Internasional

Rusia Sudah Menang Lawan Ukraina, Trump 'Keok' Depan Putin

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
18 August 2025 08:15
Foto Kolase Presiden Rusia, Vladimir Putin, Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy. (AP Photo)
Foto: Foto Kolase Presiden Rusia, Vladimir Putin, Presiden AS, Donald Trump, dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. (AP Photo)
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan pertemuan di Alaska, Jumat (15/8/2025). Pertemuan ini digelar untuk mencari solusi atas perang antara Moskow dan tetangganya, Ukraina, yang telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun terakhir.

Dalam beberapa jam pertemuan itu dilangsungkan, Putin nampak berhasil mendorong keinginannya di depan Trump untuk mencari perdamaian yang hakiki dibandingkan gencatan senjata sesaat. Hal ini meruntuhkan upaya Barat yang selama bertahun-tahun berusaha mengisolasi dirinya.

Hal ini membuat banyak pengamat menilai Putin keluar sebagai pemenang dari "KTT Alaska", sementara media pemerintah Rusia menggambarkan Trump sebagai negarawan berhati-hati, meski di Barat kritik keras diarahkan padanya karena dianggap tidak siap menghadapi Putin.


Media Rusia menyoroti detail simbolis, mulai dari penyambutan karpet merah, pertunjukan fly-over militer, hingga momen ketika Trump menunggu Putin dan mengajaknya menaiki limosin kepresidenan AS, "The Beast".


"Media Barat kini dalam kondisi yang bisa digambarkan sebagai kegilaan yang mendekati histeria," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, dilansir Reuters.


"Selama tiga tahun mereka berbicara tentang isolasi Rusia, dan hari ini mereka melihat karpet merah digelar untuk menyambut Presiden Rusia di Amerika Serikat," ujarnya.


Namun capaian terbesar Putin ada pada isu Ukraina. Trump sebelumnya datang dengan agenda mendorong gencatan senjata cepat, bahkan mengancam Rusia dan China dengan sanksi.


Tetapi usai pertemuan, ia menyatakan setuju dengan Putin agar negosiasi langsung diarahkan pada penyelesaian damai permanen, bukan sekadar jeda pertempuran.


"Posisi Presiden AS telah berubah setelah berbicara dengan Putin, dan kini diskusi akan fokus pada akhir perang, serta tatanan dunia baru. Persis seperti yang diinginkan Moskow," tulis pembawa acara talkshow Rusia, Olga Skabeyeva, di Telegram.

'Buronan' yang Menang

Terlaksananya pertemuan itu saja sudah menjadi kemenangan diplomatik bagi Putin. Pasalnya, ia masih berstatus buron Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang terkait deportasi anak-anak Ukraina.


Rusia membantah tuduhan tersebut, dengan alasan pihaknya hanya mengevakuasi anak-anak yang tidak memiliki pendamping dari zona konflik. Amerika Serikat dan Rusia sama-sama bukan anggota ICC.


Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyebut pertemuan ini sebagai terobosan besar bagi pemulihan hubungan Moskow-Washington. "Mekanisme pertemuan tingkat tinggi antara Rusia dan Amerika Serikat telah sepenuhnya dipulihkan," ujarnya.


Meski begitu, Putin tidak meraih semua yang diinginkannya. Trump menolak memberikan "reset ekonomi" yang sangat dibutuhkan Rusia untuk menopang perekonomian yang mulai tertekan setelah tiga tahun perang dan sanksi Barat.


Putin bahkan membawa menteri keuangan dan kepala dana kekayaan negara Rusia ke Alaska, berharap dapat membicarakan peluang kerja sama di bidang Arktik, energi, ruang angkasa, dan teknologi. Namun, Trump menegaskan kepada wartawan sebelum pertemuan dimulai bahwa bisnis tidak akan berjalan sampai perang Ukraina benar-benar berakhir.


Trump juga menahan diri dari langkah yang paling dikhawatirkan Eropa dan Ukraina: menjual kepentingan Kyiv demi kesepakatan dengan Putin. Ia menekankan bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.


Meski demikian, Trump memperingatkan bahwa Zelensky harus realistis. "Rusia adalah kekuatan yang sangat besar, dan Ukraina bukan," katanya usai pertemuan.


Medvedev menilai pernyataan itu menandai pergeseran tanggung jawab pada Kyiv dan Eropa. "Poin utamanya adalah kedua pihak langsung menempatkan tanggung jawab pada Kyiv dan Eropa untuk mencapai hasil dalam negosiasi," ujarnya.

Zelensky Akui Putin Perkasa di Medan Perang

Di medan tempur, pasukan Rusia perlahan terus maju dan mengancam kota-kota penting Ukraina di kawasan Donetsk.


Putin menyampaikan kepada Trump bahwa ia bersedia membekukan garis depan di Zaporizhzhia dan Kherson jika Kyiv mau mundur dari Donetsk dan Luhansk-dua wilayah yang menjadi jantung kawasan industri Donbas, yang secara terang-terangan diklaim Moskow. 


Menurut laporan New York Times, Trump bahkan menyampaikan kepada para pemimpin Eropa bahwa pengakuan Ukraina atas Donbas sebagai wilayah Rusia bisa membuka jalan menuju kesepakatan. Kanselir Jerman Friedrich Merz menambahkan bahwa AS siap menjadi bagian dari jaminan keamanan bagi Ukraina.


Sumber Reuters menyebut Zelensky menolak tuntutan itu. Ia hingga kini menolak keras usulan Trump terkait "tukar-menukar wilayah", yang dinilai melanggar konstitusi dan kedaulatan Ukraina.

Walau begitu, Zelensky juga menilai KTT tersebut sejauh ini memang memberi keuntungan bagi Putin.


"Putin akan menang dalam hal ini. Dia butuh foto dengan Presiden Trump," ujarnya.

Pertemuan Zelensky-Trump

Sementara itu, sejumlah pemimpin Eropa berbondong-bondong menuju Washington untuk memberikan dukungan politik kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menjelang pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Senin (18/8/2025).

Kanselir Jerman Friedrich Merz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pada Minggu menggelar pertemuan para sekutu untuk memperkuat posisi Zelensky. Mereka berupaya memastikan jaminan keamanan yang kuat bagi Ukraina, termasuk keterlibatan langsung Amerika Serikat.

Para pemimpin Eropa ingin menghindari pengulangan pertemuan Ruang Oval terakhir Zelensky pada Februari lalu yang berakhir buruk, di mana Trump dan Wakil Presiden JD Vance menegur Zelensky di depan umum karena dianggap tidak tahu berterima kasih.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Presiden Finlandia Alexander Stubb-yang memiliki kedekatan pribadi dengan Trump-serta Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni juga akan ikut ke Washington.

Dalam pernyataan bersama, Inggris, Prancis, dan Jerman menegaskan siap mengerahkan "pasukan penjamin keamanan setelah pertempuran berhenti, membantu mengamankan udara dan laut Ukraina, serta meregenerasi angkatan bersenjatanya."

Namun, sejumlah negara Eropa masih ragu untuk terlibat langsung secara militer, menunjukkan betapa rumitnya diskusi perdamaian ini bahkan di antara sekutu Kyiv sendiri.

Sejumlah pemimpin Eropa menekankan pentingnya gencatan senjata sebelum negosiasi damai. "Anda tidak bisa berunding untuk perdamaian di bawah bom yang terus berjatuhan," tegas Kementerian Luar Negeri Polandia.


(tps/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Update Ukraina: Rusia Serang Negara NATO-Putin Teken Dekrit Presiden

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular