RI Masih Doyan Konsumsi Gula Impor, 'Boroknya' Dibongkar Pemerintah
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebutuhan gula nasional terus menunjukkan tren kenaikan setiap tahun. Namun, kapasitas produksi dalam negeri masih belum mampu memenuhi total kebutuhan tersebut.
Deputi Bidang Koordinasi Usaha dan Pertanian Kemenko Pangan, Widiastuti menilai kenaikan permintaan gula tetap terjadi meski pola konsumsi masyarakat sudah mulai bergeser.
"Kebutuhan gula di Indonesia ini setiap tahun meningkat, walaupun kita juga tahu pola hidup, pola hidup atau habitnya dari masyarakat kita sudah mengurangi konsumsi gula," ujar Widiastuti dalam Seminar Ekosistem Gula Nasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, ia menuturkan kebutuhan gula konsumsi bertumbuh 2-3% per tahun. Pada periode yang sama, produksi juga ikut naik 5-6% per tahun.
"Gula konsumsi setelah kita lihat ini meningkat 2-3% per tahun dan gula produksi meningkat 5-6% per tahun. Di mana kebutuhan gula hampir mencapai 6,5 juta ton untuk kebutuhan gula konsumsi, industri, dan kawasan berikat," jelasnya.
Namun demikian, Widiastuti menyebut volume produksi nasional masih jauh dari kata cukup. Produksi rata-rata hanya 2,46 juta ton pada 2024. Dari jumlah itu, sektor swasta menyumbang 1,28 juta ton, sedangkan BUMN menghasilkan 1,17 juta ton.
Bila dilihat dalam rentang 2020-2024, laju pertumbuhan produksi gula nasional hanya mencapai 3,91%, dengan pertumbuhan BUMN relatif lebih tinggi yakni 5,49%.
"Kalau untuk kebutuhan nasional mencapai 6,5 juta ton, baik untuk kebutuhan konsumsi, industri, dan kawasan berikat. Dan rata-rata ada di angka 2.465.739 ton per tahun (pada 2024), Jadi itu rata-ratanya dari produksi gula nasional," tutur dia.
Kondisi ini membuat pemerintah terpaksa menutup celah kebutuhan dengan mendatangkan impor gula rafinasi (raw sugar), terutama untuk kebutuhan industri.
"Rata-rata (produksi gula pada 2024) ada di angka 2.465.739 ton per tahun. Untuk mencukupi kebutuhan nasional, dari perhitungan ini masih adanya impor dari raw sugar," ucap Widiastuti.
Karenanya, ia mengakui cita-cita menuju swasembada gula sebagaimana ditargetkan Presiden Prabowo Subianto bukan hal yang mudah diwujudkan. Masalah keterbatasan lahan dan ketersediaan pabrik masih menjadi kendala utama.
"Itu (swasembada gula) memang tidak mudah. Banyak hambatan dan tantangan yang harus dilalui. Di mana masalah penyediaan lahan untuk perluasan tebu dan pabrik," jelasnya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Nur Khabsyin menyampaikan, musim giling 2025 diperkirakan akan memberikan hasil yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
"Untuk gula, prediksi tahun ini produksinya gula konsumsi 2,6 juta ton. Karena ini produksinya naik nih, rata-rata per hektare naik 25%," ungkap Nur Khabsyin kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/8/2025).
Ia menekankan bahwa tren positif tersebut didorong oleh meningkatnya produktivitas tebu. Data kinerja tebu nasional yang dikelola APTRI menunjukkan, dalam sembilan tahun terakhir (2016-2024), luas tanam tebu terus bertambah dari 440 ribu hektare pada 2016 menjadi 520 ribu hektare pada 2024.
Produktivitas tebu sempat naik-turun, dari 75,58 ton per hektare di 2016, turun ke 61,50 ton/ha pada 2023, lalu sedikit pulih menjadi 63,78 ton/ha pada 2024. Sementara itu, rendemen gula relatif stagnan di kisaran 6,6-8%, dengan capaian terakhir di 2024 sebesar 7,42%.
Namun, apabila dilihat dari sisi produksi gula, capaian nasional masih terbatas, atau belum terjadi peningkatan produksi yang signifikan. Pada 2016 produksi gula sebesar 2,20 juta ton, sempat naik hingga 2,40 juta ton pada 2022, lalu turun ke 2,27 juta ton pada 2023, dan kembali naik menjadi 2,46 juta ton pada 2024.
"Kalau kita lihat dari tren ini, sebenarnya ada perbaikan dari sisi produktivitas. Tahun ini kami optimis bisa tembus di kisaran 2,6-2,7 juta ton untuk produksi gula konsumsi eks tebu. Jadi memang ada peluang perbaikan cukup signifikan," pungkasnya.
(wur)