CSIS Ungkap Akar Masalah Demo di RI: Ekonomi Sulit, Rakyat Terluka

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
Selasa, 02/09/2025 14:10 WIB
Foto: Aksi demonstrasi di depan Markas Satuan Brimob Polda Metro Jaya di Kwitang, Jakarta Pusat, memanas. Massa aksi didorong mundur oleh pihak kepolisian, Jumat (29/8/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Demonstrasi yang meluas di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini dinilai ekonom sebagai ekspresi keresahan sosial ekonomi dan kemarahan publik terhadap pemerintah.

Researcher bagian ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan menjelaskan bahwa krisis kepercayaan kepada pemerintah akibat runtuhnya legitimasi fiskal menjadi akar dari gelombang demonstrasi.


Menurutnya, masyarakat diminta membayar pajak, iuran, hingga menerima kebijakan efisiensi pemerintah. Namun di sisi lain, publik melihat tanda-tanda pemborosan, seperti penambahan jumlah kementerian dan lembaga, praktik rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan bagi pejabat dan anggota DPR.

"Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara," ujar Deni dalam diskusi publik CSIS, Selasa (2/9/2025).

Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.

Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.

"Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat," ujarnya.

Dari sisi ketenagakerjaan, Deni menyoroti tingginya tingkat PHK dan pekerja informal yang tidak dapat menghasilkan pendapatan layak yang mampu mengimbangi biaya hidup.

Di tengah berbagai beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah justru mencanangkan program-program mahal yang dinilai Deni masih tidak efektif untuk mendorong perekonomian.

Seperti salah satunya program Makan Bergizi Gratis yang dianggarkan Rp 335 triliun dan anggaran belanja untuk pertahanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban Rp 565 triliun mulai tahun depan.

"Jadi permasalahannya adalah secara ironis arah dari belanja negara justru juga tidak adil dan malah menambah luka. Belanja bantuan dan perlindungan sosial itu terus mengecil," ujar Deni.

"Permasalahannya adalah bagaimana anggaran itu dibelanjakan dan pertanggungjawaban serta transparansinya itu masih tidak jelas hingga hari ini. Apakah dana-dana yang dikeluarkan itu untuk membeli alat-alat yang baik, yang proper dalam organisasi angkatan pertahanan kita, atau kepolisian kita, atau malah itu menjadi alat untuk memukul rakyatnya sendiri," ujarnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Stop Anarkisme, Ayo Bersatu Untuk Indonesia!