Saat Sri Mulyani Bicara Pajak Seperti Zakat & Was-was Ada 'Syaiton'
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13/8/2025).
Dalam pidatonya, Sri Muulyani mengatakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan.
"Pada dasarnya mereka yang mampu harus menggunakan kemampuannya karena di dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain," ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan dalam konteks kebijakan fiskal, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk. Seperti program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Terutama kelompok berpendapatan rendah.
"Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan. Kami sampaikan 10 juta keluarga tidak mampu diberikan program keluarga harapan. Bahkan diberikan tambahan sembako untuk 18 juta keluarga," ujarnya.
Selain itu, pemerintah pun menyalurkan berbagai fasilitas mulai dari diagnosa, pelayanan kesehatan gratis, pemeriksaan kesehatan gratis dan sekarang dibangun akses-akses kesehatan, puskesmas, BKKBN, posyandu, hingga rumah sakit di daerah-daerah yang ditingkatkan.
Sementara dari sisi pendidikan, pemerintah pun mulai membuka sekolah rakyat bagi rakyat yang tidak mampu. "Itu adalah semuanya tadi hak dari rezeki yang kamu miliki untuk orang lain," ujarnya,
Adapun dari sisi pertanian pemerintah juga menyalurkan subsidi pupuk kepada petani yang paling membutuhkan, alsintan, bibit, hingga perluasan. "Itu yang kami sampaikan sebagai instrumen APBN untuk mewujudkan keadilan. Secara substansi itu adalah ekonomi syariah," ujarnya.
Tanpa Transparansi, Banyak 'Syaiton Nirojim' di Ekonomi
Menurutnya, mengelola ekonomi tanpa transparansi akan banyak sekali godaan untuk menjadi tidak amanah terhadap kewajiban yang sudah dipercayai.
"Mengelola ekonomi tanpa transparansi, pasti di situ banyak syaiton nirojim. Maka menyampaikan itu menurut saya adalah sebuah wujud untuk kita dicek atau dilihat supaya kita terus ada di dalam rel yang amanah," terangnya.
Transparansi dalam mengelola keuangan negara juga menjadi salah satu bentuk teladan terhadap sifat Nabi Muhammad SAW yakni Tabligh yang berarti menyampaikan atau transparansi.
Secara keseluruhan, Sri Mulyani menjelaskan terdapat 4 sifat Nabi Muhammad SAW yang dapat diteladani menjadi fondasi tata kelola yang baik atau good governance. Yakni siddiq, amanah, tablig, dan fatonah.
"Empat karakter dari Rasulullah adalah apa yang hari ini disebut soundbite-nya adalah good governance. Kita sering hanya bicara tentang syariahnya, melupakan bahwa fondasi dari setiap cita-cita yang ingin dicapai adalah karakter yang menjalankan," ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan dua sifat Rasulullah yang sering tercederai dalam membangun perekonomian syariah adalah siddiq atau kejujuran dan amanah atau dapat dipercayai. Menurutnya, tanpa integritas, pengelolaan dana baik Rp 1 juta maupun Rp 3.800 triliun seperti APBN, bisa menzalimi rakyat yang paling membutuhkan.
"Kalau Anda tidak punya dan tidak menjaga sidik dan amanah, maka Anda akan tidak hanya mencederai cita-cita Islam itu, tapi Anda menzalimi orang yang paling perlu untuk kita bela," ujarnya.
Sementara sifat fathonah atau cerdas menurut Sri Mulyani sangat penting di tengah kemajuan teknologi yang cepat. Termasuk ancaman perang yang kini mengandalkan teknologi canggih.
"Dunia berubah begitu cepat. Semua membuat prediksi 10 tahun ke depan dunia akan berubah luar biasa karena teknologi. Kita lihat perang sekarang saja. Dulu adalah prajurit versus prajurit di depan battle. Perang dunia kedua, perang Vietnam. Sekarang drone versus drone," ujarnya.
(mij/mij)