MARKET DATA

Tiba-Tiba Mendag Bilang Ekspor RI Bisa Diganggu-Bawa Masalah, Ada Apa?

Ferry Sandi,  CNBC Indonesia
26 November 2025 17:25
Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam Rapat Kerja Penyusunan RUU tentang Komoditas Strategis bersama Baleg DPR RI di Jakarta, Rabu (26/11/2025). (Tangkapan Layar Youtube/DPR RI)
Foto: Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam Rapat Kerja Penyusunan RUU tentang Komoditas Strategis bersama Baleg DPR RI di Jakarta, Rabu (26/11/2025). (Tangkapan Layar Youtube/DPR RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menegaskan, arah kebijakan perdagangan Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada perlindungan pasar dalam negeri.

Ia mengingatkan, ekosistem ekspor-impor saat ini sudah terikat pada integrasi data dan kebijakan lintas kementerian, sehingga setiap keputusan harus mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.

"Struktur ekspor kita itu 80% sudah industri pengolahan. 12,7% itu pertambangan dan lainnya. 4,7% migas, 2,48% pertanian. Ini data BPS, bukan data saya, saya juga enggak punya data kayak gini. Ini semua data BPS. Kita itu sudah satu data, sudah dari dulu," kata Budi dalam rapat kerja dengan Badan Legislatif DPR, Rabu (26/11/2025).

Komposisi tersebut menggambarkan ketergantungan Indonesia pada sektor industri, sehingga setiap perubahan regulasi harus memastikan ekspor tetap berjalan tanpa hambatan. Ia juga menekankan, penguatan industri hilir menjadi urgensi utama agar posisi tawar Indonesia tidak melemah di pasar global.

Budi kemudian menyoroti persoalan harga komoditas yang kerap lebih mahal di dalam negeri dibandingkan barang impor. Menurutnya, inilah yang perlu dicarikan akar masalahnya, bukan sekadar menutup keran impor. Ia menyebut bahwa kualitas dan harga produk domestik harus ditingkatkan agar mampu bersaing secara natural. Rancangan Undang-Undang (RUU) Komoditas Strategis perlu mengatur hal tersebut.

"Masalah-masalah yang nanti kemudian kita tuangkan, kita konsepkan di dalam RUU ini, misalnya begini, kenapa kemudian harga impor lebih murah daripada harga dalam negeri? Lho, itu kenapa yang harus dicari masalahnya, kenapa kita mahal? Kenapa kemudian kita ekspornya yang mentah padahal sudah ada yang jadi? Nah, itu justru yang harus kita pelajari, apa masalahnya?" ujarnya.

Penyederhanaan tata niaga, peningkatan efisiensi produksi, serta percepatan industrialisasi menjadi kunci agar pasar domestik tak dikuasai produk asing. Budi juga mengingatkan, kebijakan proteksi yang berlebihan justru bisa menjadi bumerang bagi Indonesia. Negara mitra disebut bisa merespons dengan hambatan terhadap produk ekspor Indonesia, yang pada akhirnya merugikan pelaku usaha nasional. Hubungan dagang antarnegara selalu bersifat resiprokal.

"Karena kalau kita di dalam kebijakan impor juga terlalu proteksionis, juga tidak bagus. Kita bisa direpresi, ekspor kita juga diganggu di sana. Nah, yang penting justru bagaimana kita mempunyai daya saing terhadap produk itu. Kalau kita mempunyai produk yang berdaya saing tinggi, ya impor susah masuk. Berdaya saing tinggi, harga murah," kata Budi.

Ia menilai pendekatan yang paling realistis adalah memperkuat kompetensi industri, bukan menutup diri dari persaingan. Apalagi muncul fenomena konsumen dalam negeri yang kerap memilih produk asing karena dianggap berkualitas dan murah. Ini menjadi tantangan paling besar bagi pelaku industri nasional, yang harus meningkatkan efisiensi dan kualitas agar dapat bersaing secara sehat. Proteksi berlebihan, justru bisa memperburuk daya saing jangka panjang.

"Sekarang orang memilih produk asing misalnya karena katanya bagus, terus harganya murah. Lha sekarang bagaimana kita bisa seperti itu? Itu kan justru tantangan kita, yang paling berat. Karena kalau kita langsung, "Ya, kita protek, kita protek!" Lho, kita nanti enggak bisa masuk juga ke negara lain. Mereka akan membalas apa yang kita lakukan. Lha, kalau kita begitu kan kita enggak bisa ekspor. Padahal ekspor ini salah satu penyumbang PDB kita, yang harus tentu kita tingkatkan," sebut Budi.

Strategi perdagangan Indonesia harus seimbang antara perlindungan dan keterbukaan.

Budi menyambut baik rencana penyusunan RUU baru terkait pengelolaan komoditas, namun menegaskan bahwa regulasi tersebut harus fleksibel dan tidak menghambat inovasi. Menurutnya, dinamika global menuntut pemerintah bergerak cepat dan adaptif, bukan terjebak pada aturan yang terlalu kaku.

"Jadi, saya setuju, dengan rencana RUU ini, saya kira bagus karena ini bisa tadi menjembatani tadi kepentingan KL (Kementerian/ Lembaga) yang berbeda. Tapi kita harus hati-hati merumuskan, jangan sampai nanti RUU yang kita susun ini justru menjadi kaku. Kaku artinya justru kita tidak bisa berinovasi karena sekarang kita itu kan zamannya sudah kompetisi," ujar Budi.

(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Breaking News! Neraca Dagang RI Surplus US$ 4,3 Miliar di Mei 2025


Most Popular