Waspada! BI Ungkap 5 Ancaman Global yang Bisa Tekan Ekonomi RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengingatkan lima risiko tekanan ekonomi global yang akan terus mempengaruhi aktivitas ekonomi domestik pada tahun-tahun setelah 2025.
Hal ini dia ungkapkan di depan para pengusaha dalam acara Pembukaan Rapimnas Kadin 2025 di Jakarta, Senin (1/12/2025).
"Kami melihat ada lima karakteristik dari perekonomian global yang akan mempengaruhi ekonomi domestik kita," ungkap Destry saat memberikan pidato kunci dalam rapat itu.
Destry menyebutkan, risiko tekanan ekonomi global pertama yang mesti harus diwaspadai terkait dengan kebijakan tarif dagang tinggi yang masih diberlakukan Presiden AS Donald Trump kepada negara-negara mitra dagang utamanya. Kebijakan tarif dagang itu ia sudah umumkan sejak April 2025.
Bila kebijakan tarif dagang yang bila terus terjadi secara berkepanjangan itu ia sebut akan membuat turunnya aktivitas perdagangan dunia, hingga meredupnya multilateralisme, atau kebijakan yang disepakati banyak negara.
"Banyak sekali sekarang perjanjian-perjanjian kita ini sifatnya kalau tidak bilateral adalah regional, karena ternyata yang multilateral itu susah untuk diimplementasikan atau susah untuk dibuat suatu kebijakan yang one fit for all," tegas Destry.
Permasalahan itu kata Destry memicu risiko kedua, yakni melambatnya pertumbuhan ekonomi global, dan lebih cenderung pertumbuhan yang terfragmentasi. Beriringan dengan masih tingginya tekanan inflasi global.
Risiko ketiga, Destry sebut terkait dengan tren tingginya tingkat utang global, karena kebutuhan pembiayaan yang makin tinggi. Kondisi ini mendorong banyak negara, termasuk negara-negara maju menerapkan kebijakan suku bunga surat utang yang tinggi, sehingga mengganggu arus modal asing untuk negara-negara berkembang.
"Sebagai contoh di Amerika, tingginya utang mereka itu menyebabkan mereka harus terus melakukan refinancing, sehingga penerbitan UST bonds mereka berjalan, menyebabnya yield UST mereka tinggi, beban fiskal mereka tinggi, hingga pada akhirnya mempengaruhi beban fiskal di negara berkembang," kata Destry.
Risiko keempat, terkait dengan tingginya kerentanan dan risiko sistem keuangan dunia. Dipicu oleh transaksi produk derivatif yang tumbuh pesat oleh para hedge fund dan mechine learning.
"Ini tentunya akan berdampak pada pelarian modal dan tekanan pada nilai tukar khususnya di emergin economist, termasuk Indonesia," ujar Destry.
Risiko kelima, atau yang terakhir, ia sebut maraknya uang kripto dan stable coin oleh pihak swasta, di tengah belum adanya pengawasan dan regulasi yang jelas dari otoritas terkait atau pemerintah. Kondisi itu kata Destry bisa memicu risiko sistemik di sistem keuangan.
Risiko ini lah yang kata Destry membuat Bank Indonesia (BI) kini gencar ingin merealisasikan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau mata uang digital dari bank sentral yang telah didesain dalam Proyek Garuda.
"Tentunya dengan kita memiliki tools untuk di setiap bank sentral paling tidak kita bisa lebih memahami pergerakannya sehingga tidak menimbulkan sistemik risk pada sektor keuangan kita," papar Destry.
"Oleh karena itu di BI kami terus saat ini sedang dalam proses ciptakan CBDC, di mana saat ini sudah masuk tahap sandboxing dan kami sudah gunakan beberapa bank yang terlibat dalam proses sandboxing tersebut," tegasnya.
Destry pun menegaskan, lima risiko global ini akan terus menghantui perekonomian domestik jika tak mampu segera ditangani hingga akhir 2025.
"Jadi inilah lima masalah atau potensial issues yang ada di global dan masih akan kita rasakan di tahun-tahun mendatang, dan tentunya ini akan memberikan tekanan di berbagai negara termasuk di Indonesia, sehingga sangat diperlukan kebijakan tepat," ucap Destry.
(arj/mij)[Gambas:Video CNBC]