ujarnya, seraya mempertimbangkan kemungkinan tokoh garis keras seperti Menteri Dalam Negeri Diosdado Cabello menggantikan Maduro.
Farah menilai kesepakatan pembagian kekuasaan sementara mungkin menjadi jalan untuk menghindari "perpecahan besar-besaran" di antara faksi-faksi yang bersaing. Namun itu akan menuntut pilihan sulit, termasuk kemungkinan memberi jalan aman bagi Maduro ke luar negeri dan bentuk kekebalan tertentu bagi mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM berat.
Isyarat bahwa oposisi mungkin bersedia menerima kompromi muncul pekan lalu, ketika Washington Post melaporkan bahwa kubu Machado percaya hanya "pembersihan terbatas" terhadap pejabat puncak rezim yang diperlukan setelah Maduro lengser.
Namun, alternatif lain dinilai jauh lebih kelam. Jika situasi keamanan benar-benar lepas kendali, Farah khawatir Washington tergoda melibatkan kelompok tentara bayaran dan kontraktor militer swasta, alih-alih mengerahkan pasukan resmi.
"Itu membawa Anda lebih dekat ke skenario ala Irak, di mana ada banyak kelompok non-negara melakukan berbagai hal di lapangan tanpa kendali siapa pun," kata Farah.
"Jika keadaan memburuk, itu salah satu opsi yang akan mereka pertimbangkan, dan itu akan sangat merusak."
Â
(luc/luc)[Gambas:Video CNBC]