Putri Mantan Presiden Dipolisikan, Jebak Pria Lewat Iklan Loker Palsu
Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah internal keluarga mantan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma berubah menjadi isu nasional setelah putri tertuanya melaporkan saudara tirinya atas dugaan keterlibatan dalam perekrutan warga Afrika Selatan untuk bertempur bagi Rusia di Ukraina.
Kontroversi ini menyoroti meningkatnya perekrutan warga Afrika ke dalam pasukan militer Rusia akibat kekurangan personel, sekaligus mencerminkan hubungan dekat antara Moskow dan para veteran Kongres Nasional Afrika (ANC).
Zuma sebelumnya merupakan anggota partai tersebut, yang berakar dari gerakan pembebasan yang memperjuangkan demokrasi di Afrika Selatan.
Kasus tersebut bermula ketika 17 warga Afrika Selatan ditemukan terjebak di wilayah Donbas, Ukraina. Mereka menghubungi pemerintah setempat untuk meminta dipulangkan setelah menyadari bahwa mereka tidak sedang mengikuti program kerja, melainkan dikirim sebagai bagian dari pasukan pendukung Rusia dalam konflik Ukraina-Rusia. Pemerintah kemudian menelusuri siapa yang memfasilitasi kepergian mereka.
Nama Duduzile Zuma-Sambudla, putri dari Jacob Zuma yang berusia 43 tahun, tiba-tiba menjadi perhatian publik.
Zuma-Sambudla, yang dikenal sebagai pendukung Presiden Rusia Vladimir Putin, dilaporkan ke polisi oleh saudara tirinya, Nkosazana Zuma-Mncube. Ia dituduh turut berperan dalam memikat para pria tersebut untuk mengikuti program yang diklaim sebagai pelatihan keamanan profesional dengan gaji yang menggiurkan.
Pemerintah Afrika Selatan menemukan, para pria itu dipancing lewat kontrak kerja palsu yang disebut menawarkan peluang karier. Namun sesampainya di Rusia, paspor mereka diduga dibakar, ponsel disita, dan akses komunikasi diputus sebelum akhirnya mereka ditempatkan dalam pasukan tempur. Investigasi menyebut ada unsur penipuan, perekrutan ilegal, hingga potensi perdagangan manusia.
Zuma-Sambudla sendiri sudah menghadapi berbagai kasus hukum sebelumnya, termasuk tuduhan menghasut kekerasan pada kerusuhan 2021 yang menewaskan lebih dari 300 orang.
Dalam pembelaannya atas kasus ini, ia mengklaim sebagai korban manipulasi. Ia mengaku diperdaya oleh seseorang bernama "Khoza" yang menawarkan pelatihan paramiliter legal di Rusia tanpa keterlibatan perang. Zuma-Sambudla bahkan mengakui pernah mengikuti pelatihan tersebut selama sebulan dan kemudian merekomendasikan 22 orang termasuk kerabatnya. Dari jumlah itu, 17 kini dikabarkan berada di Donetsk sebagai bagian dari pasukan Rusia.
Ia menekankan percaya program tersebut sah berdasarkan pengalamannya dan menyatakan siap bekerja sama penuh dengan pihak berwenang. Namun klaim ini tidak menghentikan proses hukum. Selain laporan dari saudara tirinya, Partai Aliansi Demokratik juga melaporkan Zuma-Sambudla ke polisi setelah berdiskusi dengan keluarga korban.
Sementara itu, otoritas Afrika Selatan kini menelusuri dugaan keterlibatan jaringan perekrut internasional. Pemerintah mengatakan sedang menyelidiki potensi tindak kriminal seperti perdagangan manusia, penipuan, hingga eksploitasi. Rusia sendiri mengklaim tidak mengetahui keberadaan warga Afrika Selatan itu, dan menyatakan siap mempertimbangkan permintaan resmi dari Pretoria bila diajukan.
Fenomena perekrutan warga Afrika tidak hanya terjadi di Afrika Selatan
Menurut Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha, lebih dari 1.400 warga dari 36 negara Afrika telah direkrut untuk bertempur bagi Rusia, sebagian besar ditempatkan dalam "serangan daging" yang berisiko tinggi.
"Sebagian besar langsung dikirim ke apa yang disebut 'serangan daging' di mana mereka cepat terbunuh," katanya, dikutip dari laporan CNN, Sabtu (6/12/2025).
Di Kenya, lebih dari 200 warganya dilaporkan terlibat dalam konflik tersebut, dengan satu orang tewas setelah hanya sebulan berada di Rusia untuk pekerjaan yang dijanjikan sebagai sopir.
Para analis menyebut pola perekrutan ini sebagai campuran antara skema penipuan dan strategi Kremlin memanfaatkan kekurangan personel militer. Modusnya umumnya dimulai dari iklan pekerjaan palsu di platform seperti Telegram dan Facebook, menjanjikan visa cepat, gaji hingga US$2.500 per bulan, dan layanan kesehatan gratis. Namun begitu tiba di Rusia, para kandidat dipaksa menandatangani kontrak dalam bahasa Rusia dan langsung diterjunkan ke medan perang dengan pelatihan minim.
"Penipu mengatur proses perekrutan awal, biasanya lewat iklan di Telegram atau Facebook untuk 'pekerjaan' di Rusia," ungkap Paul Mudau, dosen senior Hukum Publik, Konstitusional, dan Internasional di University of South Africa,
"Setelah tiba, para rekrut ditahan otoritas Rusia, dipaksa menandatangani kontrak berbahasa Rusia, dan diterjunkan ke medan perang dengan pelatihan minimal."
(dce)