Bank Dunia Peringatkan Pekerja RI Digaji Murah, Upah Turun Sejak 2018
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank memperingatkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia yang kian memburuk. Disebabkan tenaga kerja yang makin banyak terserap ke sektor usaha yang memberikan upah rendah, hingga rata-rata tingkat gaji yang terus turun sejak 2018.
Peringatan ini termuat dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2025 yang baru saja dirilis per hari ini, Selasa (16/12/2025).
"Walaupun penyerapan tenaga kerja naik 1,3% dari Agustus 2024 hingga Agustus 2025. Namun, seluruh tambahan lapangan kerja tersebut berasal dari sektor-sektor dengan tingkat upah yang lebih rendah," kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk saat peluncuran IEP edisi Desember 2025 di Jakarta.
Memanfaatkan data Sakernas, Bank Dunia menekankan secara umum, jumlah pekerja baik formal maupun informal meningkat pada 2025, namun perbaikan kualitas pekerjaan belum terlihat.
Pada periode Agustus 2024 hingga Agustus 2025, tercatat penambahan bersih jumlah penyerapan tenaga kerja sekitar 1,9 juta, setara dengan pertumbuhan ketenagakerjaan sebesar 1,3% secara tahunan. Namun, laju ini lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat penambahan serapan tenaga kerja 4,8 juta atau tumbuh 3,4%.
Bank Dunia juga menegaskan, tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat pengangguran relatif stagnan sepanjang tahun terakhir, masing-masing bertahan di level 70,6% dan 4,8%. Partisipasi angkatan kerja perempuan naik tipis 0,21 poin persentase menjadi 56,6%, sementara partisipasi angkatan kerja laki-laki justru turun 0,26 poin persentase menjadi 84,4%.
Meski penyerapan tenaga kerja bertambah, kualitas pekerjaan masih menjadi persoalan bagi Bank Dunia. Mayoritas lapangan kerja baru tercipta di sektor pertanian yang menyerap tambahan sekitar 0,49 juta pekerja, serta sektor akomodasi dan makan minum dengan tambahan sekitar 0,42 juta pekerja. Kedua sektor tersebut menawarkan upah rata-rata sekitar Rp 2,55 juta per bulan, jauh di bawah rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 3,33 juta per bulan.
Selain itu, Bank Dunia juga mencatat upah riil di Indonesia terus mengalami penurunan. Dalam periode 2018-2024, upah riil secara keseluruhan turun rata-rata 1,1% per tahun. Penurunan terdalam dialami pekerja berkeahlian tinggi, dengan kontraksi mencapai 2,3% per tahun. Sementara itu, upah pekerja berkeahlian menengah menyusut rata-rata 1,1% per tahun.
Berbeda dengan dua kelompok tersebut, upah riil pekerja berkeahlian rendah justru masih mencatat kenaikan tipis sekitar 0,3% per tahun. Adapun sektor yang tidak mencatat penurunan upah riil bagi pekerja berkeahlian tinggi hanya terbatas pada manufaktur bernilai tambah tinggi, sektor utilitas-khususnya listrik-serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Selain upah riil yang tertekan, komposisi keterampilan tenaga kerja juga mengalami pergeseran. Porsi pekerja berkeahlian menengah turun dari 71,1% pada 2018 menjadi 68,3% pada 2024, yang diimbangi oleh kenaikan porsi pekerja berkeahlian rendah sebesar 2,3 poin persentase. Pada saat yang sama, pangsa pekerja berkeahlian tinggi juga meningkat, meski terbatas, yakni sekitar 0,5 poin persentase.
Sektor pertanian masih menjadi penyerap terbesar tenaga kerja berkeahlian rendah, sekaligus menjadi sektor dengan jumlah pekerja berkeahlian menengah terbesar kedua setelah sektor perdagangan, transportasi, dan pergudangan.
Di sektor manufaktur dan utilitas, pertumbuhan lapangan kerja hanya terjadi pada kelompok berkeahlian rendah. Sebaliknya, sektor pertambangan, konstruksi, dan TIK justru mencatat peningkatan porsi pekerja berkeahlian menengah, berlawanan dengan tren umum di tingkat nasional.
Di sisi lain, Bank Dunia juga mengingatkan, generasi muda Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Transisi pertama terjadi sekitar usia 19 tahun, saat lulusan SMA memasuki pasar kerja atau melanjutkan pendidikan.
Pada fase ini, sebanyak 16,6% perempuan muda berada dalam kategori tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengikuti pelatihan (not in employment, education, or training/NEET), lebih dari dua kali lipat dibandingkan laki-laki muda yang sebesar 7,9%.
Transisi kedua terjadi sekitar usia 24 tahun, setelah lulus perguruan tinggi. Pada usia ini, sekitar 66% populasi telah bekerja, namun perempuan tercatat lebih dari sepuluh kali lebih mungkin berada dalam kondisi NEET dibandingkan laki-laki, masing-masing sebesar 39,2% dan 3,8%.
Pada rentang usia 29 hingga 54 tahun, tingkat bekerja laki-laki tetap tinggi, di atas 90%. Sebaliknya, lebih dari 43% perempuan tetap tidak aktif setelah usia 29 tahun. Bahkan ketika tingkat ketidakaktifan perempuan mulai menurun setelah usia 36 tahun, angkanya tidak pernah turun di bawah 28%.
Secara keseluruhan, tingkat ketidakaktifan perempuan pada usia produktif utama (25-54 tahun) di dunia kerja mencapai 36,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara berpendapatan menengah atas sebesar 29,0% dan negara berpendapatan tinggi sebesar 19,7%.
Sebaliknya, tingkat ketidakaktifan laki-laki pada kelompok usia yang sama hanya 2,9%, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara berpendapatan menengah atas dan negara berpendapatan tinggi yang masing-masing berada di kisaran 9,4% dan 7,9%.
"Maka meningkatkan kapasitas perekonomian dan memungkinkan sektor swasta menciptakan lapangan kerja dengan upah yang lebih baik bagi generasi muda Indonesia menjadi tujuan utama saat ini," ucap Carolyn Turk.
(arj/mij)