Sosok Ini Takut Harga Beras Melambung Seperti Tahun 2022, Ada Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengkhawatirkan kejadian stok beras menipis hingga harga melonjak seperti di tahun 2022 silam terulang lagi.
Khudori mengatakan, polemik perberasan di Tanah Air yang saat ini menghadapi proses hukum akibat adanya dugaan praktik produksi dan perdagangan beras tidak sesuai mutu dan label kemasan, akan memicu efek domino. Salah satunya, operasi Satgas Pangan yang kian intens di pasar beras disebutnya bisa memperburuk keadaan.
"Pasokan di pasar itu terbatas. Ketika Satgas Pangan itu intens masuk ke pasar, dan kebijakan pemerintah yang regresif sebetulnya ya (seperti) ada HPP (harga pembelian pemerintah) gabah, HET (harga eceran tertinggi) beras nggak disesuaikan, itu regresif kan sebetulnya. Menekan margin keuntungan, menekan margin perdagangan, yang membuat pedagang tidak mungkin untuk bisa berusaha," kata Khudori dalam Diskusi Publik bertajuk Perberasan Nasional di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (26/8/2025).
Ia menekankan, kebijakan tersebut membuat pedagang maupun penggilingan kehilangan insentif untuk menyimpan stok. Padahal, pola produksi padi di Indonesia bersifat musiman, sehingga untuk menjaga kestabilan pasokan perlu dilakukannya penyimpanan stok oleh penggilingan atau pedagang itu sendiri.
"Kita semua tahu, kalau mengikuti pola produksi padi, produksi terbesar, surplus terbesar itu di masa panen raya Februari sampai Mei. Di situlah penggilingan dan pedagang melakukan penyerapan besar-besaran karena harga relatif tertekan. Nah ini distok, disimpan, walaupun ada Perpres 71 Tahun 2015 (tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting) yang nggak boleh lebih dari tiga bulan," jelasnya.
"Ketika Satgas Pangan intens masuk ke pasar, margin perdagangan semakin sempit, relatif mereka tidak punya insentif untuk menyimpan stok. Ini menurut saya berbahaya," tegas dia.
Dia pun mengkhawatirkan kondisi ini akan berdampak pada periode September hingga awal tahun depan. "Situasi di September, Oktober, November, dan nanti awal tahun itu kita betul-betul akan kecil sekali pasokan ke pasar dari penggilingan dan pedagang. Satu-satunya yang tersisa ya nanti stok di Bulog. Apakah Bulog akan bisa menjadi penyelesaian dan solusi terhadap masalah itu? Nggak, hampir pasti nggak," tukasnya.
Khudori mengingatkan pengalaman serupa pernah terjadi pada 2022 lalu. Saat itu, margin keuntungan pedagang dan penggilingan sangat kecil. "Stok di pedagang dan penggilingan kecil sekali. Harga tiba-tiba di Agustus 2022 naik tinggi," ujarnya.
Meski Perum Bulog saat itu menggelontorkan stok besar-besaran, sambungnya, dampaknya tidak signifikan.
"Bulog meskipun melakukan operasi pasar waktu itu, seingat saya 250 ribu ton, bahkan sempat 300 ribu ton per bulan. Sampai akhir Desember lebih dari 1 juta ton digelontorkan. Apakah harga turun? Enggak. Jadi situasi ini sangat mungkin berulang. Jadi menurut saya harus hati-hati," pungkasnya.
(dce)