MARKET DATA

Proyek Hilirisasi Batu Bara Jadi LPG Akan Disubsidi? ESDM Bilang Ini

Firda Dwi Muliawati,  CNBC Indonesia
15 December 2025 11:30
Batu bara kokas. (Dok. Pertamina)
Foto: Batu bara kokas. (Dok. Pertamina)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan saat ini pemerintah tengah fokus dalam menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) proyek pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG), dalam hal ini hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyebutkan perhitungan HPP ideal proyek gasifikasi batu bara tersebut diperlukan untuk menentukan apakah produk DME memerlukan substitusi dari negara atau tidak.

"Jadi kita lagi memperhitungkan berapa HPP untuk DME, kalau memang ada subsidi itu kan juga merupakan pengalihan subsidi dari untuk LPG yang ada saat ini," jelasnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip Senin (15/12/2025).

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut akan membuka 'karpet merah' bagi investor atau perusahaan yang ingin membangun industri hilirisasi batu bara, termasuk industri pengolahan DME di Indonesia.

Hal ini ditegaskan Purbaya dalam rapat kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025). Seperti diketahui, sebelumnya perusahaan Amerika Serikat (AS), Air Products, membatalkan investasi DME di Indonesia. Padahal, proyek ini sudah melalui tahap pencanangan batu pertama (groundbreaking) dan bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).

"PTBA gagal, lalu ada perusahaan Amerika, ahli Dimethyl Ether. Investasi ini terbesar di Amerika, sudah siap investasi? Nggak juga, nggak bisa jalan, karena emang saya nggak tahu di mana salahnya. Waktu itu semangat untuk kritikannya tidak betul-betul dijalankan dengan baik," tutur Purbaya dalam Raker, dikutip Selasa (9/12/2025).

Purbaya mengungkapkan Kemenkeu akan memberikan insentif bagi perusahaan atau investor yang berniat mengembangkan hilirisasi batu bara. Adapun, dalam Raker ini, dia menjabarkan soal rancangan tarif bea keluar untuk komoditas ekspor batu bara. Besarannya akan berkisar 1%-5% pada 2026.

Ia mengatakan, besaran tarif itu sebetulnya serupa dengan tarif yang sudah dikenakan ke komoditas batu bara sebelum ditetapkan Undang-Undang Cipta Kerja bahwa komoditas itu bebas pengenaan perpajakan.

"Jadi saya balikin ke normal seperti itu. Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja, range tarifnya 1-5%," ucap Purbaya saat ditemui di kawasan DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).

Purbaya menekankan, tarif itu sudah didiskusikan dengan Kementerian ESDM, sehingga bisa didapati potensi target penerimaan bea keluar dari komoditas batu bara pada 2026 senilai Rp 20 triliun.

Ia mengatakan, melalui kebijakan normalisasi ketentuan perpajakan batu bara ini, akan terjadi kesetaraan pemberlakuan perpajakan, dari yang selama ini ia anggap timpang, karena pengusaha batu bara banyak yang mengajukan restitusi pajak saat harga jatuh namun tak memberikan sumbangan bea keluar.

Ia menganggap pemberlakuan komoditas ekspor batu selama ini serupa dengan pemerintah memberikan subsidi kepada orang kaya. "Sudah didiskusikan oleh ESDM. seharusnya mereka setuju karena saya enggak mau subsidi industri orang-orang kaya itu, masa net negative, kan rugi, jadi itu yang harus kita kejar," papar Purbaya.

(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekspor Batu Bara RI Merosot, Begini Strategi Pemerintah


Most Popular
Features