Biaya Transisi Energi RI Tinggi, Pemerintah Wajib Lakukan Hal Ini!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia saat ini terus menggencarkan program transisi energi dari energi berbasis fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kebijakan ini juga ditujukan untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan energi nasional.
Namun, transisi energi ini bukan tanpa upaya dan modal. Indonesia harus mengerahkan aksi nyata dan modal besar untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Presiden Direktur Bank DBS Indonesia, Lim Chu Chong mengatakan transisi energi bersih di Indonesia menjadi urgensi. Ini karena Indonesia menghabiskan US$ 36 miliar untuk mengimpor minyak dan gas pada 2024.
"Oleh karena itu, target pemerintah untuk mencapai 40% energi terbarukan dalam dekade mendatang merupakan tujuan keberlanjutan sekaligus keharusan ekonomi," ungkap dia dalam Coffee Morning CNBC Indonesia; Building National Energy Security: Balancing Infrastructure, Energy Transition, and Resource Sovereignty", Selasa (18/11/2025).
Dia menjelaskan Indonesia masih bergantung pada energi impor, yakni sebanyak 54% impor LPG Indonesia berasal dari Amerika Serikat. Kemudian minyak dan gas menyumbang sebesar 15,5% dari total impor negara.
"Ini adalah pengingat yang jelas mengapa kita harus mempercepat transisi menuju sumber energi yang lebih bersih dan lebih mandiri," terang Lim.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mencontohkan untuk konsumsi minyak, Indonesia memerlukan 1.640.000 barrel dalam sehari. Sementara itu, lifting nasional yang ditargetkan di APBN 2025 adalah 605.000 barrel per hari.
"Sehingga hari ini kita impor BBM kurang lebih 1,15 juta barrel per day. Satu barrel adalah 159 liter. Kita agak bersyukur harga crude dunia memang sedang tidak melonjak-lonjak sebagaimana yang kita khawatirkan ketika terjadi perang terbuka," papar dia.
Sugeng mengasumsikan dari 1,157 juta barrel per hari itu, harga yang dikeluarkan adalah US$ 62 per barrel.Di sisi lain, pendapatan negara akan berkurang karena lifting minyak merupakan pendapatan negara pertama yang dihitung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN).
"Jadi memang harus hati-hati menetapkan lifting dan sekaligus ICP (harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) karena itu dihitung sebagai pendapatan negara," terang Sugeng.
(dpu/dpu)