
Dikepung Bencana: BNPB Cuma Dimodali Rp0,5 T di 2026-Terendah 15 Tahun

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia tak pernah lepas dari ancaman bencana besar. Dari gempa bumi, letusan gunung api, banjir hingga longsor, semua datang silih berganti. Namun, anggaran penanganan bencana Indonesia justru turun drastis.
Intensitas bencana di Indonesia sangat tinggi dan dampaknya bisa mengguncang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Ada banyak faktor mengapa Indonesia rawa bencana alam.
Indonesia dilintasi oleh berbagai gunung api aktif atau dapat disebut sebagai 'Ring of Fire'. Posisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia begitu rawan dilanda bencana.
Hal ini karena posisinya berada di Cincin atau Lingkar Api Pasifik. Wilayah ini membentang sepanjang 40.000 km di sekitar Samudra Pasifik yang sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung api.
Wilayah tersebut dikenal sebagai jalur gempa teraktif di dunia yang terdiri dari palung samudra, busur vulkanik, dan sabuk vulkanik. Semuanya terletak saling berdekatan satu sama lain.
![]() Bencana Alam di Indonesia 5 Tahun Terakhir (Dok: BNPB) |
Karena terletak di jalur tersebut, Indonesia mengalami banyak gempa dan letusan gunung api. Terlebih posisinya berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yaitu Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara, dan Lempeng Pasifik di timur.
Indonesia yang diapit oleh dua samudra membuat potensi gempa besar yang terjadi di beberapa wilayah pun tidak dapat dihindarkan, di mana salah satunya yakni potensi gempa megathrust.
Tak hanya itu saja, bencana yang melanda Indonesia tak hanya dari faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api. Tetapi juga sering dilanda oleh banjir, angin puting beliung, tanah longsor, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Risiko Bencana Meningkat
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi peningkatan kejadian bencana alam. Peningkatan kejadian bencana alam di Indonesia dengan keterjadian terbanyak yaitu banjir, tanah longsor, dan puting beliung.
Selama kurang lebih 15 tahun terakhir, rata-rata kerugian per tahun akibat bencana alam mencapai Rp22,85 triliun.
Bencana penyumbang kerugian secara finansial terbesar adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, kebakaran, dan banjir. Bencana Tsunami di Aceh pada 2004 menjadi bencana penyumbang terbesar kerugian negara sebesar Rp51,4 triliun.
Selanjutnya, bencana Gempa Yogyakarta pada 2006 sebesar Rp29,15 triliun.
Anggaran Bencana Dipangkas
Bencana yang terus meningkat membuat pemerintah kemudian membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 26 Januari 2008 melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008, sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Sebelum 2008, penanggulangan bencana masih ditangani oleh Bakornas PB (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana). Namun lembaga ini hanya bersifat koordinatif dan tidak memiliki kewenangan eksekusi langsung. Hasilnya, koordinasi sering tersendat, terutama dalam situasi darurat.
BNPB lahir dengan mandat yang jauh lebih kuat: tidak sekadar mengoordinasikan, tetapi juga menjadi komando nasional dalam penanggulangan bencana, mulai dari tahap mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan.
BNPB menjadi wajah terdepan sekaligus lembaga kunci dalam mengelola anggaran penanggulangan bencana.
Namun, anggaran BNPB justru terus dipangkas.
Bila pada 2011-2024 alokasi anggaran menembus Rp 2 triliun maka angkanya menipis menjadi hanya Rp 491 miliar pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Anggaran tersebut adalah yang terendah sejak 2011 atau 15 tahun terakhir. Padahal, sebagai garda terdepan mitigasi bencana, BNPB membutuhkan dana manajemen, pemeliharaan alat, hingga penanganan bencana.
Bila dibandingkan Belanja Negara 2026 yang diusulkan Rp 3.786,49 triliun maka alokasi anggaran BNPB hanya 0,013%.
Bila dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai Rp 22.139 triliun maka setara 0,002%% dari PDB.
Pemangkasan anggaran BNPB bahkan sudah dilakukan pada tahun ini.
Semula anggaran BNPB 2025 senilai Rp1,427 triliun. Namun setelah rapat rekonstruksi anggaran anggaran dipangkas Rp470,9 miliar sehingga yang tersisa senilai Rp956,67 miliar.
Berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan, realisasinya bahkan mungkin hanya Rp 0,49 triliun.
Selain anggaran bencana di BNPB, pemerintah juga menyediakan alokasi dana cadangan penanggulangan bencana di APBN. Rata-rata realisasi dana cadangan penanggulangan bencana pada APBN dalam periode tahun 2014-2024 adalah sekitar Rp4,29 triliun per tahun.
![]() Dana cadangan bencana |
Dana cadangan penanggulangan bencana yang dialokasikan pada Kementerian Keuangan (BA BUN) dapat digunakan pada saat kejadian tanggap darurat (dana on-call) atau pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi melalui pemberian hibah.
Anggaran bencana tidak hanya dialokasikan untuk penanganan kejadian karena bencana alam tetapi juga bencana nonalam antara lain berupa kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, dan wabah penyakit. Dampak bencana nonalam berpotensi sangat substansial, misalnya pandemi Covid-19 yang berpengaruh terhadap berbagai sektor khususnya kesehatan dan ekonomi.
Bila melihat data, angka dana cadangan stagnan di angka Rp 5 triliun dalam lima tahun. Padahal, realisasinya kerap melebihi alokasi karena jumlah bencana yang terus meningkat bahkan hampir selalu di atas alokasi.
Anggaran dana cadangan bencana tahun depan kemungkinan besar tidak akan jauh dari angka Rp 5 triliun. Bila digabung dengan anggaran BNPB yang dialokasikan sebesar Rp 0,5 triliun maka angkanya sekitar Rp 5,5 triliun. Anggaran ini jauh di bawah program prioritas lain seperti Makanan Bergizi Gratis sebesar Rp 335 triliun.
Salah satu tahun penuh bencana Adalah pada 2018. Bencana demi bencana melandai muai dari gempa Lombok, tsunami dan likuifikasi Palu, tsunami Selat Sunda dan longsor di Sulawesi hingga Jawa Barat.
Pada tahun tersebut, realisasi anggaran dana cadangan bencana mencapai Rp 7.04 triliun atau 176% dari alokasi. Realisasi BNPB juga mencapai Rp 7,11 triliun dari anggaran.
