Petaka Kekeringan Ekstrem Ancam RI, Wamen PU Ungkap Rencana Besar 2026
Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Diana Kusumastuti mengatakan, pembangunan infrastruktur akan didesain ulang dan diperkuat untuk menghadapi ancaman ganda petaka perubahan iklim. Yaitu banjir yang semakin sering dan kekeringan yang meluas.
Hal itu disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Upaya Mitigasi serta Kesiapsiagaan Menghadapi Iklim dan Cuaca Ekstrem di Gedung Multi Hazard Early Warning System (MHEWS) di Kantor Pusat BMKG, Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Langkah itu, sambungnya, merupakan strategi Kementerian PU merespons data dan peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait tren kenaikan suhu, perubahan curah hujan, dan potensi kekeringa ekstrem dalam 25 tahun mendatang.
"Perkembangan curah hujan dan suhu yang ekstrem ini akan sangat berdampak pada infrastruktur yang kita bangun. Tugas kita tidak hanya mengendalikan banjir, tetapi juga menjamin ketersediaan air dan ketahanan pangan," kata Diana dalam keterangan di situs resmi BMKG, dikutip Senin (29/9/2025).
Dia pun menjabarkan rencana Kementerian PU untuk mengantisipasi potensi bahaya tersebut.
Di sisi lain, imbuh dia, Kementerian PU mencatat beberapa aspek infrastruktur yang membutuhkan perhatian intensif akibat curah hujan yang semakin tinggi dan ekstrem. Seperti operasi dan pemeliharaan intensif, peningkatan standar jembatan, dan antisipasi longsor serta kerusakan jalan.
"Dalam menghadapi potensi kekeringan, memprioritaskan akselerasi irigasi yang harus diselesaikan pada tahun 2026 dan pemetaan bendungan baru dengan pemetaan ulang untuk pembangunan bendungan-bendungan baru. Khususnya di daerah rawan kekeringan seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan wilayah selatan Pulau Jawa, guna menjamin pasokan air baku," papar Diana.
"Konstruksi jalan dan jembatan harus disesuaikan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diperbarui, memperhitungkan daya serap tanah yang rendah dan limpasan air (overtopping)," tambahnya.
Kementerian PU, ujarnya, berkomitmen menjadikan data ilmiah dari BMKG sebagai dasar utama dalam setiap desain dan keputusan infrastruktur, demi mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih tangguh dan aman dari risiko bencana hidro-meteorologi.
"Kami butuh sistem peringatan dini yang bisa memberikan informasi beberapa hari atau seminggu sebelumnya, bukan hanya saat bencana terjadi. Kolaborasi dengan BMKG dan Pusdatin Kementerian PU sangat vital agar tim di lapangan kami bisa melakukan antisipasi sebelum bencana," kata Diana.
Kepala BMKG: Suhu Global Mencapai Level Kritis
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan, data global membuktikan perubahan iklim adalah realitas nyata, bukan sekadar isu belaka.
"Data terkini menunjukkan kenaikan suhu udara global telah mencapai level kritis, menimbulkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan dan infrastruktur di Indonesia," kata Dwikorita.
"Grafik suhu udara global sejak 1850 hingga 2025 menunjukkan bahwa kenaikan suhu yang signifikan dimulai sekitar tahun 1975 dan melesat secara eksponensial. Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan suhu mencapai 1,55 derajat Celsius di atas periode pra-industri," paparnya.
Kenaikan 1,55°C ini, ujarnya, sudah melampaui batas aman yang disepakati untuk dicegah pada tahun 2100. Periode 2015 hingga 2024 juga ditetapkan sebagai periode 10 tahun terpanas sepanjang sejarah.
"Analisis BMKG menunjukkan tren kenaikan suhu juga terjadi di seluruh kota besar di Indonesia. Secara rata-rata, Indonesia telah mengalami kenaikan suhu 1,2°C dibandingkan masa pra-industri (1850-1900). Namun, khusus untuk Jakarta data menunjukkan tren kenaikan suhu yang lebih tinggi dari rata-rata global, yaitu 1,6 derajat Celsius per 100 tahun," ujar Dwikorita.
Kenaikan suhu ini, sambungnya, berdam[al langsung pada perubahan pola iklim yang ekstrem di Indonesia dan global. Di mana, pola curah hujan berubah drastis yang membuat secara global kenaikan suhu menyebabkan anomali curah hujan.
"Sebagian wilayah cenderung menjadi jauh lebih basah (peningkatan curah hujan melampaui 80-90%), yang memicu bencana banjir. Sementar, wilayah lain menjadi semakin kering (penurunan hingga lebih dari 10-20%), yang menyebabkan krisis air dan berakibat munculnya global water hotspot, mengakibatkan kelangkaan air dan krisis air yang meluas," ungkapnya.
Dia menjabarkan, data curah hujan ekstrem dalam 33 tahun terakhir (1991-2024) juga menunjukkan kejadian hujan sangat lebat hingga ekstrem (>150 mm/hari) semakin merata di seluruh Indonesia.
Dampak lain, sebutnya, terjadinya ancaman ketahanan pangan.
Kata dia, organisasi pangan dan pertanian PBB atau Food and Agriculture Organization (FAO) telah mengingatkan, hingga tahun 2050 menunjukkan adanya potensi peningkatan kerawanan pangan (vulnerability) secara global jika manusia gagal mengendalikan laju kenaikan suhu.
"Ini berarti Indonesia dan negara lain berpotensi kesulitan mengimpor pangan karena kelangkaan terjadi di mana-mana. Kita punya waktu 25 tahun untuk memastikan infrastruktur kita dapat menggeser kerawanan ini," ucap Dwikorita.
"Selama 33 tahun terakhir, akumulasi curah hujan maksimum 1 hari menunjukkan kejadian hujan ekstrem lebih sering dan merata. Ini adalah indikator penting untuk mengkaji potensi banjir dan bencana hidro-meteorologi," kata Dwikorita.
BMKG mengimbau agar data-data ini, yang menunjukkan wilayah yang cenderung semakin basah (seperti Kalimantan dan sebagian Papua) dan semakin kering (seperti Nusa Tenggara), menjadi dasar utama bagi Kementerian PU dan pemangku kepentingan lainnya dalam merancang infrastruktur pengendalian bencana dan sumber daya air yang tangguh.
(dce/dce)