Tanpa Sadar, Upah Pekerja RI Diam-diam Turun
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank memperingatkan upah riil pekerja di Indonesia terus mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir.
Upah riil yang Bank Dunia manfaatkan datanya dari Sakernas BPS itu didefinisikan sebagai indikator yang menggambarkan daya beli pekerja dari pendapatan atau gaji yang diterima. Upah riil memperhitungkan komponen inflasi.
Dalam dokumen Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2025, Bank Dunia mencatat pada periode 2018-2024, upah riil kelas pekerja di Indonesia merosot sekitar 1,1% secara tahunan.
"Kami juga mengamati bahwa upah riil cenderung menurun sejak 2018," kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk saat peluncuran IEP Desember 2025 di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Memanfaatkan data Sakernas BPS, Bank Dunia mengungkapkan, dari penurunan upah riil secara keseluruhan yang turun rata-rata 1,1% per tahun, penurunan terdalam dialami pekerja berkeahlian tinggi, dengan kontraksi mencapai 2,3% per tahun. Sementara itu, upah pekerja berkeahlian menengah menyusut rata-rata 1,1% per tahun.
Berbeda dengan dua kelompok tersebut, upah riil pekerja berkeahlian rendah justru masih mencatat kenaikan tipis sekitar 0,3% per tahun. Adapun sektor yang tidak mencatat penurunan upah riil bagi pekerja berkeahlian tinggi hanya terbatas pada manufaktur bernilai tambah tinggi, sektor utilitas-khususnya listrik-serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Selain upah riil yang tertekan, Bank Dunia mencatat mayoritas tenaga kerja di Indonesia kini kebanyakan hanya terserap di sektor usaha yang memberikan gaji rendah.
Meski penyerapan tenaga kerja bertambah 1,3% dari Agustus 2024 ke Agustus 2025, kualitas pekerjaan masih menjadi persoalan bagi Bank Dunia.
Mayoritas lapangan kerja baru tercipta di sektor pertanian yang menyerap tambahan sekitar 0,49 juta pekerja, serta sektor akomodasi dan makan minum dengan tambahan sekitar 0,42 juta pekerja.
Kedua sektor tersebut menawarkan upah rata-rata sekitar Rp 2,55 juta per bulan, jauh di bawah rata-rata upah nasional yang mencapai Rp 3,33 juta per bulan.
"Serapan tenaga kerja meningkat sebesar 1,3% dalam periode antara Agustus 2024 hingga Agustus 2025. Namun, seluruh tambahan lapangan kerja tersebut berasal dari sektor-sektor dengan tingkat upah yang lebih rendah," ucap Carolyn.
Efek dari rendahnya upah riil masyarakat itu menurut Bank Dunia ialah tertekannya daya beli masyarakat hingga mempengaruhi lemahnya konsumsi rumah tangga.
"Ini menekan konsumsi rumah tangga, meskipun indikator makroekonomi utama secara keseluruhan tetap solid dan kuat," kata Carolyn.
Dalam laporan terbarunya di IEP edisi Desember 2025 yang baru saja dirilis per hari ini, Selasa (16/12/2025). Bank Dunia mengungkapkan, konsumsi rumah tangga Indonesia bahkan berpotensi tumbuh stagnan hingga 2027 akibat masalah itu.
Pada 2025-2027, laju konsumsi rumah tangga hanya akan tumbuh 4,9%, jauh lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2024 yang masih mampu tumbuh 5,1%, 2023 sebesar 4,9%, dan 2022 5%. Efek lanjutannya ialah laju pertumbuhan ekonomi hanya akan bergerak di level 5% pada 2025-2026, dan barulah pada 2027 sedikit tumbuh di kisaran 5,2%.
(arj/mij)[Gambas:Video CNBC]