Prabowo Bertekad Hapus Defisit APBN di 2028, Ekonom Buka Suara
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto bertekad untuk menekan angka defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2027-2028. Bahkan dirinya menginginkan APBN tidak ada defisit sama sekali.
Hal tersebut disampaikan dirinya dalam RAPBN 2026 dan Nota Keuangannya, Jumat (15/8/2025), Presiden Prabowo Subianto bertekad untuk membalikkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke posisi positif atau surplus pada 2027-2028.
"Saya ingin berdiri di depan majelis ini di podium ini menyampaikan bahwa kita berhasil punya APBN yang tidak ada defisit sama sekali," ujarnya.
Namun, sejumlah ekonom menilai target tersebut terlalu ambisius dan sulit diwujudkan dalam jangka pendek.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai wacana APBN tanpa defisit pada tahun 2027-2028 dinilai tidak realistis. Pasalnya, Indonesia masih membutuhkan belanja besar untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia hingga efisiensi infrastruktur.
"Perlu anggaran besar untuk itu, belum lagi jika kita kaitkan dengan stimulus ekonomi untuk mendongkrak daya beli rakyat dan menciptakan lapangan kerja, sehingga yang kita butuhkan adalah APBN yang ekspansif bukan kontraktif," ujar Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/8/2025).
Wijayanto menilai defisit APBN sebesar 2% justru lebih ideal. Asalkan belanja dilakukan secara optimal dan efisien dan manajemen utang dilakukan dengan prudent.
Di sisi lain 2025 hingga 2026 bukanlah tahun yang mudah untuk fiskal RI. Menurutnya, penerimaan negara menghadapi tekanan yang tinggi.
"Tidak mudah bagi Indonesia untuk bisa mewujudkan budget surplus, bisa defisit 2% saja sudah patut kita syukuri. Apalagi, tahun 2025 dan 2026 kita menghadapi situasi fiskal yang sangat menantang dan kemungkinan besar akan berlanjut hingga 2027," ujarnya.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menilai wacana APBN tanpa defisit justru bisa kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003 defisit pada APBN tidak masalah. Asalkan, terkendali di bawah 3% terhadap PDB.
"Itu tujuannya artinya, sejak Undang-Undang Keuangan 2003, memang rezim APBN-nya adalah rezim defisit," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, fungsi defisit adalah menjaga agar APBN tetap menjadi instrumen stimulus ekonomi. Jika pemerintah memaksakan surplus atau defisit nol, konsekuensinya justru bisa menekan pertumbuhan.
"Kalau mau defisitnya 0% bisa, tapi jangan mimpi ekonomi bisa tumbuh lebih dari 5%. Karena APBN sifatnya berarti lebih ke pro-cyclical, bukan counter-cyclical. Sekarang yang dibutuhkan itu APBN counter-cyclical. Jadi begitu swastanya sedang ikat pinggang, sedang rem, daya beli masyarakatnya juga sedang rendah, maka stimulusnya berasal dari belanja pemerintah," ujarnya.
Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet pun menilai target surplus pada APBN 2029 sebagai hal yang ambisius.
Saat ini, APBN 2025 diproyeksikan defisit sekitar 2,5-2,8% PDB, sementara RAPBN 2026 baru menurunkannya ke 2,48% PDB. Dengan posisi tersebut, Yusuf menilai pemerintah harus melakukan swing fiskal lebih dari 2,5% PDB hingga benar-benar berimbang bahkan surplus dalam kurun waktu kurang dari empat tahun.
"Beban ini semakin berat karena pemerintah sendiri masih merencanakan pembiayaan utang baru di atas Rp700 triliun pada 2026, sementara kebutuhan belanja tetap besar: program Makan Bergizi gratis yang bernilai ratusan triliun, transisi energi, dan modernisasi pertahanan," ujar Yusuf kepada CNBC Indonesia, Kamis (21/8/2025).
Menurut Yusuf, surplus bisa tercapai jika ada kombinasi reformasi pajak agresif, efisiensi belanja, dan pertumbuhan ekonomi konsisten di kisaran 5,5-6%. Namun, kondisi penerimaan pajak saat ini justru melemah akibat turunnya harga komoditas.
"Tantangan tambah nyata karena penerimaan pajak pada awal 2025 justru melemah akibat turunnya harga komoditas dan perubahan tata kelola, sehingga target penerimaan yang dicanangkan untuk 2026 sudah terasa berat," ujarnya.
(haa/haa)