Punya Mobil Listrik atau Hybrid, Mana Dapat Insentif Lebih Banyak?

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
Senin, 24/11/2025 12:05 WIB
Foto: Toyota merilis 3 kendaraan elektrifikasi sekaligus di GJAW 2025, Jakarta, Jumat (21/11/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa waktu ke belakang, banyak pabrikan dalam negeri yang sudah memproduksi kendaraan hybrid, di antaranya Honda dengan HR-V e:HEV, Suzuki dengan New XL7 Hybrid dan All New Ertiga Hybrid. Terbaru di GJAW 2025, Toyota juga memproduksi Veloz Hybrid. Seperti diketahui, Veloz merupakan kembaran Avanza.

Namun bukan hanya pabrikan Jepang, dari pabrikan China seperti Wuling juga memproduksi Almaz Hybrid diproduksi di pabrik Wuling di Cikarang, Jawa Barat.

Namun kendaraan hybrid yang diproduksi di dalam negeri hanya mendapat insentif 3% untuk keringanan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang ditanggung pemerintah (DTP).


Justru, insentif besar yang ada saat ini lebih banyak dinikmati oleh kendaraan impor. Bahkan, BEV (Battery Electric Vehicle) impor dalam skema tes pasar diberi insentif pembebasan bea masuk (BM) impor sebesar 50%, sehingga cukup kena pajak 12% dari harusnya 77%.

BEV juga tidak dikenakan pajak daerah, yakni pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Alhasil, BEV rakitan lokal yang memenuhi syarat TKDN hanya membayar pajak 2%. Sementara, HEV tetap membayar PPN, BBN, dan PKB tarif normal dan kena opsen pajak. Sehingga kebijakan untuk kendaraan hybrid masih belum cukup adil dibanding kendaraan listrik murni.

"Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN. Insentif untuk HEV saat ini belum fair, kata Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Riyanto kepada CNBC Indonesia, Senin (24/10/2025).

Dia memperkirakan prospek kendaraan hybrid pada 2026 lebih baik dibandingkan tahun ini, terutama setelah insentif untuk BEV berstatus impor utuh atau CBU (completely built-up) berakhir. Kondisi tersebut dinilai akan mendorong peningkatan permintaan terhadap kendaraan hybrid.

"Yang jelas tahun depan HEV akan lebih baik dari tahun ini, karena tahun ini BEV CBU yang penjualannya menggerus pasar BEV CKD dan juga HEV. Estimasi saya kalau HEV bisa 5% market share-nya. Beberapa pemain yang tadinya hanya menjual BEV akan menawarkan HEV, jadi akan banyak variasi model dari yang kecil sampai yang besar," ungkap Riyanto.

Senada dengan itu, Pengamat Otomotif Bebin Djuana menilai potensi pertumbuhan kendaraan hybrid akan sangat bergantung pada besarnya insentif pajak yang diberikan serta kecepatan produsen dalam menghadirkan model-model baru di pasar.

"Besarnya peningkatan tergantung berapa besar potongan pajak dan kecepatan pabrik menyerahkan model-model terbaru karena konsumen kita selalu menginginkan model-model terbaru dalam waktu sesingkat-singkatnya," ujar Bebin.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, sektor otomotif memiliki multiplier effect yang tinggi, baik keterkaitan ke depan dan belakang (backward dan forward linkage) subsektor terhadap sektor lain dalam ekonomi nasional.

Sektor otomotif juga menyerap banyak tenaga kerja. Karenanya Kemenperin bakal mengusulkan sektor ini bakal mendapatkan insentif, tujuannya agar industri ini bisa semakin bergerak.

"Kemenperin sekarang dalam proses merumuskan usulan yang akan diajukan pemerintah, dalam hal ini Menko Perekonomian. Kami sedang menggodok kebijakan insentif dan stimulus untuk sektor otomotif yang akan kami ajukan untuk kebijakan fiskal 2026," kata Agus di Jakarta, baru-baru ini.


(hoi/hoi)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Warga Jakarta Bebas Sanksi Pajak-Bea Balik Nama Sampai Desember