Kawasan Ini Sedang Diburu Merek China, Ekspor Naik 28%
Jakarta, CNBC Indonesia - Merek-merek konsumen China semakin agresif memasuki pasar Afrika seiring memudarnya model investasi lama yang dulu bergantung pada perusahaan milik negara dan sektor ekstraktif. Melansir CNBC International pada Senin (24/11/2025), ekspor China ke Afrika melonjak 28% secara tahunan sepanjang tiga kuartal pertama 2025, setelah naik 57% selama 2020-2024.
Barang yang dikirim didominasi produk manufaktur bernilai tambah tinggi. Mulai dari elektronik, plastik, dan tekstil.
Di tengah lonjakan ekspor, investasi China di sektor sumber daya Afrika justru anjlok sekitar 40%, sejak puncaknya pada 2015. Ini dipengaruhi melemahnya imbal hasil dan perlambatan industri komoditas.
"Awalnya perusahaan China membangun infrastruktur dan menambang mineral alam," kata Ketua McKinsey China Daratan, Joe Ngai, mengatakan fokus bisnis kini bergeser.
"Dalam beberapa tahun terakhir, mereka mulai memikirkan pasar konsumen Afrika," tambahnya.
Namun ia mengingatkan bahwa fragmentasi pasar dan margin tipis tetap menjadi tantangan besar. Perubahan ini terjadi saat KTT G20 pertama digelar di Afrika Selatan (Afsel), di mana Perdana Menteri China Li Qiang hadir dan membuka peluang diskusi bisnis tingkat tinggi.
Heather Li, pendiri konsultan The Dot Connector, menyebut perusahaan China kini lebih sering mengirim pengambil keputusan ke Afrika. Ia mengatakan kekurangan listrik di Afrika Barat membuat produk tenaga surya China laris sementara kebutuhan medis, perlengkapan bayi, dan barang rumah tangga juga semakin diminati.
Sejumlah perusahaan besar telah memantapkan pijakan di benua itu. Transsion misalnya menguasai pasar ponsel pintar sementara Huawei memperluas jaringan telekomunikasi.
Di sisi lain, Midea menambah investasi setelah lebih dulu membangun pabrik di Mesir. Pada Juli lalu, Midea juga meneken kerja sama dengan Konfederasi Sepak Bola Afrika untuk memperluas eksposur dan jaringan bisnisnya.
Tren masuknya pemain kecil juga meningkat. Di platform seperti Xiaohongshu dan Bilibili, para pengusaha China membagikan pengalaman membuka usaha di Afrika, mulai dari dropshipping, toko bubble tea di Kenya, hingga perdagangan kabel data di Nigeria.
"Beberapa pengusaha China meraup pendapatan enam digit dolar AS pada tahun pertama," kata Investor Nigeria Joseph Keshi.
Data Euromonitor menunjukkan semakin banyak perusahaan China menjual produk dasar seperti popok, saus kemasan, camilan, dan barang rumah tangga di Afrika.
Christy Tawii, manajer wawasan regional Euromonitor, memperkirakan pengeluaran rumah tangga Afrika bisa melampaui US$2 triliun (setara Rp31.400 triliun) pada 2030. Ia juga mencatat tumbuhnya platform e-commerce seperti Chinese Supermarket yang memperluas distribusi merek China.
Saat ini yuan digunakan dalam sekitar 30% faktur perdagangan China-Afrika. Namun Rhodium Group dan Atlantic Council menilai masih ada batas struktural untuk ekspansi yuan karena surplus perdagangan China dan dominasi dolar AS dalam transaksi global.
Bagi perusahaan China, pasar Afrika semakin menarik di tengah margin domestik yang menipis, perlambatan ekonomi, dan hambatan dagang dari Amerika Serikat (AS) serta Eropa. Tetapi derasnya impor murah berisiko melemahkan manufaktur lokal Afrika.
"Afrika perlu dipandang bukan hanya sebagai pasar konsumen, tetapi sebagai pasar yang memproduksi barang yang dikonsumsi benua itu sendiri," ujar Ebipere Clark dari African Policy Research Institute.
Relokasi Perusahaan China
Sebagian perusahaan China juga mulai merelokasi produksi ke Afrika. Menurut Heather Li, banyak industri ringan China yang kini mempertimbangkan pabrik di Afrika untuk memanfaatkan tenaga kerja kompetitif dan akses prioritas ke pasar AS dan Eropa.
Sunda International, perusahaan asal Guangzhou, mengklaim membangun lebih dari 20 pusat produksi di Afrika dalam satu dekade terakhir. Perusahaan membukukan pendapatan tahunan hingga US$450 juta (sekitar Rp7,07 triliun)
Di Zambia, sejumlah pabrik Sunda beroperasi seiring langkah China memperkuat infrastruktur regional. Pekan lalu, PM Li menandatangani perjanjian modernisasi jalur kereta api senilai US$1,4 miliar (sekitar Rp22 triliun) untuk menghubungkan Zambia ke Samudra Hindia guna meningkatkan kapasitas angkutan barang secara signifikan.
(sef/sef)