Trump Tiba-Tiba Telepon Presiden Ini, PD 3 Batal Pecah di Amerika?
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Minggu (30/11/2025) mengonfirmasi bahwa ia baru-baru ini berbicara dengan pemimpin Venezuela Nicolas Maduro di tengah meningkatnya ketegangan antara kedua negara.
Konfirmasi ini datang bersamaan dengan tuduhan keras dari Caracas yang mengecam manuver militer AS di Karibia, menyebutnya sebagai persiapan serangan nyata terhadap Venezuela.
Mengenai pembicaraan telepon tersebut, Trump bersikap hati-hati. Saat ditanya wartawan di atas Air Force One, Trump menjawab namun tanpa jawaban terperinci.
"Saya tidak akan mengatakan itu berjalan baik atau buruk. Itu adalah panggilan telepon," ujarnya.
Namun, laporan dari The Wall Street Journal dan The New York Times menyebutkan bahwa Trump dan Maduro membahas kemungkinan pertemuan, dan percakapan tersebut juga mencakup kondisi amnesti jika Maduro bersedia mundur dari jabatannya.
Tawaran agar Maduro meninggalkan negaranya juga disuarakan oleh Senator dari Partai Republik, Markwayne Mullin, yang menyebut AS telah menawarkan kesempatan kepada Maduro untuk pergi ke Rusia atau tempat lain.
Diketahui, AS menuduh Maduro, sebagai pewaris politik Hugo Chavez, memimpin "Cartel of the Suns" dan telah mengeluarkan imbalan US$50 juta (Rp836,65 miliar) untuk penangkapannya. Venezuela dan negara-negara pendukungnya bersikeras bahwa tidak ada organisasi semacam itu.
AS telah meningkatkan tekanan terhadap Venezuela melalui serangkaian tindakan keras selama empat bulan terakhir. Taktik tersebut mencakup penumpukan militer besar-besaran di Laut Karibia, penetapan kelompok yang dituduh dijalankan oleh Maduro sebagai organisasi teroris, dan peringatan dari Trump bahwa wilayah udara Venezuela "ditutup".
Washington mengklaim tujuan pengerahan militer yang diluncurkan pada September itu adalah untuk memberantas perdagangan narkoba di kawasan tersebut, namun Caracas bersikeras bahwa tujuan utama Washington adalah perubahan rezim.
Ambisi Terselubung Trump
Menteri Perminyakan Venezuela yang juga Wakil Presiden, Delcy Rodriguez, menuduh bahwa tujuan akhir dari agresi AS adalah sumber daya alam Venezuela.
"Mereka menginginkan cadangan minyak dan gas Venezuela. Secara cuma-cuma, tanpa membayar," kata Rodriguez, mengacu pada cadangan minyak mentah Venezuela yang terbesar di dunia.
Permintaan bantuan kepada OPEC untuk menghentikan agresi AS ini didukung oleh klaim Maduro dalam suratnya bahwa Washington "berusaha merebut cadangan minyak Venezuela yang luas, yang terbesar di dunia, dengan menggunakan kekuatan militer,".
Serangan militer AS yang semakin sering di Karibia juga memicu kontroversi. Serangan udara AS yang menargetkan dugaan kapal penyelundup narkoba di Karibia dan Pasifik timur sejak September telah menewaskan sedikitnya 83 orang.
Skandal ini membesar setelah laporan adanya serangan lanjutan yang membunuh korban selamat dari serangan awal dan tuduhan bahwa Menteri Pertahanan Pete Hegseth memberikan arahan untuk "membunuh semua orang".
Trump membantah telah memerintahkan serangan kedua atau instruksi Hegseth. Namun, Ketua legislatif Venezuela, Jorge Rodriguez, mengecam tindakan tersebut dengan sangat keras.
"Mengingat tidak ada perang yang dideklarasikan, apa yang terjadi... hanya dapat dikategorikan sebagai pembunuhan atau eksekusi di luar proses hukum," ujar Rodriguez, menggarisbawahi parahnya situasi hukum dan kemanusiaan.
Di sisi lain, peningkatan militer AS yang stabil di kawasan Karibia sangat mencolok, ditandai dengan pengerahan kapal induk terbesar di dunia, USS Gerald R Ford, sementara jet tempur dan pesawat pembom Amerika berulang kali terbang di lepas pantai Venezuela.
Eskalasi militer ini menyebabkan enam maskapai penerbangan membatalkan layanan ke Caracas, meskipun pada hari Minggu, bandara di ibu kota Venezuela dilaporkan berfungsi seperti biasa.
(tps/luc)