Paspor Riza Chalid Dicabut, Ini Penjelasan Kejagung

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
06 October 2025 19:05
Mohammad Riza Chalid. (Dok. Istimewa)
Foto: Mohammad Riza Chalid. (Dok. Istimewa)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI sudah mengusulkan kepada pihak Imigrasi RI untuk mencabut paspor Mohammad Riza Chalid (MRC), tersangka kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk minyak pada periode 2018-2023.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI Anang Supriatna menjelaskan, bila paspor WNI Riza Chalid ini dicabut, maka dia tidak bisa melakukan perjalanan ke negara lain atau tidak bisa tinggal di negara lain. Pilihannya, lanjutnya, yaitu "hanya" pulang ke Indonesia.

"Yang bersangkutan saat ini masih sebagai WNI, penyidik sudah bermohon ke kantor Imigrasi agar paspornya dicabut," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (6/10/2025).

Namun demikian, dia menyebut, meski paspor MRC dicabut, tidak serta merta kewarganegaraan yang bersangkutan hilang.

"Apabila permohonan pencabutan paspor dikabulkan, maka tidak semerta kewarganegaraan yang bersangkutan hilang," ujarnya.

"Apabila dicabut paspornya, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan perjalanan ke negara lain atau tidak bisa tinggal di negara lain, pilihannya hanya dia kembali ke Indonesia dengan menggunakan dokumentasi SPLP (surat perjalanan laksana paspor) atau dia over stay di negara tersebut. Mestinya secara ketentuan, biasanya negara yang ditinggali bisa mendeportasi karena dia jadi ilegal karena dokumentasi paspornya sudah ditarik oleh negara penerbit paspor," jelasnya.

Namun saat ini memang, pencabutan paspor MRC masih dalam pengajuan usulan. Tidak lain, tujuannya agar MRC bisa dikembalikan ke Indonesia.

"Selayaknya izin tinggalnya di negara lain juga harus dicabut sama pemerintah sana karena dasar pemberian izin tinggal adalah paspor," tandasnya.

Awal Mula Penetapan Jadi Tersangka

Semula, kasus hukum yang menjerat MRC sendiri dimulai pada 10 Juli 2025, ketika Kejagung menetapkannya sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

Namun sejak penetapan itu, MRC tak pernah memenuhi panggilan dari Kejagung.

Kejagung sendiri pernah mengungkapkan keberadaan MRC yang berada di Singapura. Namun, Pemerintah Singapura memastikan bahwa MRC tidak berada di wilayah mereka.

"Catatan imigrasi kami menunjukkan bahwa Muhammad Riza Chalid tidak berada di Singapura dan sudah lama tidak memasuki wilayah Singapura," tulis Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Singapura melalui situs resminya pada 16 Juli 2025.

"Jika diminta secara resmi, Singapura akan memberikan bantuan yang diperlukan kepada Indonesia, sesuai dengan hukum dan kewajiban internasional kami," tambahnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan sebagai tindak lanjut, penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus bakal menyisir negara lain untuk mencari keberadaan dari tersangka.

Anang menyebut pihaknya cukup terbuka dan menerima setiap informasi yang ada terkait dengan keberadaan MRC. Selain itu, penyidik juga akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri.

"Yang jelas seandainya ada informasi keberadaan yang bisa menunjukkan kita tampung dan kami akan bekerja sama dengan Kemenlu," katanya.

Peran MRC dalam Kasus Korupsi Minyak Mentah

Pada 10 Juli 2025 lalu, MRC telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus korupsi dugaan tindak pidana korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

MRC merupakan pemilik PT Orbit Terminal Merak (OTM). Ia diduga melakukan tindakan melawan hukum, yakni menghilangkan skema kepemilikan aset dalam kontrak kerja sama dengan PT Pertamina (Persero).

Penetapan tersangka tersebut mengacu pada Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-49/F.2/Fd.2/07/2025 Tanggal 10 Juli 2025, dan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRIN-53/F.2/Fd.2/07/2025 Tanggal 10 Juli 2025.

Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Abdul Qohar sempat menjelaskan, MRC diduga terlibat dengan tersangka HB, Tersangka AN dan Tersangka GRJ untuk menyepakati kerjasama penyewaan Terminal BBM Tangki Merak dengan melakukan intervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina.

"Memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak, yang pada saat itu PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan Stok BBM," ujarnya di gedung Kejaksaan Agung, Kamis malam (10/7/2025).

Selain itu, Ia juga menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerjasama, serta menetapkan harga kontrak yang tinggi. Kontrak dengan PT OTM ini sebenarnya berlaku selama 10 tahun. Dalam waktu 10 tahun, PT OTM seharusnya menjadi milik PT Pertamina Patra Niaga.

"Klausul itu di dalam kontrak dihilangkan, padahal berdasarkan hasil kajian Pranata UI itu sudah jelas apabila selama 10 tahun dengan harga yang saya sebut tadi, ada klausul Pertamina akan mendapat sharing asset, aset akan menjadi milik PT Pertamina Patra Niaga, tetapi itu dihilangkan," tuturnya.

Atas tindakan tersebut, BPK menghitung kerugiannya mencapai Rp 2,9 triliun.

"Kerugian berdasarkan perhitungan BPK sebanyak Rp 2,9 triliun, khusus untuk OTM dengan hitungan total loss," imbuhnya.

Qohar mengatakan Kejagung telah mengambil langkah-langkah untuk menemukan dan mendatangkan Riza Chalid ke Indonesia. Total kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam perkara ini yakni sebesar Rp 285.017.731.964.389.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jreng! Riza Chalid Ternyata Tak Ada di Singapura

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular