Pajak Jangan Berburu di Kebun Binatang, Mending Lakukan Ini!

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
13 August 2025 06:45
Tanah & Rumah Warisan Bebas Pajak Lho, Tapi Ada Syaratnya!
Foto: Infografis/ Tanah & Rumah Warisan Bebas Pajak Lho, Tapi Ada Syaratnya! /Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Center of Economic And Law Studies (CELIOS) memberikan saran 11 cara agar pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan pajak melalui kajian dengan judul "Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang".

Dalam hasil penelitian tersebut CELIOS menggambarkan secara gamblang 12 sumber penerimaan pajak baru bagi pemerintah agar perpajakan dapat optimal sebagai sumber penerimaan negara sekaligus memiliki asas berkeadilan.

Menurut itungan CELIOS, negara bisa mendapatkan penerimaan alternatif senilai Rp524 triliun. Berikut 12 alternatif pendapatan pajak menurut kajian CELIOS:

1. Pajak Kekayaan

CELIOS meyakini pendapatan pajak dari pajak kekayaan yang dihimpun dari orang super kaya mencapai Rp81,56 triliun, Bahkan angka tersebut dihimpun dengan asumsi "tarif 2% dari total kekayaannya, maka akan terkumpul sebesar Rp81,56 triliun setiap tahunnya. Barisan 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp15 triliun dan rerata kekayaannya mencapai Rp159 triliun."

Penerapan pajak kekayaan ini menurut CELIOS selain sebagai sumber penerimaan negara tapi juga manifestasi keadilan sosial.

"Potensi pajak kekayaan sesungguhnya akan lebih besar. Selain itu, fungsi pajak kekayaan bukan hanya sebagai sumber penerimaan negara semata, tetapi juga manifestasi keadilan sosial yang membatasi dominasi segelintir di lapangan ekonomi," tulis CELIOS.

Pajak kekayaan sendiri mengutip CELIOS merupakan salah satu pajak progresif yang dikenakan atas total kekayaan bersih milik individu, meliputi aset tanah, properti, saham, kendaraan,

karya seni, dan simpanan rekening. Pajak kekayaan menjadi kontribusi dari mereka yang paling diuntungkan oleh sistem ekonomi kepada masyarakat luas.

2. Pajak Penghilangan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Loss Tax)

Pajak tersebut adalah instrumen pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha, industri, dan proyek pembangunan yang terbukti mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dalam bentuk deforestasi, konversi lahan, dan eksploitasi bentang alam, kepunahan spesies, dan berbagai kerusakan degradatif lainnya.

Potensi penerimaan negara dari skema kompensasi pajak atas hilangnya keanekaragaman hayati mencapai Rp48,58 triliun per tahun.

CELIOS mencatat bahwa di Indonesia sebanyak 2.432 jenis spesies mamalia, tumbuhan, dan fungi terancam punah di Indonesia. Tak hanya itu, dalam kurun waktu 4 tahun, sejak tahun 2020 hingga 2024, Indonesia telah kehilangan habitat hayati sebanyak 259 kilo hektare hutan alam yang bila dikonversikan atas kontribusi penciptaan karbon

18 emisi sebanyak 194 juta metrik ton CO₂.

Dasar perhitungan studi ini merujuk studi Constanza (2014) yang memperkirakan nilai rata- rata jasa ekosistem global berkisar USD 3.000 hingga 7.000 per hektare selama setahun.

Pada konteks Indonesia, asumsi yang digunakan adalah nilai tengah sebesar USD 5.000 per hektare selama setahun.

3. Pajak Digital

CELIOS menghitung potensi penerimaan negara dari pajak digital progresif diperkirakan sekitar Rp22,5 triliun - Rp29,5 triliun per tahun.

Berdasarkan kajian CELIOS, pajak digital adalah instrumen pemajakan atas aktivitas ekonomi yang berlangsung di ranah digital, seperti penjualan barang dan jasa digital, iklan online, layanan streaming, dan platform digital lintas negara. pajak digital menjadi cara efektif untuk memastikan bahwa bisnis digital yang menikmati

keuntungan dari pengguna dan pasar lokal juga berkontribusi pada penerimaan negara.

CELIOS menulis ada tiga macam pendekatan utama dalam penerapan pajak digital adalah pajak langsung, pajak tidak langsung, dan konsensus global.

"Pajak langsung menargetkan laba digital melalui pemajakan atas pembayaran ke platform asing. Pajak ini memperluas Bentuk Usaha

Tetap (BUT) menjadi BUT Digital sehingga kehadiran fisik perusahaan tidak bersifat kaku," ucapnya.

CELIOS juga melihat praktik progresif lainnya menerapkan Pajak Layanan Digital atau Digital Service Tax (DST) yang memajaki pendapatan kotor dari layanan iklan daring, penjualan data pengguna, dan aktivitas perantara digital.

Sementara itu, "Pajak tersebut lebih mudah diterapkan karena dibebankan kepada konsumen akhir. Sementara itu, pendekatan konsensus global yang diusung OECD dan

G20 melahirkan Pilar 1 mengenai redistribusi hak pemajakan ke negara pasar dan Pilar 2 yang menganjurkan pajak minimum global sebagai upaya menciptakan sistem pajak digital yang adil."

4. Pajak Karbon

CELIOS memperkirakan potensi pendapatan dari pajak karbon mencapai Rp763,58 triliun per tahun dengan tiga periode waktu, yakni transisi, lanjutan, dan ekspansif.

Nilai tersebut didapat dengan asumsi, "Temuan Global Carbon Budget Report tahun 2023 mengungkapkan bahwa rata-rata tahunan emisi karbon akibat penggunaan lahan, sepanjang 2013-2022, di indonesia telah mencapai 930 juta ton. Perhitungan mengasumsikan nilai tukar per 5 Mei 2025 yang berada di posisi Rp16.421 per dolar AS. penetapan tarif pajak karbon dalam perhitungan tetap realistis dan diberlakukan penyesuaian bertahap berdasarkan dampak distribusionalnya."

Pajak karbon sendiri adalah pungutan yang dikenakan terhadap emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO₂), yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi seperti industri, pembangkitan listrik, dan transportasi. Tujuannya adalah memberi tarif pada polusi, mendorong pelaku usaha mengurangi emisi, serta mendorong peralihan ke energi bersih dan teknologi ramah lingkungan.

5. Peningkatan Tarif Pajak Capital Gain

CELIOS juga memberikan kajian pemungutan pajak dari hasil capital gain pada aset investasi seperti saham, properti, dan obligasi. Adapun potensi penerimaan negara dari tarif pajak capital gain saham dan obligasi diperkirakan mencapai Rp7,03 triliun per tahun.

Adapun menurut kajian CELIOS adalah pengenaan pajak dimulai dari keuntungan aset diatas Rp50 juta dengan tarif pajak 5%. Sementara pelaku usaha yang memperoleh keuntungan di bawah Rp50 juta diberi pembebasan tarif.

"Tarif pajak capital gain akan semakin progresif seiring dengan tingkat

keuntungan penjualan yang besar dan durasi kepemilikan yang pendek sebagai disinsentif praktik spekulasi aset," tulis CELIOS.

6. Pajak Kepemilikan Rumah Ketiga

Berdasarkan penelitian CELIOS, pajak kepemilikan rumah ketiga adalah pungutan fiskal atas kepemilikan properti dengan nilai sangat tinggi, seperti rumah elit, apartemen premium, vila eksklusif, dan bangunan komersial berstandar tinggi.

CELIOS memperkirkana bahwa penerapan pajak kepemilikan rumah ketiga berpotensi meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp1-2,2 triliun per tahun.

Adapun penerpaan pajak pada rumah ketiga adalah flat dengan tarif sebesar 1% selama setahun.

7. Pajak Warisan

CELIOS memberikan alternatif dalam pengenaan pajak warisan yang berjenjang, Adapun jenjang tersebut memiliki tarif pajak yang semakin meningkat, sebagai berikut:

- Lapisan nilai warisan kena pajak per orang sebesar di bawah Rp3 miliar, tarif pajak 0%

- Lapisan nilai warisan kena pajak per orang sebesar Rp3 miliar - Rp5 miliar, tarif pajak 5%

- Lapisan nilai warisan kena pajak per orang sebesar Rp5 miliar - Rp10 miliar, tarif pajak 10%

- Lapisan nilai warisan kena pajak per orang sebesar Rp10 miliar - Rp25 miliar, tarif pajak 15%

- Lapisan nilai warisan kena pajak per orang sebesar di atas Rp25 miliar, tarif pajak 20%

"Penerimaan negara dari peningkatan tarif pajak warisan diperkirakan sekitar Rp6 triliun - Rp20 triliun per tahun," tulis CELIOS dalam penelitiannya.

8. Pajak Produksi Batubara

Menurut CELIOS, pajak produksi batubara adalah instrumen fiskal yang dikenakan atas aktivitas ekstraksi dalam bentuk pungutan khusus berbasis kelebihan volume atau nilai produksi.

"Kebijakan pajak produksi batu bara lebih berdampak positif dibanding pajak ekspor dari sisi pendapatan pajak lebih tinggi, efek

yang lebih kuat terhadap konsumsi global batu bara, dan risiko

carbon leakage yang lebih rendah, serta akan lebih efektif apabila

diimplementasikan oleh koalisi negara eksportir," tulisnya.

CELIOS menghidtung potensi pendapatan dari pajak produksi batubara dengan dua skema, yakni konservatif dan progresif.

Skenario konservatif menghitung pajak langsung dengan tarif pajak US$2,5/ton terhadap total produksi batu bara.

"Potensi penerimaan negara dari pajak produksi batubara diperkirakan mencapai Rp34,33 - Rp66,49 triliun per tahun," tulis CELIOS.

9. Pajak Windfall Profit Sektor Ekstraktif

Pajak windfall profit adalah pajak tambahan yang dikenakan atas keuntungan bagi perusahaan atau akibat lonjakan harga pasar yang tidak disebabkan oleh upaya kinerja sendiri melainkan faktor eksternal atau dinamika pasar.

"Penerapan pajak windfall profit sangat relevan pada momentum

kenaikan harga komoditas ekspor di pasar global. Penerapannya

kedepan perlu intensif menyasar sektor batubara, minyak sawit, dan

energi dengan tetap mempertimbangkan ambang batas ukuran

usaha supaya tidak membebani pelaku kecil," tulis CELIOS.

Sebagai catatan, sifat penerapan pajak ini adalah temporer dan selektif terbatas pada sektor tertentu yang mendulang keuntungan berlipat tanpa peningkatan produktivitas yang sepadan.

"Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dalam kondisi lonjakan laba bersih komoditas ekspor, tarif pajak windfall profit yang diusulkan sebesar 25%. Potensi penerimaan negara dari pajak windfall profit sektor ekstraktif diperkirakan mencapai Rp49,97 triliun

per tahun."

10. Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan

CELIOS merancang tarif rata-rata untuk cukai minuman berpemanis dalam kemasan adalah Rp5.000 per liter.

"Skema ini mempertimbangkan jenis produk yang beredar luas di pasaran, kadar gula dalam tiap kategori minuman, serta potensi jangkauan implementasi dibandingkan volume pasar formal," tulis CELIOS.

Adapun potensi penerimaan negara dari cukai minuman berpemanis mencapai Rp3,9 triliun per tahun.

11. Pengakhiran Insentif Pajak yang Pro Konglomerat

Pengakhiran insentif pajak pro konglomerat merujuk pada upaya reformasi kebijakan perpajakan yang selama ini memberi pengecualian, penangguhan, pengurangan, bahkan pembebasan pajak kepada korporasi besar tanpa justifikasi manfaat ekonomi yang jelas bagi masyarakat.

"Hal tersebut mengakibatkan belanja perpajakan justru menjadi subsidi terselubung (hidden subsidy) karena serangkaian komponen belanja perpajakan memang dikhususkan untuk mendukung iklim dan dunia investasi. Insentif pajak tersebut dinikmati secara reguler oleh perusahaan hilirisasi nikel, pertambangan batu bara, dan perusahaan ekstraktif di sektor industri pionir dan strategis," tulis CELIOS.

CELIOS mengatakan bahwa potensi realokasi belanja perpajakan yang selama ini lebih menguntungkan konglomerat akan mengumpulkan penerimaan sebesar Rp137,4 triliun.

12. Penurunan tarif PPN dari 11% ke 8%

CELIOS mengatakan bahwa penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dengan cara mengurangi persentase pungutan PPN atas konsumsi barang dan jasa. Sementara PPN itu sendiri adalah pajak tidak langsung pada setiap tahap rantai produksi dan distribusi yang dibebankan kepada konsumen akhir.

"Penurunan tarif PPN bukan semata langkah populis yang mengorbankan penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi perlu menjadi momentum perombakan struktur pajak yang lebih seimbang. Kebijakan ini menjadi investasi jangka panjang dengan memulihkan beban konsumsi masyarakat yang sedang terpukul akibat kontraksi ekonomi.

CELIOS meyakini bahwa diturunkannya PPN akan memperkuat daya beli rumah tangga, terutama kelas menengah bawah yang menjadi penopang utama konsumsi domestik.

"Potensi penerimaan pajak bersih secara tidak langsung dari penurunan tarif PPN adalah Rp1 triliun/tahun."


(ras/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Setoran Pajak Anjlok di Awal Tahun, Indikasi Ekonomi RI Bermasalah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular